Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi tercatat beberapa kali melakukan “politik meja makan” jelang Pilpres 2024. Selama berkiprah di dunia politik, pria asal Surakarta, Jawa Tengah ini memang acap menggunakan acara makan-makan sebagai alat diplomasi. Baik saat menjadi Wali Kota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, hingga menjabat Presiden dua periode.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas seperti apakah sebenarnya politik meja makan yang acap dipertunjukkan Presiden Jokowi ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, demi meredam isu dirinya yang disebut tak netral dalam Pilpres 2024, Jokowi mengundang makan siang ketiga bakal capres pada penghujung Oktober 2023. Kemudian pada pekan pertama Januari 2024 lalu, Jokowi terpantau makan malam bersama Prabowo Subianto. Teranyar, Jokowi dan capres nomor urut 02 itu juga bersama dalam sajian makan siang di Magelang.
Mengenal politik meja makan ala Jokowi
Disadur dari studi Komunikasi Politik Jokowi Melalui Diplomasi di Meja Makan (2020) di jurnal Kinesik oleh Rusmawaty Bte. Rusdin, politik meja makan ala Jokowi merupakan bagian dari diplomasi kuliner. Ini adalah diplomasi publik yang tergolong ke dalam soft diplomacy.
Istilah diplomasi kuliner ini pertama kali diungkapkan oleh Paul S Rockower, seorang gastronom lulusan University of Southern California.
“Culinary diplomacy is the best way to win hearts and mind is through the stomach (diplomasi kuliner adalah cara terbaik untuk memenangkan hati dan pikiran adalah melalui perut),” kata Rockower.
Menurut Sam Chapple-Sokol, mantan chef pastry di Gedung Putih, Amerika Serikat, dalam Culinary Diplomacy: Breaking Bread to Win Hearts and Minds (2013) di The Hague Journal of Diplomacy, ada tiga jenis diplomasi kuliner, di antaranya:
1. Track I Culinary Diplomacy, yaitu jamuan makan antar pemerintah seperti presiden dan para menteri, atau presiden dan ketua DPR atau ketua partai serta makan malam dengan pemerintah negara lain.
2. Gastrodiplomacy, yakni melibatkan kerja pemerintah untuk publik luar negeri. Tujuannya antara lain membangun soft power sebuah negara, mempromosikan perdagangan dan pariwisata, juga mendorong pertukaran budaya.
3. Citizen Culinary Diplomacy, yaitu jamuan makan-makan yang diadakan antara pemerintah dan warga negara. Tujuannya ada banyak. Mulai memecahkan persoalan di tingkat desa hingga nasional, juga mendengarkan ide dan aspirasi warga negara.
Rusmawaty dalam studinya menjelaskan, menurut ilmu Folklor dalam Antropologi, makanan tidak hanya sekadar untuk dicicipi atau sebagai pengisi perut. Ada empat fungsi makanan menurut ilmu Folklor. Pertama, makanan sebagai simbol bahasa. Kedua, makanan sebagai pengikat hubungan kekerabatan. Ketiga, makanan sebagai penanda solidaritas. Keempat, makanan sebagai pengobat stres.
Tampaknya Jokowi tahu betul, makanan tak hanya digunakan untuk mengisi perut semata. Sebagai media yang universal, makanan bisa menjadi sarana dalam pergaulan guna mengenal seseorang dengan lebih baik. Sebab makanan dapat mendekatkan siapa saja, dari kalangan politik, bisnis, hingga masyarakat. Makanan juga menjadi sarana memperkuat hubungan dan mencairkan suasana.
Membahas terkait diplomasi meja makan yang dilakukan oleh Jokowi, menurut Rusmawaty, sebenarnya bukanlah hal baru. Bangsa Indonesia sudah mengenal budaya makan bersama sejak dulu dalam rangka mempererat rasa persatuan dan jalinan kebersamaan dari keluarga, maupun kelompok masyarakat.
Menurut Gilles Bragard seorang desainer makanan dan Pendiri The Club Des Chefs des Chefs, meja makan memang mampu menyatukan orang-orang jika politik terpecah.
Cara ini yang dilakukan beberapa kali oleh Jokowi. Melalui diplomasi di meja makan, ia berhasil menyelesaikan sejumlah persoalan. Antara lain dalam menyelesaikan persoalan pedagang kaki lima di Solo, pemukiman kumuh di sekitar waduk Pluit Jakarta, penataan pedagang pasar Tanah Abang Jakarta. Bahkan Jokowi juga pernah menjadi penengah antara sopir Gojek dan ojek di meja makan istana pada 2015.