Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN di Masjid Al-Muslimun, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa malam pekan lalu, semula berlangsung tanpa emosi. Santoso, Direktur Radio 68H, diundang oleh Imam Pambudi, sekretaris masjid, untuk menjelaskan acara keislaman yang disiarkan Radio 68H. Imam bertanya tentang gagasan Islam liberal yang kerap dibahas radio yang bertetangga dengan Al-Muslimun itu. Santoso memberi argumentasi, termasuk mempersilakan Imam atau siapa pun yang tak sepakat dengan Islam liberal untuk ikut bicara di radionya.
Dialog dingin itu tak berlangsung lama. Ketika digelar acara tanya jawab, tiga orang jemaah masjid langsung menggugat keberadaan Jaringan Islam Liberal (JIL), lembaga yang kantornya memang satu kompleks dengan Radio 68H. JIL adalah organisasi yang dipimpin tokoh muda Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla. Lembaga ini dikenal kritis terhadap tafsir Islam yang mereka nilai sempit dan tak sesuai dengan zaman. Majelis Ulama Indonesia pada Agustus lalu mengeluarkan fatwa yang melarang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme—ide yang selama ini diusung JIL.
Suasana bertambah panas ketika pimpinan diskusi beralih dari Imam kepada Syafrudin Tanjung, ustadz yang disebut Imam dan sesekali memimpin salat di Al-Muslimun. ”Siapa yang setuju JIL diusir?” ia bertanya dengan suara keras. Jemaah masjid serentak mengacungkan tangan. Suara takbir terdengar bersahut-sahutan.
Setelah Ahmadiyah dan sejumlah gereja di Bandung, kini JIL yang diminta tutup oleh sekelompok massa. Sebelumnya memang sudah kerap terdengar gertakan bahwa JIL akan dikepruk karena dinilai menodai ajaran Islam, meski ancaman itu tak sempat terlaksana.
Baru pada Minggu malam pekan lalu, massa yang menamakan dirinya Forum Ummat Islam dan Ummat Islam Utan Kayu mendatangi JIL. Mereka membawa spanduk berisi dukungan pada fatwa MUI. Ada pula poster bertulisan, ”JIL Haram, Darah Ulil Halal”. Mereka memberi ultimatum JIL harus hengkang sebelum Bulan Puasa. Syafrudin Tanjung malam itu tampak bersama massa yang marah.
Sejauh ini, permintaan penutupan didasarkan pada soal perizinan dan keberatan dari warga sekitar kantor JIL. Modus ini mirip dengan yang terjadi pada penutupan sejumlah gereja di Bandung.
Pertanyaannya, betulkah warga Utan Kayu menolak JIL? Tampaknya tidak. Pada pertemuan Selasa malam yang dihadiri Tempo, beberapa warga yang ingin bersuara lain justru dihardik supaya diam.
Samsul Alam, Ketua RW 05 Kelurahan Utan Kayu Utara, yang wilayahnya tepat berbatasan dengan Komunitas Utan Kayu, malah menyebut Syafrudin mengatasnamakan warga muslim Utan Kayu. Samsul bahkan berinisiatif mengumpulkan sejumlah tokoh masyarakat Utan Kayu untuk tetap mendukung keberadaan Jaringan Islam Liberal. ”Mereka itu yang betul-betul tokoh di sini,” ujarnya.
Dua pekan terakhir, situasi di sekitar Komunitas Utan Kayu—tempat domisili Radio 68H, Jaringan Islam Liberal, toko buku, dan beberapa kantor lainnya—memang terasa ”berbeda”. Masjid Al-Muslimun yang biasanya tenang mendadak ramai dipenuhi orang tak dikenal. Sebuah spanduk bertulisan ”Mendukung Fatwa MUI untuk membubarkan JIL dan antek-anteknya” sempat dipasang di atas mihrab masjid. Majalah dinding yang biasanya cuma berisi informasi kegiatan rutin tiba-tiba dipenuhi kliping media massa yang pro kepada fatwa MUI.
Menurut Imam Shofwan, warga yang tinggal tak jauh dari Masjid Al-Muslimun, mengaku tak kenal orang yang meramaikan masjid. ”Sebagian bukan warga sini,” katanya.
Ada provokator? Imam Pambudi membantah. Ia menyangkal penolakan jemaah Al-Muslimun terkait dengan demonstrasi menentang JIL yang terjadi sebelumnya. Tapi, katanya, ”Kalau orang lain bereaksi, kenapa kita nggak?”
Adu otot memang belum terjadi. Di akhir pertemuan disepakati kepala kecamatan dan Syafrudin Tanjung akan meneliti kelengkapan perizinan JIL esok harinya. Namun, acara itu batal karena Syafrudin tak hadir.
JIL menolak dibubarkan secara sepihak. Apalagi, dalam pertemuan Jumat malam pekan lalu, 75 warga Utan Kayu telah menyatakan tak keberatan dengan keberadaan JIL. Pernyataan sikap mereka diterima camat, komandan rayon militer, dan kepala polisi sektor setempat.
Jika masalah masih berlanjut, JIL bertekad membawa kasus ini ke jalur hukum. Saat ini tiga pengacara kondang sudah siap membantu. Mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, dan Nono Anwar Makarim.
Nugroho Dewanto, Muhamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo