Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika Damai Menjelang Tiba

Tahap awal, GAM berjanji menyerahkan 210 pucuk senjata api kepada AMM. TNI siapkan contingency plan.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria paruh baya bertubuh kurus itu tiba-tiba muncul saat penduduk Seulimum, Aceh Besar, sedang berkumpul di masjid. Teungku Kamarin—nama pria itu—datang ketika keharuan menyeruak dalam acara syukuran menyambut perdamaian antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Kamis pekan lalu. Sanak saudara dan teman yang masih mengingat Kamarin segera mendekap dan berebut mengucap salam: ”Selamat pulang kembali, Saudaraku.”

Tujuh tahun lalu, ketika berusia 27 tahun, Kamarin meninggalkan kampung halamannya untuk bergabung dengan GAM. Tekadnya bulat berjuang untuk Aceh merdeka. Sejak itu, tidak pernah ada kabar tentang pria berambut gondrong itu.

Kamarin tidak jauh-jauh amat berkelana. Pase, Aceh Utara, tempat ”berjuang”nya, hanya lima jam perjalanan menggunakan bus dari Seulimum. Namun, bagi Kamarin, jarak itu terasa jauh dan seperti berada di dunia lain. Dalam masa konfrontasi itu, sulit baginya bisa berkunjung dan menengok sanak saudara. Selain takut kepergok aparat TNI, statusnya sebagai tentara GAM mengharuskannya terus bergerak dari daerah satu ke daerah lainnya.

”Senang (rasanya) bisa pulang kampung,” kata Kamarin haru. Dia patut gembira. Kini tidak perlu mengendap-endap untuk bisa menatap wajah para kerabatnya. Ia bisa bertegur sapa, bahkan memeluk mereka, tanpa rasa takut ditangkap polisi atau ditembak tentara Indonesia.

Suasana tenang di pagi itu memang tidak pernah ada dalam bayangan, bahkan mungkin hanya hadir dalam mimpi Kamarin. Perjanjian perdamaian Indonesia-GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus lalu, tidak hanya mengubah ”gaya” hidup Kamarin, tetapi juga ratusan bahkan mungkin ribuan temannya.

Kamarin pulang kampung sehari setelah juru bicara militer GAM, Sofyan Dawood, menjejakkan kakinya di kediaman resmi Gubernur Aceh di Banda Aceh. Sofyan, yang mengenakan pakaian serba hitam, datang bersama empat utusan GAM di Komisi Bersama Pengaturan Keamanan, bagian dari Aceh Monitoring Mission (AMM)—tim yang bertugas memantau perjanjian damai di provinsi itu. Mereka mengikuti rapat rutin membahas penarikan personel militer nonorganik dan pelucutan senjata GAM. Salah satu butir dalam perjanjian damai itu menyebut GAM wajib menyerahkan seluruh senjata yang mereka miliki untuk dihancurkan.

Kehadiran Sofyan, yang bukan wakil resmi GAM di AMM, cukup mengagetkan para wartawan yang sudah lebih dahulu tiba di tempat pertemuan. Apalagi ia tidak mengenakan wig—seperti yang biasa ia pakai—dan bersalaman dengan Wakil Komandan Operasi TNI di Aceh, Brigadir Jenderal Suroyo Gino.

”Sofyan Dawood sengaja dihadirkan sebagai bukti keseriusan kami,” kata Irwandi Yusuf, utusan senior GAM di AMM. Kelompok bersenjata itu ingin menunjukkan komitmen mereka terhadap perdamaian sebagaimana yang telah disepakati dalam MOU. GAM seperti ingin memberikan kesan baik setelah pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh melaksanakan ”bagiannya”: membebaskan orang-orang mereka dari penjara.

Menurut MOU, GAM harus menyerahkan 840 pucuk senjata kepada AMM untuk dimusnahkan secara bertahap mulai 15 September mendatang. Setiap mereka menyerahkan 210 pucuk, TNI ”menukar” dengan menarik 25 persen dari seluruh pasukan nonorganik yang tersisa di Aceh.

Seusai pertemuan, Ketua AMM Pieter Cornelis Feith mengatakan pihaknya akan menetapkan empat zona aman yang nantinya akan menjadi titik-titik penyerahan senjata.

Sebenarnya beberapa lokasi zona aman sudah diusulkan oleh GAM. Hanya, usulan tempat itu masih disimpan AMM. Feith mengatakan mereka baru akan membahas usulan itu pada saat-saat terakhir, 10-14 September, dan hanya akan diumumkan secara terbuka beberapa waktu sebelum proses serah-terima senjata. ”Persisnya akan diberitahukan dua jam sebelumnya,” ujarnya.

Sumber Tempo yang dekat dengan GAM mengatakan, pembahasan soal lokasi zona aman sudah dilakukan. AMM, katanya, telah memastikan tiga lokasi penyerahan senjata: Bireuen, Pidie, dan Aceh Besar. Yang masih didiskusikan, katanya, hanya satu titik terakhir.

Di Jakarta, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto tidak kalah sibuk. Kamis pekan lalu, Sutarto bertandang ke DPR RI didampingi Kepala Staf TNI-AU Marsekal TNI Djoko Suyanto, Kepala Staf TNI-AL Laksamana Slamet Soebijanto, dan Wakil Kepala Staf TNI-AD Letjen Endang Suwarya.

Pertemuan Panglima TNI dengan Komisi I DPR, tidak biasanya, kali ini berlangsung tertutup. Maklum, Endriartono datang untuk menjelaskan sebuah hal penting: contingency plan TNI. Sekadar bersiaga kalau-kalau ada penyelewengan dalam pelaksanaan MOU. ”Soalnya, masih ada sempalan GAM yang tidak konsekuen melaksanakan kesepakatan tersebut,” ujar Endriartono memberi alasan.

Di Aceh, GAM juga punya rasa khawatir yang sama, meski berbeda hal: sanggupkah mereka mengumpulkan semua senjata untuk diserahkan dalam waktu singkat? Kekhawatiran itu terlontar dari mulut Amni bin Ahmad Marzuki, salah seorang wakil GAM di Komisi Bersama. Masalahnya, ratusan senjata api milik GAM saat ini tercerai-berai di banyak lokasi. ”Butuh waktu lama untuk mengumpulkan semuanya,” ujarnya.

Itu sebabnya, sementara berbagai persiapan dilakukan di Aceh maupun Jakarta, diam-diam GAM menugasi Muharram, Panglima GAM wilayah Aceh Besar, untuk mendata dan mengumpulkan semua senjata di setiap pos mereka. Sejak dua pekan lalu Muharram mengelilingi wilayah Aceh, dari satu pos ke pos lain. ”Saya sedang berpindah-pindah tempat,” ujarnya saat dihubungi Tempo lewat telepon genggamnya pekan lalu.

Reputasi GAM dalam pelaksanaan MOU kini sepenuhnya ada di pundak Muharram. Seperti dituturkan Teungku Kamarin, pasukan GAM terbagi dalam banyak kelompok kecil. Kamarin sendiri, kalau melakukan patroli di sekitar Pase, hanya bergerak dalam pasukan yang anggotanya tujuh sampai sepuluh orang.

Setiap kelompok kecil itu, menurut Kamarin, maksimal hanya memiliki lima sampai tujuh pucuk senjata. Jenisnya bermacam-macam. Yang paling banyak adalah M-16 dan AK-47. Setelah perjanjian damai, senjata itu mereka tinggalkan di pos-pos yang tersebar di 17 wilayah GAM di Aceh. Toh, menurut sumber Tempo, GAM sedang berusaha keras untuk menyerahkan, kalau bisa, lebih dari 210 pucuk senjata pada tahap pertama nanti. ”Mereka ingin menunjukkan komitmennya,” ujar sumber Tempo.

Sementara para petinggi TNI di Jakarta masih khawatir terhadap kemungkinan sempalan GAM melancungi MOU, Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Supiadin A.S. justru sedikit lega. AMM, yang pada mulanya berkeras melarang TNI terlibat dalam proses serah-terima senjata, akhirnya melunak dalam rapat koordinasi Rabu pekan lalu. Meski tetap tak boleh turut ke lokasi penyerahan, TNI diperkenankan melihat senjata yang diserahkan GAM setelah proses serah-terima selesai.

Bagi Supiadin, itu saja sudah cukup. Apalagi, AMM memberikan lampu hijau kepada pemerintah daerah setempat untuk mengirim wakilnya melihat proses tersebut. ”Kita cuma mau lihat senjatanya, benar enggak. Kalau benar, saya akan bilang oke dan senjata itu dimusnahkan,” ujarnya.

Langkah pemusnahan senjata pun sudah dipikirkan. Kata Supiadin, senjata itu akan dihancurkan menggunakan peledak. Untuk itu, AMM sudah melayangkan surat kepada TNI, meminta bahan peledak yang mereka butuhkan.

Jika semuanya berjalan lancar, TNI segera menarik pasukan nonorganiknya. ”Pokoknya, begitu GAM menyerahkan 210 pucuk senjatanya, saya akan tarik 6.000 prajurit secara serentak,” Supiadin berjanji.

Supiadin mematok, paling lambat sepuluh hari setelah penyerahan senjata, penarikan mundur prajuritnya sejumlah yang dijanjikan akan tuntas. ”Yang akan kami tarik adalah mereka yang paling lama bertugas di sini. Kebanyakan di Aceh Selatan, Aceh Barat, dan Bireuen,” ujarnya lagi.

GAM terlihat rela. TNI pun sepertinya lega. Bagi Teungku Kamarin, hari-hari ini sangat mendebarkan. Hidup bebas dan berkumpul dengan istri yang ia nikahi saat berkelana sebagai prajurit GAM, dan dua anak mereka, kini menjadi nyata.

Toh, ada rasa yang hilang dalam kedamaian itu. ”Bagaimana, ya. Biasanya makan tidur peluk senjata. Sekarang cuma bisa begini,” katanya sambil bersedekap.

Akankah saat damai yang bersejarah itu—yang ditunggu-tunggu Kamarin dan jutaan penduduk Aceh—segera tiba?

Philipus Parera, Yuswardi Ali Suud (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus