Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bukan lagi hanya idealisme

Syarat pendirian PTS baru: dimana pengelola PTS harus menyediakan dana jaminan yang ditaruh di bank sesuai dengan jumlah mahasiswanya. tak bisa lagi hanya bermodalkan idealisme semata.

1 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA akhirnya hanya orang-orang berduit yang bisa mendirikan perguruan tinggi swasta (PTS). Lho, ini bukan mengada-ada. Rabu pekan lalu, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen P dan K, Sukadji Ranuwihardjo, mengisyaratkan hal itu di hadapan Komisi IX DPR RI. Ketika menjelaskan syarat-syarat pendirian PTS yang baru, Sukadji menyebut sejumlah uang. Ada sejumlah dana minimal yang harus dimiliki setiap badan hukum sebelum mengajukan izin untuk mendirikan PTS. Besarnya adalah Rp 800 ribu per mahasiswa per tahun untuk noneksakta dan Rp 1,5 juta untuk eksakta. Dan jumlah dana itu harus tersedia untuk selama 2 tahun bagi program D-II dan 3 tahun untuk program D-III, D-IV, serta S-1. Jaminan ini harus ditunjukkan dengan referensi bank. Menurut Sukadji, syarat itu -- dan sejumlah syarat lainnya yang masih panjang -- tidak berat. Mendirikan PTS di masa sekarang ini, kata Sukadji, tak bisa lagi hanya bermodalkan idealisme. Ketentuan baru ini sebenarnya sudah dikeluarkan November tahun lalu, tapi baru kini ramai diperbincangkan. Itu pun meledak karena sejumlah PTS yang tidak memenuhi syarat ditutup di beberapa kopertis (TEMPO, 10 Juni 1989). Dulu, pendirian PTS berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961. Siapa saja bisa mendirikan PTS. Enam bulan setelah PTS itu berdiri, baru dilaporkan ke kopertis setempat. Kopertis mengeluarkan izin operasional. Lalu dinilai setiap dua tahun untuk kenaikan status. Sekarang, setiap badan hukum yang mendirikan PTS harus konsultasi ke kopertis dan di situ dibeberkan persyaratan. Yang memenuhi persyaratan, kata Sukadji, boleh mendirikan PTS dan akan langsung diberi status terdaftar. Kalau tak siap, jangan coba-coba. Direktur Perguruan Tinggi Swasta Ditjen Pendidikan Tinggi, Yuhara Syukra, menjelaskan ada 9 aspek penting yang dinilai sebagai persyaratan. Yakni, masalah organisasi, kurikulum, tenaga pengajar tetap, nisbah antara tenaga dosen tetap dan mahasiswa, prasarana, pembinaan dan pengembangan mahasiswa, proses pendidikan, lulusan yang dihasilkan, serta kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Di luar 9 aspek ini adalah soal jaminan dana itu tadi. Kalau sebuah PTS mengantisipasi akan menerima 500 mahasiswa noneksakta, berarti harus ada jaminan dana Rp 400 juta. Jika dalam pelaksanaan ternyata menerima 525 mahasiswa, kata Yuhara, PTS itu harus menambah jaminannya Rp 20 juta lagi. "Uang jaminan itu bisa didepositokan, kan bisa memperoleh bunga," kata Yuhara. Ketentuan ini berlaku di semua daerah. "Kalau tak bisa menyediakan dana, berarti tidak layak. Kalau tak layak, buat apa memaksakan diri mendirikan PTS. Nanti malah akan merusak masyarakat," kata Yuhara lagi. "Kalau orang daerah tidak mampu, jangan sendiri-sendiri. Bergabung dengan yang lain. Coba himpun kekuatan." Ketentuan mengenai jaminan dana ini bukan cuma untuk proses pengajuan pendirian PTS baru. Tanpa diperintah pun, kata Yuhara, seharusnya PTS yang selama ini sudah berjalan menyesuaikan diri dengan ketentuan yang baru. Apa tidak memberatkan? Menurut Yuhara, ketentuan jumlah dana itu berdasarkan hasil survei mengenai penggunaan dana di perguruan tinggi. "Angka itu nggak jatuh dari langit," katanya. Memang bukan angka dari langit. Tapi toh banyak pihak yang seperti ketiban meteor. Jaminan dana itu -- terutama -- dirasakan berat. "Kalau harus punya dana mengendap segala, berarti pemerintah tidak merangsang adanya PTS. Akhirnya hanya yang kuat sajalah nanti yang berkembang," kata Syamsul Arifin, Ketua Yayasan Bakti Negara, yang punya Sekolah Tinggi Management Industri Perminyakan di Pangkalanbrandan, Sumatera Utara. Bila peraturan itu dijalankan konsekuen, Syamsul Arifin memilih membubarkan sekolah tingginya. "Saya mendirikan PTS karena idealisme," kata Syamsul Arifin. Ada lagi kekhawatiran lain, seperti yang dikatakan Ki H. Moh. Saleh. Rektor Universitas Putra Bangsa Surabaya. Dengan jaminan bank ini, hanya pemodal besar yang mendirikan PTS. Itu berarti dunia pendidikan tinggi sudah menjadi semacam arena bisnis. Saleh memperkirakan, akan terjadi "bursa penjualan PTS". Akan banyak yang menawarkan PTS-nya untuk dijual, karena tak bisa memenuhi jaminan itu. Rektor Universitas Langlang Buana Bandung, Soebroto Brotodiredjo, juga kaget. "Tujuannya baik, tetapi pelaksanaannya berat. Entah kalau di Jakarta," katanya. Untuk membangun gedung saja, universitas yang punya 2.600 mahasiswa ini meminjam uang dari bank dan kemudian dicicil dari hasil SPP mahasiswa. "Kalau biaya kuliah dinaikkan lagi, siapa yang mau daftar?" kata Soebroto. Bagi PTS yang besar dan selama ini sudah mapan, rupanya tak ada persoalan. Bahkan bagi Soetikno Hadi, Pembantu II Direktur Akademi Pariwisata Ambarukmo Palace Yogyakarta -- akademi ini baru berdiri 2 tahun lalu -- jaminan itu dianggapnya wajar. "Untuk mendirikan PTS tak bisa bermodal dengkul. Kami berusaha memenuhi persyaratan itu," katanya. Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ace Partadireja, memperkirakan PTS kecil akan tersingkir. "Tapi sangat bagus dampaknya bagi peningkatan mutu PTS yang ada. Sebab, akan terjadi persaingan peningkatan mutu di antara PTS yang masih hidup," kata Ace. UII sendiri tak ada masalah karena, "asetnya sudah bermilyar-milyar." Ada PTS tergolong baru di Jakarta, namun sama sekali tak gentar. Itulah Universitas Sahid, yang punya gedung megah berlantai 8 di kawasan Tebet. "Ya, baguslah itu," kata Sambas, Rektor Universitas Sahid, tentang jaminan bank itu. Universitas yang baru sebulan mendapatkan status terdaftar ini sudah punya aset dana Rp 2 milyar di bank. Pemiliknya, Sukamdani Sahid Gitosardjono. Jadi, memang berduit.Agus Basri, Bambang Aji, Gabriel Sugrahetty, Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum