Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Berjilbab urusan siapa

10 orang tua menggugat kepala sekolah SMAN 68 Jakarta di PN Jakarta Pusat, menuntut agar putri-putrinya kembali mengikuti pelajaran sekolah dengan tetap berkerudung. ibrahim hosen dari MUI jadi saksi.

1 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGI-LAGI jilbab, perkara yang kala ini menyesaki Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sepuluh orang tua menggugat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan -- dalam hal ini Kepala SMA Negeri 68 Jakarta. Mereka menuntut agar putri-putrinya kembali mengikuti pelajaran sekolah dengan tetap berkerudung. Selain itu, mereka mengajukan ganti rugi Rp 150 juta karena hilangnya kesempatan belajar dan ujian, di samping "atas kemungkinan tertundanya kesempatan meraih masa depan yang baik". Tapi sidang itu mustahak karena ada Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML. Ia menjadi saksi mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang berdiri di depan wali murid itu meminta MUI sebagai saksi ahli. Pengadilan memang mengokekan, tapi Pak Kiai hanya "saksi", bukan sebagai "saksi ahli". Kisahnya bermula tahun lalu. Kepala SMA 68 melarang sepuluh siswinya mengikuti pelajaran. Alasannya, mereka tak taat pada ketentuan seragam sekolah. Pengenaan jilbab, atau kerudung, malah dianggap melanggar ketentuan tadi. Soal ini jadi runcing setelah 13 Desember itu para siswi tersebut "dikembalikan pada orangtua masing-masing" -- sebutan halus "dikeluarkan" atau "dipecat" dari sekolah. Dari urusan intern sekolah, kemudian buntutnya menggelinding ke pengadilan. Namun, pihak sekolah selalu bertitik tolak pada apa yang disebut "peraturan". Sedangkan LBH Jakarta (diwakili Nursyahbani Katjasungkana, Sunarto, dan Furqon W. Authon) malah bertahan: "ini persoalan keyakinan". Mereka lalu mengajukan MUI menjadi saksinya. Terlepas dari selisih pandang kedua pihak yang berperkara itu, Ibrahim Hosen antusias. Sebab, menurut Pak Kiai, jilbab atau kerudung pada hakikatnya memang soal ajaran agama yang murni. "Bukan masalah politik, bukan juga kebudayaan," katanya. Dan sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI kemudian mendorong Ibrahim untuk menjelaskan duduknya masalah. Ketentuan mengenakan jilbab, katanya, itu tegas diatur dalam Islam, yakni wajib bagi setiap muslimat. "Soal ini tidak ada khilafiyah," ujarnya lagi. Itulah sebabnya maka tak pernah ada selisih pendapat di kalangan ahli fikih tentang wajib atau tidak berjilbab bagi muslimat. Landasannya adalah Quran Surat an-Nur ayat 31 dan Surat al-Ahzab ayat 59. Dalam ayat pertama yang dikemukakan Ibrahim itu disebut, "Hendaklah mereka (maksudnya wanita) menutupkan kain kerudung ke dadanya." Sedang ayat satu lagi merupakan perintah Allah kepada Nabi untuk menyeru istrinya, anak perempuannya, serta istri-istri orang mukmin. Selain itu, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh agar mereka mudah dikenal (sebagai wanita baik-baik), dan karena itu mereka tidak diganggu." Kedua ayat tadi diperkuat dengan sejumlah hadis, misalnya mengisahkan Rasulullah yang memalingkan muka sewaktu melihat Asma binti Abu Bakar berpakaian seknanya. Karena itu, para ulama berbulat pendapat: menutup aurat itu wajib, walau di luar salat. Imam Hambali dan Syafii bahkan tegas menyatakan: aurat wanita itu adalah "seluruh tubuhnya". Imam Hanafi dan Maliki hanya mengecualikan bagian muka dan telapak tangan. Cuma Abu Yusuf yang memperkenankan wanita memperlihatkan tangan sebatas siku. Itulah sebabnya Ibrahim heran, kok jilbab diributkan terus. Padahal, katanya, di Indonesia warganya dijamin menjalankan ajaran agamanya masmg-masing. Dan tentang wanita muslim ada yang tak berjilbab, ia mengatakan "itu berdosa". Tapi soal sanksinya "itu urusan Allah". Sementara itu, pelaksanaannya, ia memulangkannya pada kesadaran masing-masing. Sebab, katanya lagi, "Islam itu agama kesadaran. Bukan agama paksaan."Laporan Bambang Aji Setiady

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum