Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAN tapi pasti, sekitar 200 yayasan dan koperasi milik TNI kini sedang menanti nasibnya: mati atau diambil alih pemerintah. Daftar panjang unit bisnis militer itu kini masih di tangan Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta. Setelah ditilik aset dan kinerjanya, semua laporan tentang pundi-pundi uang tentara itu akan diserahkan ke panitia kerja, akhir bulan depan.
”Semua bisnis TNI itu tak ada kemajuan,” ujar Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, Jumat pekan lalu. Mewakili Departemen Pertahanan, Sjafrie menjadi ketua dalam kepanitiaan yang mengurus pindah tangan bisnis TNI itu. Selain menyertakan Departemen Pertahanan, kepanitiaan juga melibatkan Departemen Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kantor Menteri Badan Usaha Milik Negara.
Selain soal prospek yang tak terlalu bagus, semua unit bisnis di lingkungan TNI memang harus diambil alih pemerintah. Tindakan itu sesuai dengan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Disebutkan, dalam waktu lima tahun sejak aturan itu ditetapkan pada Oktober tahun lalu, pemerintah harus mengambil alih bisnis milik TNI. Tujuannya, agar para prajurit itu semakin profesional dan bebas dari urusan bisnis apalagi politik.
Sampai pekan lalu, Markas Besar TNI belum mengungkapkan daftar nama yayasan yang sudah mereka teliti. Panitia penilai menetapkan tenggat penyerahan laporan pada 27 September nanti. Markas Besar TNI kini masih mengumpulkan laporan usaha dari tiga angkatan, komando utama, dan markas besar. Tak semuanya memang dioper ke pemerintah. Sejumlah unit usaha untuk kesejahteraan prajurit di tingkat kesatuan tetap dibiarkan tumbuh. ”Hanya aset di atas Rp 15-20 miliar saja,” ujar Sjafrie.
Juru bicara Markas Besar TNI, Mayor Jenderal TNI Khoirin Suganda, menaksir sekitar sepuluh unit bisnis tentara akan diserahkan ke pemerintah. Tapi, karena proses masih berjalan, dia belum pasti berapa yang akan lepas dari TNI. ”Bisa juga lebih dari sepuluh,” ujar Khoirin, Jumat pekan lalu. Kini TNI masih memilah bisnis yayasan yang punya kaitan langsung dengan kesejahteraan prajurit. Sedangkan unit usaha permodalan dan koperasi akan dikaji hingga batas pertengahan Oktober tahun ini.
Bisnis yang menjadi pundi duit tentara ini memang sempat tumbuh menggurita. Saat ini lebih dari 200 yayasan dan koperasi berada di lingkungan TNI. Kebanyakan yayasan di tiap angkatan mempunyai unit usaha sendiri.
Sebut saja Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) yang bernaung di bawah Angkatan Darat. Yayasan itu berkibar lewat usaha patungan dengan berbagai pihak, di antaranya pengusaha Tomy Winata. YKEP menguasai saham di banyak perusahaan. Misalnya Sudirman Central Business District, yang menguasai lahan 44 hektare di kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, lalu Bank Artha Graha, International Timber Corporation Indonesia (ITCI), Danayasa Artatama (Hotel Borobudur), dan 26 perusahaan yang tergabung dalam payung Tri Ubaya Bhakti (Truba). Sementara itu, Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad) tak kalah tajir. Bergerak di kelompok usaha Kartika Plaza, koperasi itu turut memiliki Hotel Kartika Plaza di Jakarta dan Bali.
Adapun Yayasan Bhumyamca menjadi ”biduk rezeki” bagi TNI Angkatan Laut. Di bawah bendera Bhumyamca ada perusahaan pelayaran Admiral Lines dan usaha resor di Bintan, penyulingan minyak di Karimun Kecil, dan sejumlah bisnis lain. Angkatan Udara juga punya Yayasan Adi Upaya. Ada belasan perusahaan yang digarapnya. Contohnya sejumlah properti, Bank Angkasa, hak pengusahaan hutan, penerbangan, perhotelan, sampai pemotretan udara.
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan sepakat dengan pengalihan bisnis TNI itu ke tangan pemerintah. Atas pengambilalihan itu, dia menganjurkan, ”Seyogianya ada kompensasi dari pemerintah,” ujarnya beberapa waktu lalu. Tapi, itulah soalnya. Kompensasi, untuk sementara, hanya angan-angan.
Dari tahun ke tahun anggaran pertahanan selalu cekak. Misalnya, dalam pagu anggaran 2006, Departemen Pertahanan hanya mendapat duit sekitar Rp 23,6 triliun. Meski angka ini lebih besar 7,5 persen dari yang diterima tahun lalu, menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, proyeksi kebutuhan biaya pertahanan sebetulnya jauh lebih besar. Kebutuhan tahun ini sekitar Rp 56,9 triliun, sementara anggaran yang tersedia paling mentok separuhnya. ”Jadi, hanya karena mukjizat, kita sebagai bangsa bisa bertahan,” ujar Juwono, Jumat pekan lalu.
Bisnis di lingkungan TNI sendiri, seperti pernah diungkapkan Panglima TNI, bertujuan menaikkan kesejahteraan prajurit. Jumlah personel TNI saat ini, menurut data Departemen Pertahanan, sekitar 259 ribu orang. Rinciannya, Angkatan Darat sekitar 200 ribu, Angkatan Laut 35 ribu, dan Angkatan Udara 24 ribu. Tapi, seberapa besar bisnis TNI itu menaikkan taraf hidup serdadu di lapangan?
Di tengah anggaran mepet, tak begitu jelas angka pastinya. Akhir tahun lalu, Kepala Staf Angkatan Darat, yang saat itu dijabat Jenderal Ryamizard Ryacudu, pernah mengungkapkan bisnis Angkatan Darat, misalnya, hanya menghasilkan Rp 30 miliar per tahun. ”Itu pun kalau lagi untung,” ujarnya.
Uang Rp 30 miliar setahun itu, kata Ryamizard, tidak ada artinya jika dibagikan kepada semua prajurit TNI AD. ”Paling menjadi Rp 100 ribu seorang per tahunnya,” ujarnya.
Realitasnya, tak semua bisnis bertujuan untuk kesejahteraan prajurit. Dari sekian bisnis yang ada, menurut catatan laporan yayasan di lingkungan TNI kepada Badan Pemeriksa Keuangan tiga tahun silam, tak sampai separuh (33 persen) digunakan bagi kesejahteraan prajurit. Sisanya, sebagian besar untuk investasi, dan 12 persen untuk kebutuhan pertahanan.
Meski tak bisa tuntas mengobati masalah, toh banyak yang berharap bisnis TNI tetap seperti lumbung saat paceklik. Misalnya, Panglima TNI pernah mengatakan, anggaran belanja selama ini hanya mampu menutup sekitar 70 persen kebutuhan kesejahteraan prajurit. Sisanya terpaksa dicomot dari luar anggaran. Tahun ini, anggaran belanja pegawai bagi TNI Rp 9,5 triliun. Jumlahnya masih tak berubah untuk tahun depan.
Apa boleh buat, kesejahteraan prajurit, kata Menteri Juwono, masih akan terus rendah. Usaha mendongkraknya pun tertatih-tatih. Misalnya, tahun lalu uang lauk-pauk prajurit hanya Rp 17.500 per orang per hari. Tahun ini pun, kenaikannya hanya Rp 2.500 per hari. ”Dengan naiknya bahan bakar minyak, angka itu tak ada artinya,” ujarnya.
Rata-rata gaji prajurit bawahan saat ini adalah Rp 700 ribu per bulan. Artinya, para komandan harus melirik pundi lain guna menutup kekurangan logistik pasukan. Belum lagi tuntutan sandang-papan bagi keluarga. Karena itulah, agaknya Panglima TNI menagih kompensasi seandainya bisnis TNI dioper ke pemerintah.
Menteri Juwono tampaknya paham betul soal ini. Dia mengatakan, kemungkinan besar penertiban yayasan TNI itu akan bermuara ke holding company. Jadi, semua bisnis akan dikelola satu atap. ”Keuntungannya tetap akan dipakai untuk kesejahteraan prajurit,” ujar Juwono.
Bagaimana bentuk konsolidasi bisnis yayasan itu memang belum ada penjelasan. Menurut Sjafrie Sjamsoeddin, panitia sedang memilah usaha itu dengan sejumlah kriteria. Misalnya, bisnis inti apa yang ditekuni tiap yayasan. Lalu apa kepentingannya, untuk kesejahteraan atau profit. Juga soal status, yayasan atau koperasi, dan terakhir akuntabilitasnya. ”Akan kita lihat, bisnis itu sehat atau tidak,” ujarnya. Hasil kajian itu dikirim ke Presiden, yang akan mengeluarkan keputusan bagi panitia penertiban bisnis TNI.
Meski upaya penertiban sedang berjalan, bisnis toh bergerak dengan logikanya sendiri. Yayasan Kartika Eka Paksi, misalnya, baru saja melepas 11 persen sahamnya di Bank Artha Graha, dua pekan lalu. Dari penjualan saham itu, TNI Angkatan Darat meraup dana Rp 121 miliar. Transaksi itu pun sempat mendapat sorotan tajam, saat rapat kerja Panglima TNI dengan Komisi I DPR di Senayan, Kamis pekan lalu.
Anggota Komisi I, Ade Daud Nasution, menuding Angkatan Darat tak transparan. Transaksi itu, kata Ade, seharusnya atas persetujuan Menteri Keuangan. Soalnya, semua bisnis TNI saat ini sedang dalam proses pengembalian aset kepada pemerintah. Tapi Wakil KSAD Letnan Jenderal TNI Endang Suwarya punya dalih. Dia mengatakan, saham itu dijual karena TNI AD tak mampu menambah modal Rp 50 miliar. Setelah dihitung untung-ruginya, saham pun dilepas. ”Hasilnya akan dipakai untuk biaya pendidikan prajurit TNI,” ujar Endang.
Penjualan saham itu pun rupanya tak dilaporkan ke panitia di Departemen Pertahanan. Menurut Sjafrie Sjamsoeddin, jual-beli saham di unit bisnis TNI memang bukan urusan Departemen Pertahanan. ”Mereka punya otonomi, kita tak bisa mendikte,” ujarnya. Agar semuanya terang, agaknya penertiban memang harus berpacu melawan waktu.
Nezar Patria, Agricelli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo