Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menunggu Munculnya Einstein

Sebuah penelitian dan pengamatan mengenai perkembangan anak cerdas di AS dari tahun 1921 sampai kini. Anak-anak cerdas dan berbakat dianggap merupakan masalah sendiri.

28 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang bisa dijanjikan oleh anak anak cerdas, anak "jenius", untuk masa depan? Di Indonesia pertanyaan itu terasa belum mendesak. Perhatian terhadap anak luar biasa baru terbatas dalam seminar, dan sedikit penelitian. Dua pekan lalu misalnya, sebuah seminar tentang anak berbakat mencoba membahas pentingnya anak-anak itu mendapat sekolah atau kelas khusus. Dalam satu penelitian yang diselenggarakan BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) Departemen P8K dan Yayasan Pengembangan Kreativitas, tahun lalu, didapat kenyataan: anak cerdas biasanya menjadi malas belajar. Mereka merasa "pelajaran sekolah sering diulang-ulang." Dan Senin pekan ini, dibuka satu lokakarya tingkat ASEAN yang membicarakan pendidikan khusus untuk anak yang seperti itu. Tapi di Amerika Serikat, sebuah proyek yang mengikuti perkembangan anak cerdas kini tengah menyiapkan satu analisa dari hasil pengamatan bertahun-tahun. Diperkirakan kerja itu akan rampung tahun depan. Hasil sementaranya, merupakan kesan selayang pandang ahli psikologi suami-istri Robert dan Pauline Sears--anggota pengurus proyek tersebut -- dibeberkan dalam majalah Psychology Today. Profesor dan Juru Tulis Pada awalnya proyek ini diselenggarakan Lewis B. Terman (1877-1956) pada 1921. Tujuannya: menguji kebenaran pendapat bahwa anak cerdas adalah anak biasa saja. Soalnya waktu itu anak cerdas luar biasa menimbulkan banyak salah paham. Antara lain ada anggapan anak yang "cepat berkembang akan cepat pula jadi busuk." Akhirnya proyek seorang ahli psikologi dari Stanford Vniversity ini berkembang terus, dan 1.528 anak cerdas (berdasar tes waktu itu ber-IQ di atas 135) terus diikuti perkembangannya. Mereka dijaring dari 250 ribu anak sekolah di California, yang di tahun 1921 duduk di kelas III sampai VIII--berusia rata-rata 11 tahun. Secaraberkalamereka dikirimi daftar pertanyaan atau langsung diwawancara. Terakhir tahun 1977. Banyak hak didapatkan. Misalnya, ternyata tak ad jaminan seorang anak cerdas akan bahagia dan sukses dalam hidup. Juga bahwa mereka akan berhasil menyumbangkan satu penemuan di bidang ilmu atau budaya. Dan sampai tahun lalu, dari 1.500 lebih responden tak seorang pun memperoleh Hadiah Nobel atau yang sejenis. Memang tak diketahui secara persis efek menjadi responden ini: untung rugi seseorang yang dinyatakan sebagai sangat cerdas dibanding dengan yang cerdas tapi tak diberitahu potensinya. Yang jelas, sejumlah responden cerdas yang tak berhasil meraih prestasi tinggi dalam bidangnya ternyata merasa berdosa. Pada 1960, untuk perbandingan, ada pembagian responden dari hasil selarna ini. Golongan A diberikan untuk yang berprestasi tinggi dan Golongan C untuk yang kurang berprestasi -- masing-masing 100 responden. Termasuk A antara lain 24 orang profesor, 11 ahli hukum, 8 peneliti ilmiah dan 5 ahli kesehatan. Adapun golongan C rata-rata bekerja sebagai juru tulis, salesman atau pedagang kecil. Menengok kembali hasil daftar pertanyaan dan wawancara, juga tes-tes kecerdasan pada awal proyek ini bertahun-tahun lalu, disimpulkan: perbedaan tingkat kecerdasan, yang di masa kanak-kanak tidak berarti, menjadi semakin besar di masa dewasa. Juga, latar belakang keluarga dan kehidupan golongan A lebih cerah dibanding C. Golongan A datang dari orang tua yang menaruh perhatian dan dorongan terhadap pendidikan dan prestasi anak. Warna kehidupan masa kecil, remaja dan dewasa kedua golongan tersebut-meski tingkat kecerdasan di masa kanak boleh dikatakan sama--nyata bcdanya. Kanak-kanak A lebih aktif. suka mengumpulkan perangko, kerang atau batu-batuan. Mengikuti kegiatan di luar sekolah. Di masa remaja dan dewasa aktif dalam olahraga, ambil bagian dalam perkumpulan profesional dan sosial. Eh, ya, memang dari golongan A lebih sedikit yang mengalami serangan jantung. Tapi apa sebenarnya yang kemudian membedakan prestasi anak-anak yang nyaris sama kepintarannya itu, di masa dewasa? Ternyata banyak hal tak terekam dalam tes-tes kecerdasan. Berdasar wawancara dan pengamaun cermat, disimpulkan: "cara berpikir yang masak, kemauan kuat untuk berkembang, tak cepat merasa bosan dengan satu kesibukan," ditambah dengan kebiasaan berusaha memutuskan sesuatu. Meski demikian, ketika proyek ini melakukan tes kecerdasan sewaktu responden telah dewasa, tetap saja golongan C lebih tinggi dibanding rata-rata orang. Memang, 1.528 respoden itu (A maupun C) dalam bidang pekerjaan masing-masing tak tercela. Mereka mampu bertugas dengan baik sekali -- dari yang pengantar pos sampai yang jenderal, dari tukang masak sandwich sampai direktur laboratorium nuklir. 77 responden sempat masuk daftar ahli ilmu pengetahuan ternama di AS, 33 responden tercatat dalam buku Who's Who. Toh tak muncul seorang Edison. Atau Beethoven. Picasso. Atau Einstein. Tes kecerdasan memang cocok untuk mengukur prestasi sekolah auu prestasi kerja, tapi tidak untuk menemukan seorang yang benar-benar jenius. Seorang jenius yang kreatif membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar IQ yang tinggi -- sesuatu yang tak terjabarkan dalam tes. Sesuatu yang wallahu a'lam. Tapi memang, sebagian responden masih hidup dan masih bekerja terus. Itulah yang membuat Pauline Sears berkata: "Mereka belum meninggal semua Iho. Dibutuhkan waktu untuk mengenai seorang Einstein." Yah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus