ADA kejutan dari Tanah Semenanjung. Komite Fatwa Malaysia pekan lalu menyatakan: menuliskan ayat Quran dengan huruf Latin adalah perbuatan haram. Pengharaman tersebut mencakup penulisan petikan ayat Quran dalam buku agama -- tentu beraksara Latin. Juga bahan bacaan dan cetakan lain. Fatwa itu meluncur setelah diputuskan dalam muzakarah komite ke-34 bulan ini. Bagi kebanyakan muslim di Indonesia, fatwa dari negeri jiran itu mungkin terdengar janggal. Tapi ulama di sana bukan tanpa pertimbangan menjatuhkan kata "haram". Simaklah pendapat Datuk Dr. Abdul Hamid Othman. Ia Dirjen Urusan Islam, jabatan yang selayaknya memutuskan pengharaman tadi. "Ini untuk menjaga kesucian dan menghindarkan penyelewengan terhadap ayat Quran," kata Datuk Hamid. Bagi lidah Indonesia, kata "penyelewengan" agaknya boleh disebut "penyimpangan" -- sehingga yang ingin mereka hindarkan adalah dalam hal bacaan maupun pengertiannya. Ada sebabnya mereka melirik pada penulisan ayat Quran dengan huruf Latin. Dalam pandangan para kiai ini, belakangan makin menjamur penerbitan yang mengutip ayat Quran bukan dengan huruf Arab, melainkan Latin. Menurut Datuk Hamid, dalam lima tahun terakhir ini bahkan kian banyak orang yang bergantung pada huruf Latin untuk membaca Ouran. Lembaga Perizinan dan Pengawasan Pencetakan Al-Quran dan Bahan-bahan Al-Quran (LPPPQ) yang dipimpin Hamid punya data. Dalam catatannya, setidaknya lebih dari 10 penerbitan yang sudah mencetak Quran dengan cara yang kini diharamkan itu. Ada yang cetakan Eropa, Amerika, Malaysia, Indonesia. Seluruhnya itu masih mencantumkan ayat Quran dengan huruf Arab walau disertai juga dalam aksara Latin. Kemudian, timbul persoalan. Yakni, huruf Latin itu sulit tepat menyuarakan huruf Quran -- yang pembacaannya jelas memerlukan tajwid atau tata caranya seperti telah ditentukan. Malah, di sana-sini diharuskan ada bunyi kerongkongan. Karena itu, bila ayat Quran dilatinkan, aturan tadi cenderung terabaikan. Padahal, mengabaikan aturan itu bisa menimbulkan kesalahan -- atau lebih melenceng -- dalam pengertian dan maknanya. Misalnya pemakaian huruf yang lazim disebut (dan ditulis) qaaf dan kaaf. Kedua huruf ini dapat digunakan dalam menyusun kata qalb dan kalb. Dengan penulisan seperti itu, siapa pun bakal enak membaca kedua kata ini dengan lafal yang sama. "Padahal, artinya berbeda," kata Abdul Hamid. Qalb itu "hati", sedangkan kalb maksudnya "anjing". Beda, kan? Maka, banyak tokoh intelektual dan ulama Malaysia mendukung pengharaman itu. Di antaranya Profesor Ismail Ibrahim, Direktur Pusat Bahasa Universitas Islam Antarbangsa (UIA). Juga Dr. Wan Ahmad, Ketua Pengajian Arab dan Tamaddun Islam Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). "Dengan adanya fatwa itu akan terbuka ruang baru mempelajari tulisan dan huruf Arab di kalangan generasi muda," kata Ismail. "Bahasa Arab tidak dapat ditulis kecuali dalam tulisan Arab, supaya makna dan tujuan kalimat itu tidak disalahtafsirkan," sambung Wan Ahmad. Yang sedikit longgar adalah H. Ahmad Azzam Hanafiah, seorang ulama Malaysia. Baginya, pelatinan ayat Quran bisa tidak haram asal di bagian atasnya tetap dicantumkan aslinya dalam huruf Arab. Hanya tulisan seperti ini layak untuk pemula saja. Sementara. Setelah itu, Ahmad kembali pada ketentuan baku: membaca Quran harus mengikuti ketentuan tajwid. Tanpa itu, "Pembacaannya juga menjadi haram hukumnya." Lain di Indonesia. Suara dari tanah seberang itu bukan serta-merta diamini. Misalnya Dr. Quraisy Shihab, ahli tafsir di IAIN Jakarta. Ia setuju dengan pernyataan bahwa huruf Latin tidak sepenuhnya dapat menuliskan bahasa Quran. Contohnya, seperti penulisan kata "riba". Dalam Quran yang ditulis dengan huruf Arab itu setiap kata "riba" selalu diakhiri dengan waw. Cuma dalam Surat Rum ayat (39) kemudian diakhiri dengan alif. Kata Quraisy, "riba" yang ditulis dalam Rum itu adalah halal. Yang lain: haram. Sebaliknya, dengan huruf Latin, baik yang haram maupun yang halal itu ditulis sama: "riba". Maka, Quraisy tak sependapat dengan fatwa tadi. Ia merujuk ke Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an. Kitab itu memuat beda pendapat para ulama tentang boleh tidaknya Quran ditulis dengan tata cara dan huruf selain yang dikenal di masa Khalifah Utsman bin Affan. Imam Malik, Ahmad bin Hanbal (dibaca Hambal), serta sejumlah ulama Syafii memang melarang penulisan Quran dengan huruf selain Arab. "Tapi itu banyak merugikan," ujar Quraisy. "Sebab, tidak mengajak orang yang tak mengenal huruf Arab yang rumit untuk mengenal Quran." Yang lebih logis, tambah Quraisy, pendapat Ibnu Khaldun. Ulama besar itu membolehkan Quran ditulis dengan huruf apa pun, bahkan steno -- asal dapat dibaca dengan benar. Alasan Ibnu Khaldun: Quran diwahyukan dengan kata-kata, bukan dengan tulisan. Jadi, mau ditulis dengan cara apa pun -- sekali lagi, asal bacaannya benar -- tidak perlu dipermasalahkan. Dan bagi Quraisy, ia setuju pada pendapat ketiga. Yakni, Quran tetap ditulis dengan huruf Arab seperti pada masa Utsman. Tapi, bila hendak ditulis dalam artikel atau disertasi, boleh dengan huruf Latin. Dalam kelompok ini ada Al-'Izz Abdussalam serta Hasbi as-Shiddiqie. Tahun 1973 penerbit Bahrul'uluum Bandung menerbitkan Quran yang menyertakan huruf Latin. Ucap penerbitnya, "Upaya itu untuk membantu mereka yang ingin membaca Quran, terutama bagi yang belum paham huruf Arab." Tapi penerbitan semacam itulah yang kini dihantam oleh fatwa dari Malaysia tadi. Dan bila fatwa itu siap diundangkan delapan bulan mendatang, maka kepada setiap yang mengutip Quran dengan huruf non-Arab dikenai hukuman. Adakah ulama di Malaysia itu mendekati Islam secara fikih yang kaku?Zaim Uchrowi, Ahmadie Thaha (Jakarta), Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini