Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menunggak setelah lulus

Pembekuan KMI oleh bank BNI di beberapa perguruan tinggi. karena banyaknya mahasiswa penerima KMI yang sudah lulus, menunggak cicilan. tujuannya membantu menyelesaikan skripsi, malah disalahgunakan.

1 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK sementara, mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta tak bisa menikmati program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Begitu pula mahasiswa Universitas Andalas, IKIP, dan IAIN yang semuanya di Padang. Bank BNI Cabang Solo dan Padang, sejak bulan lalu telah membekukan program KMI itu. "Pimpinan BNI Cabang Solo menyurati kami, memberitahukan bahwa pihaknya tak lagi mernberikan kredit KMI," kata Rektor UNS Koento Wibisono pekan lalu. Pembekuan serupa juga sudah diberlakukan di Universitas Riau tahun lalu. Pembekuan KMI di beberapa perguruan tinggi dilakukan karena banyaknya mahasiswa penerima KMI, yang kini sudah lulus, menunggak cicilan. Mereka sulit dilacak keberadaannya, karena begitu lulus tak melaporkan ke universitas asalnya. "Saya bisa memaklumi, mengerti, dan menyadari mengapa pihak bank menghentikan kredit untuk mahasiswa," kata Koento Wibisono. Dihentikan seterusnya? Memang tidak. Direktur BNI Pusat Widigdo Sukarman menyebutkan program ini tetap diteruskan. Hanya saja, sifatnya slow down sambil dipikirkan upaya untuk memperbaiki mekanismenya. "Kerja sama BNI dan perguruan tinggi perlu lebih digalakkan untuk mencegah meningkatnya tunggakan tersebut," kata Widigdo. Menurut Widigdo, sampai April lalu penerima KMI berjumlah 82.986 orang dan dana yang disalurkan Rp 67,2 milyar. Yang menunggak cicilan memang besar, tetapi yang benar-benar tidak dapat ditagih kurang dari 1 persen. Tunggakan itu, "wajar saja, wong mereka sedang cari kerja. Kita kan pernah merasakan susahnya jadi mahasiswa," katanya. KMI hanya diselenggarakan Bank Negara Indonesia 1946 -- kini dipopulerkan sebutan Bank BNI. Diperkenalkan sejak 1981, program ini diberikan kepada mahasiswa setelah semester 8 (atau telah menyelesaikan 120-144 SKS), dan dimaksudkan untuk membantu biaya penelitian serta membeli buku dalam upaya menyelesaikan skripsinya. Caranya mudah. Mahasiswa itu tinggal mengambil formulir dan minta persetujuan dekan. Permohonan cukup dilengkapi dengan kartu mahasiswa dan KTP. Selanjutnya, melalui rektor masing-masing, permohonan KMI itu disampaikan ke BNI. Hampir semua yang mengajukan kredit dikabulkan. Penerima KMI baru mencicil utangnya setelah dua tahun sejak dinyatakan lulus. Pertimbangannya, dalam tempo dua tahun itu mereka sudah mendapatkan pekerjaan. Bunganya dihitung 6 persen secara pukul rata. Sebagai jaminan di bank adalah ijazah aslinya. Jadi, begitu si mahasiswa diwisuda, pihak universitas hanya menyerahkan salinan ijazah kepada penerima KMI itu. Walau semuanya ringan, kredit yang rata-rata sekitar Rp 750.000 per mahasiswa ini toh banyak yang macet. "Mereka seperti enggan mengembalikan cicilan, walau sudah bekerja," kata pihak bank. Dana ini macet hampir di semua perguruan tinggi. Di perguruan tinggi yang besar seperti UGM, ITB, dan Unpad dana itu macet sampai di atas Rp 2 milyar. Di UNS Surakarta, misalnya, BNI sudah mengeluarkan pinjaman Rp 1,35 milyar untuk 1.800 orang. Dari jumlah itu, 90 persen belum mencicil. Ada yang karena belum waktunya, tetapi sebagian besar sudah jatuh tempo namun tetap tak mencicil. Dari 10 persen yang sudah mencicil, hanya 100 penerima KMI yang melunasi utangnya. Karena secara moral ikut bertanggung jawab, Koento tak tinggal diam. Ia sudah menginstruksikan pada semua dekan agar melacak nama, alamat, dan tempat kerja para penunggak KMI. Bahkan ia juga mengimbau berbagai instansi yang menerima lulusan UNS, agar mereka menanyakan masalah KMI. "Saya yakin, mereka tidak akan ngemplang," kata Koento. Sebenarnya, universitas bisa lepas tangan, karena urusan penagihan cicilan itu terletak pada pihak bank. Seperti yang dikatakan Rektor ITS Oedjoe Djoeriaman. "Kalau ada yang menunggak, itu bukan urusan kami. Sepenuhnya itu ditangani oleh pihak bank," katanya. Namun, Oedjoe mengakui belum pernah menerima keberatan dari BNI mengenai tunggakan KMI ini. Besarnya tunggakan dan sulitnya bank menagih mungkin karena administrasi yang tak rapi -- dan itu yang kini termasuk dievaluasi. Ketika memohon KMI, mahasiswa mencantumkan alamat pondokannya (tempat kos) selain alamat universitas. Setelah lulus, alamat mereka itu tak tertinggal di tempat kos yang lama, juga di universitas. Faktor nakal memang ada juga. Misalnya Hindarto. Lulusan Seni Rupa UNS ini belum mencicil karena merasa tak pernah ditagih. Namun, begitu mendengar KMI dibekukan karena banyaknya penunggak, ia segera bereaksi. "Saya akan melunasi, tapi, ya, nanti dulu," katanya. Uang KMI yang diterimanya dulu, katanya, dibelikan sepeda motor. Lho, kok bukan buku atau penelitian? "Bagi saya, motor itu juga penting untuk mempersiapkan pameran dan mengurus ini itu," katanya kalem. Ternyata, memang tak ada kontrol bagaimana penggunaan dana KMI itu. Barangkali bank begitu percaya, mahasiswa-mahasiswa Indonesia masih jujur. Di UI, misalnya, ada mahasiswa memakai uang KMI untuk biaya perkawinan. Bahkan tak sedikit yang menganggapnya sebagai "bantuan pemerintah" yang tak harus dikembalikan. Seorang bekas mahasiswa penunggak KMI malah dengan enaknya berkata, "Paling nanti akan terjadi pemutihan." Kredit KMI itu sebenarnya sangat diharapkan mahasiswa. Sayang, kalau dibekukan. Sukadji Ranuwihardjo, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen P dan K, pun sependapat betapa pentingnya program ini untuk membantu mahasiswa menyelesaikan studinya. Adapun masalah tunggakan, Sukadji melihatnya sebagai sebuah risiko yang sudah diperhitungkan bank. "Karena pengembaliannya dikaitkan dengan penghasilan yang diterima setelah lulus. Jadi, memang lamban. Saya kira harus kita sadari sejak semula," katanya. Apalagi gagasan KMI itu sendiri datangnya dari pihak bank, "suatu kegiatan yang idealistis". Toh, demi kelangsungan program itu, Sukadji mengimbau penerima KMI supaya menunaikan kewajibannya. Di samping ada cara lain dengan menutup sementara dari pinjaman bank dunia.Agus Basri, Kastoyo Ramelan, Bachtiar Abdullah, Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum