Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Kegamblangan Haluan Negara Dipertanyakan

PPHN dinilai hanya menjadi duplikasi dari Garis-garis Besar Haluan Negara pada zaman Orde Baru. Sudah tidak relevan dengan kondisi perpolitikan nasional saat ini.

 

3 Juni 2022 | 00.00 WIB

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • MPR perlu menjelaskan isi PPHN secara gamblang.

  • PPHN menjadi percuma jika isinya tidak memuat persoalan yang prinsipil.

  • PPHN dinilai hanya duplikasi dari Garis-garis Besar Haluan Negara di zaman Orde Baru.

JAKARTA – Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, meminta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjelaskan secara gamblang tentang isi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Jika PPHN hanya memuat soal visi-misi, Pancasila, dan moralitas yang bersifat abstrak, pengkajian yang dilakukan selama ini dinilai hanya buang waktu. "Kalau haluan negara model lama yang isinya ngambang, tidak kita perlukan," kata Feri, kemarin, 2 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100



Feri mengatakan, jika MPR hanya ingin membuat pagar pembatas untuk menyelaraskan pembangunan di pusat dan daerah, sesungguhnya negara sudah memiliki instrumen berupa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan. Ketimbang membuat PPHN, kata Feri, lebih baik memanfaatkan undang-undang yang sudah ada. "Kecuali isinya beda," kata dia.

Badan Pengkajian MPR saat ini tengah mengebut pembahasan substansi PPHN sebelum diserahkan kepada pimpinan MPR. Ketua Badan Pengkajian MPR, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan isi PPHN harus mampu memberikan arah dalam menyamakan visi dan misi negara. Dengan adanya haluan negara, MPR berharap, saat pemilihan presiden, semua calon memiliki visi dan misi yang sama.

Pakar politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menuturkan PPHN menjadi percuma jika isinya tidak diarahkan pada persoalan yang lebih prinsip, terutama menyangkut masalah ekonomi. Masyarakat tidak akan peduli pada haluan negara selama mereka masih susah mencari pekerjaan. "Menurut saya, enggak penting kucing warnanya apa, modelnya apa. Yang penting bisa menangkap tikus," kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pakar politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Adi Prayitno. uinjkt.ac.id

Sebetulnya, Adi menambahkan, haluan negara sudah tidak relevan dengan kondisi perpolitikan nasional dalam negeri. PPHN, yang merupakan duplikasi dari Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) zaman Orde Baru, kata Adi, sama-sama bertujuan untuk mensinergikan keinginan pusat dan daerah. "GBHN dulu itu menggeneralisasi kekuasaan politik di tangan presiden sehingga kepala daerah tidak boleh punya visi-misi yang beda," ujar dia.

Saat ini, kata Adi, kepala daerah seharusnya tetap bisa memiliki visi-misi berbeda selama tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat. Apalagi di tengah sistem presidensial yang multipartai saat ini, akan sulit untuk menyeragamkan visi-misi presiden dan kepala daerah. "Ini yang saya sebut PPHN tidak relevan," ucap dia.

Peneliti politik dan kebijakan publik dari Saiful Mujani Research and Consulting, Saidiman Ahmad, menilai PPHN akan membuat presiden kembali dikontrol oleh MPR. Padahal presiden tidak dipilih oleh MPR, melainkan oleh rakyat secara langsung.

Dalam kampanye, kata Saidiman, calon presiden akan mengemukakan visi dan misi yang sangat mungkin berbeda dengan calon lain. Sementara itu, visi, misi, platform, dan materi kampanye akan menjadi janji calon presiden kepada publik yang memilihnya. Di sisi lain, publik memilih calon berdasarkan janji tersebut. "PPHN akan membuat janji dalam kampanye ini menjadi tidak relevan," ujarnya.

Saidiman berpendapat, ada sejumlah elite yang menginginkan agar MPR kembali memiliki wewenang dan kekuasaan dalam pemilihan presiden. Selain itu, ada kecenderungan sejumlah elite mulai jenuh dengan sistem pemilihan langsung. "Mereka ingin tetap berkuasa tanpa melibatkan aspirasi publik," katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, justru menilai PPHN diperlukan untuk menghilangkan polarisasi politik dikotomis. Sebab, dengan adanya haluan negara, maju atau tidaknya negara tidak dibebankan kepada satu orang. Sebaliknya, ketika negara maju, pujian tidak disematkan kepada satu orang saja. "Intinya, PPHN bagi Indonesia diperlukan agar arah pembangunan itu teratur," tuturnya.

Karena itu, kata Dedi, substansi PPHN harus mengacu pada pembangunan negara yang bersifat direktif. Dengan demikian, pemerintah tidak boleh melenceng dan gagal mencapai target. "Jika itu terjadi, pemerintah harus menanggung konsekuensi hukum yang kuat," ujar dia.

MAYA AYU PUSPITASARI

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus