Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA draf hasil diskusi sejumlah ilmuwan dari berbagai universitas itu diserahkan kepada Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Kamis pekan lalu. ”Inilah draf rancangan undang-undang tentang intelijen negara yang pertama kali diterima oleh Menteri Pertahanan,” kata Andi Widjajanto, pengamat masalah pertahanan asal Universitas Indonesia, salah satu penggagas rancangan itu.
Draf yang disusun sejak Mei lalu serta meliputi delapan bab dan 54 pasal itu memangkas sebagian wewenang Badan Intelijen Negara (BIN). Tapi ada usulan membentuk sebuah Lembaga Koordinasi Intelijen Nasional (LKIN), yang bertugas mengkoordinasi lima badan intelijen, di antaranya Intelijen Militer, Badan Intelijen Strategis, dan BIN. ”Kepala LKIN ini setingkat menteri dan langsung bertanggung jawab kepada presiden,” kata Andi.
Satu ”kekuasaan” BIN yang dipangkas RUU itu adalah wewenang menangkap dan menahan tersangka. Menurut Andi, dalam RUU tersebut tugas Badan Intelijen Negara sekadar menggali ”informasi”. Jika ada tersangka yang diduga melakukan gangguan keamanan terhadap negara, ”Polisi dan jaksa yang akan menangkap dan menahan tersangka itu, bukan anggota BIN,” katanya.
Hal penting yang akan mengubah persepsi masyarakat terhadap telik sandi negara tertera dalam pasal 5. Dalam menjalankan tugas atau memberi perintah, anggota intelijen tidak boleh melanggar delapan hak dasar. Di antaranya hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan. Jadi, ”Anggota intelijen negara dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh membunuh dan menyiksa,” Andi menegaskan.
Lebih menarik, perangkat hukum itu memberi ”kelonggaran” bagi anggota intelijen untuk membantah perintah atasannya jika tugas itu melanggar hak asasi manusia. ”Ada mekanisme bagi anggota intelijen memberi nota keberatan dan bertanya secara detail tentang perintah itu kepada atasannya,” kata Andi. Jika sang ”jenderal” memaksa perintah tetap dilaksanakan, atasan tersebutlah yang bertanggung jawab atas konsekuensi hukum akibat tugas itu.
Bagaimana tanggapan ”kubu” intelijen? Membantah, apalagi menolak, perintah atasan jelas hal baru dalam dunia telik sandi. Deputi Dalam Negeri BIN, Manunggal Maladi, tak setuju aturan itu. ”Kalau ada perintah dinas, tidak boleh menolak,” ujarnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. ”Lha, kalau bisa menolak, nanti tidak ada yang mau kerja.”
Dalam dunia intelijen, Manunggal menjelaskan, seorang anggota juga tidak boleh banyak bertanya soal tugas yang dibebankan kepadanya. Manunggal juga tidak setuju ada badan koordinasi intelijen di luar BIN. Hal itu bertentangan dengan Instruksi Presiden No. 5/2002, yang memerintahkan kepada BIN untuk melakukan tugas koordinasi badan intelijen yang ada.
Manunggal setuju badan koordinasi itu langsung di bawah presiden. Namun, ”Sebaiknya badan itu adalah BIN,” tuturnya. BIN juga pada saat ini sedang menggodok sebuah RUU Intelijen Negara. Tapi, ”Belum selesai, baru dalam tahap pembahasan pasal demi pasal,” kata Manunggal.
Hasil diskusi para telik sandi negara itu nantinya akan dibahas dengan Polri dan Badan Intelijen Strategis, sebelum diserahkan DPR RI. ”RUU Intelijen itu masih sebatas wacana,” kata Joko Susilo, anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional. Namun, tidak ada salahnya jauh-jauh hari rancangan itu dikritisi dan dikupas satu per satu oleh masyarakat.
Artinya, memang dibutuhkan sebuah undang-undang tentang intelijen negara yang jelas dan jernih. Apalagi, hingga kini BIN bekerja hanya berdasarkan keputusan presiden, bukan diatur oleh undang-undang. Bisa saja berganti presiden berganti pula gaya kepemimpinan BIN.
Johan Budi S.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo