Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menjadi Dokter Lewat IPS

Sipenmaru tahun 84, terdapat lulusan SMA-IPS masuk jurusan eksakta-kedokteran. (pdk)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EJEKAN itu kini terbukti salah. Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SMA bukan jurusan kelas dua - sesudah Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA. Dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru yang populer disebut Sipenmaru tahun ini, 95 lulusan SMA IPS ternyata masuk di jurusan eksakta. Dan ini untuk pertarna kalinya terjadi sepanjang sejarah pendidikan di Republik ini. Adalah Rosita MariaAna Harianja, 19, lulusan IPS SMAN III, Denpasar, tahun ini. Siswi ini, menurut Dewa Made Sudira, wali kelasnya, termasuk anak yang pandai. Ia memilih jurusan IPS, dulu, "ikut-ikutan teman saja," katanya Baru di kelas III, cita-citanya tumbuh, dan, celaka, ia ingin jadi dokter. Untunglah, akhir tahun lalu, diputuskan bahwa sistem tes masuk ke perguruan tinggi negeri diubah. Yakni, dari Proyek Perintis menjadi Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), yang memberi kesempatan semua lulusan SMA, tak memandang dari jurusan apa, memilih jurusan apa saja di perguruan tinggi negeri. Maka, Rosita tak perlu putus asa. Ia juga tak harus melakukan, misalnya, pindah sekolah untuk mencari kemungkinan pindah jurusan. Rosita pun, kemudian, melakukan persiapan yang diperlukan. Kebetulan, anak ke 7 dari sembilan bersaudara ini punya kakak di bidang eksakta semuanya. Seorang kakaknya duduk di tingkat IV Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali. Kakaknya yang lain dosen di fakultas teknik pada universitas yang sama. Bahkan adiknya, yang kini di kelas III SMA, duduk di IPA. Dari saudara-saudaranya itulah Rosita memperdalam kimia, fisika, dan biologi - mata pelajaran yang diperlukan untuk menembus tes Sipenmaru jurusan IPA, yang di IPS tak/diberikan. Tampaknya Rosita, Juara catur putri untuk seluruh Bali sejak 1981, tak menghadapi kesulitan mempelajari tiga pelajaran itu. "Pokoknya, setiap ada kesempatan saya mempelajari buku-buku kakak saya," tuturnya. Maka ia berhasil, dan diterima di Fakultas Kedokteran Udayana, seperti yang dicita-citakannya. Tentu, pihak Fakultas Kedokteran Udayana belum bisa meramalkan sukses Rosita nanti. "Yang pokok, apakah dia nanti mampu mengikuti kuliah Kimia Biologi, dan Fisika, yang merupakan kunci keberhasilan di Kedokteran," kata I Gusti Putu Pantri, Pembantu Dekan I Fakultas Kedokteran Udayana. Tapi pihak SMAN III jadi bangga bukan main. Made Bandung, kepala SMA tersebut, menyatakan membuka perpustakaan SMA-nya buat Rosita. "Kapan saja perpustakaan SMA III terbuka buat Rosita, meski dia bukan lagi siswa di sini," kata Made Bandung. Lebih dari itu, guru bidang studi Kimia, Biologi, dan Fisika SMAN III itu, menyatakan selalu siap membantu Rosita. Contoh yang lain ada di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UGM Yogyakarta. Alexander Ristiyanto, 20, lulusan SMAN III, Yogya, sebenarnya bertujuan utama masuk fakultas ekonomi. Tapi ia pun mengikuti tes Sipenmaru IPA, dan mencantum an pilihan: Jurusan arsitektur. "Coba-coba saja, mumpung dibolehkan," tuturnya. Ternyata industri di situ ia diterima. Padahal, Ristiyanto bukan termasuk anak pandai. Misalnya, nilai EBTA pemuda berhobi menembak dan ngebut ini enam semua, selain untuk menggambar, yang mencapai tujuh. Bahkan ia pernah tinggal kelas di kelas I SMA. Sebenarnya, ia bercita-cita masuk IPA, agar nanti bisa mendaftarkan ke jurusan apa saja. Tapi di SMA ia hanya bisa diterima di IPS. "Mau apa lagi, padahal saya sudah ikut les pelajaran eksakta waktu itu," kata anak sekwilda Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ini. Toh, ketika ia mengerjakan soal-soal tes IPA dalam Sipenmaru Mei yang lalu, ia mantap. Dukungan moril diperoleh dari ayahnya dan kakaknya yang duduk di Jurusan Arsitektur UGM tingkat II. Untuk mempelajari bidang IPA, misalnya Matematika dan Fisika, selain dibantu kakaknya, anak kedua dari lima bersaudara ini pun belajar sendiri lewat buku-buku. Sebenarnya kesangsian orang terhadap manfaat pembagian jurusan di SMA sudah muncul di tahun 1970-an. Misalnya, Prof.Dr.Teuku Jacob, rektor UGM sekarang, sewaktu masih menjadi dekan Fakultas Kedokteran UGM mencetuskan ide agar fakultasnya menerima pula siswa IPS. "Soalnya, mengetahui bakat seseorang itu bukan pekerjaan mudah," katanya. Teuku Jacob menyangsikan, benarkah siswa IPS berbakat dalam bidang sosial, dan siswa IPA memang anak-anak yang ditakdirkan gampang mempelajari bidang eksakta. Tapi ide itu, karena belum dimungkinkan oleh peraturan, belum pernah terwujud. Sidharto Pramoetadi, ketua Sipenmaru Pusat, ikut senang. Ia pun nenjamin, lulusan IPS dapat diterima di jurusan eksakta tentu berkat kerja keras lulusan itu sendiri, dan bukan hanya faktor kebetulan. Harsja Bachtiar, ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K, salah seorang yang mendukung dihapuskannya penjurusan di SMA, melihat kasus Rssita sebagal "kasus istimewa". "Menarik," kata Harsja "untuk mengikuti perkembangan siswa-siswa IPS itu". Sebab, kebiasaan selama ini jurusan eksakta di perguruan tinggi hanya menerima siswa IPA. Masuknya siswa IPS, yang tentunya mempunyai latar belakang keilmuan sedikit berbeda, "Ada kemungkinan menghasilkan sesuatu yang baru". Maksud Harsja, bila Rosita jadi dokter, ia akan lain dengan dokter dari IPA. Tapi ini tentu baru dugaan. Yang jelas, peniurusan IPA dan IPS terbukti tak efektif. Ternyata pula sebagian siswa SMA belum tahu pasti cita-cita mereka: bidang sosial, budaya, atau eksakta. Sunuh menarik kurikulum baru kini, meski tetap ada empat paket pilihan yang harus dipilih siswa, tapi dimungkinkan pindah pilihan. Siswa yang ternyata tak cocok dengan paket pilihan ilmu sosial bisa pindah pilihan, ke biologi, misalnya. Dengan konsekuensi, siswa itu harus kerja keras rnengejar ketinggalan beberapa mata pelalaran paket bologi (TEMPO, 4 Februari 1984). Toh, seperti dibuktikan Rosita dan Ristiyanto, itu mungkin dilakukan oleh siswa-siswa SMA itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus