APA yang bisa dijanjikan oleh anak anak cerdas, anak "jenius",
untuk masa depan?
Di Indonesia pertanyaan itu terasa belum mendesak. Perhatian
terhadap anak luar biasa baru terbatas dalam seminar, dan
sedikit penelitian.
Dua pekan lalu misalnya, sebuah seminar tentang anak berbakat
mencoba membahas pentingnya anak-anak itu mendapat sekolah atau
kelas khusus. Dalam satu penelitian yang diselenggarakan BP3K
(Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan)
Departemen P8K dan Yayasan Pengembangan Kreativitas, tahun
lalu, didapat kenyataan: anak cerdas biasanya menjadi malas
belajar. Mereka merasa "pelajaran sekolah sering diulang-ulang."
Dan Senin pekan ini, dibuka satu lokakarya tingkat ASEAN yang
membicarakan pendidikan khusus untuk anak yang seperti itu.
Tapi di Amerika Serikat, sebuah proyek yang mengikuti
perkembangan anak cerdas kini tengah menyiapkan satu analisa
dari hasil pengamatan bertahun-tahun. Diperkirakan kerja itu
akan rampung tahun depan. Hasil sementaranya, merupakan kesan
selayang pandang ahli psikologi suami-istri Robert dan Pauline
Sears--anggota pengurus proyek tersebut -- dibeberkan dalam
majalah Psychology Today.
Profesor dan Juru Tulis
Pada awalnya proyek ini diselenggarakan Lewis B. Terman
(1877-1956) pada 1921. Tujuannya: menguji kebenaran pendapat
bahwa anak cerdas adalah anak biasa saja. Soalnya waktu itu anak
cerdas luar biasa menimbulkan banyak salah paham. Antara lain
ada anggapan anak yang "cepat berkembang akan cepat pula jadi
busuk."
Akhirnya proyek seorang ahli psikologi dari Stanford Vniversity
ini berkembang terus, dan 1.528 anak cerdas (berdasar tes waktu
itu ber-IQ di atas 135) terus diikuti perkembangannya. Mereka
dijaring dari 250 ribu anak sekolah di California, yang di tahun
1921 duduk di kelas III sampai VIII--berusia rata-rata 11 tahun.
Secaraberkalamereka dikirimi daftar pertanyaan atau langsung
diwawancara. Terakhir tahun 1977.
Banyak hak didapatkan. Misalnya, ternyata tak ad jaminan
seorang anak cerdas akan bahagia dan sukses dalam hidup. Juga
bahwa mereka akan berhasil menyumbangkan satu penemuan di bidang
ilmu atau budaya. Dan sampai tahun lalu, dari 1.500 lebih
responden tak seorang pun memperoleh Hadiah Nobel atau yang
sejenis.
Memang tak diketahui secara persis efek menjadi responden ini:
untung rugi seseorang yang dinyatakan sebagai sangat cerdas
dibanding dengan yang cerdas tapi tak diberitahu potensinya.
Yang jelas, sejumlah responden cerdas yang tak berhasil meraih
prestasi tinggi dalam bidangnya ternyata merasa berdosa.
Pada 1960, untuk perbandingan, ada pembagian responden dari
hasil selarna ini. Golongan A diberikan untuk yang berprestasi
tinggi dan Golongan C untuk yang kurang berprestasi --
masing-masing 100 responden. Termasuk A antara lain 24 orang
profesor, 11 ahli hukum, 8 peneliti ilmiah dan 5 ahli kesehatan.
Adapun golongan C rata-rata bekerja sebagai juru tulis, salesman
atau pedagang kecil.
Menengok kembali hasil daftar pertanyaan dan wawancara, juga
tes-tes kecerdasan pada awal proyek ini bertahun-tahun lalu,
disimpulkan: perbedaan tingkat kecerdasan, yang di masa
kanak-kanak tidak berarti, menjadi semakin besar di masa dewasa.
Juga, latar belakang keluarga dan kehidupan golongan A lebih
cerah dibanding C. Golongan A datang dari orang tua yang menaruh
perhatian dan dorongan terhadap pendidikan dan prestasi anak.
Warna kehidupan masa kecil, remaja dan dewasa kedua golongan
tersebut-meski tingkat kecerdasan di masa kanak boleh dikatakan
sama--nyata bcdanya. Kanak-kanak A lebih aktif. suka
mengumpulkan perangko, kerang atau batu-batuan. Mengikuti
kegiatan di luar sekolah. Di masa remaja dan dewasa aktif dalam
olahraga, ambil bagian dalam perkumpulan profesional dan sosial.
Eh, ya, memang dari golongan A lebih sedikit yang mengalami
serangan jantung.
Tapi apa sebenarnya yang kemudian membedakan prestasi anak-anak
yang nyaris sama kepintarannya itu, di masa dewasa? Ternyata
banyak hal tak terekam dalam tes-tes kecerdasan. Berdasar
wawancara dan pengamaun cermat, disimpulkan: "cara berpikir yang
masak, kemauan kuat untuk berkembang, tak cepat merasa bosan
dengan satu kesibukan," ditambah dengan kebiasaan berusaha
memutuskan sesuatu.
Meski demikian, ketika proyek ini melakukan tes kecerdasan
sewaktu responden telah dewasa, tetap saja golongan C lebih
tinggi dibanding rata-rata orang.
Memang, 1.528 respoden itu (A maupun C) dalam bidang pekerjaan
masing-masing tak tercela. Mereka mampu bertugas dengan baik
sekali -- dari yang pengantar pos sampai yang jenderal, dari
tukang masak sandwich sampai direktur laboratorium nuklir. 77
responden sempat masuk daftar ahli ilmu pengetahuan ternama di
AS, 33 responden tercatat dalam buku Who's Who.
Toh tak muncul seorang Edison. Atau Beethoven. Picasso. Atau
Einstein. Tes kecerdasan memang cocok untuk mengukur prestasi
sekolah auu prestasi kerja, tapi tidak untuk menemukan seorang
yang benar-benar jenius. Seorang jenius yang kreatif membutuhkan
sesuatu yang lebih dari sekedar IQ yang tinggi -- sesuatu yang
tak terjabarkan dalam tes. Sesuatu yang wallahu a'lam.
Tapi memang, sebagian responden masih hidup dan masih bekerja
terus. Itulah yang membuat Pauline Sears berkata: "Mereka belum
meninggal semua Iho. Dibutuhkan waktu untuk mengenai seorang
Einstein." Yah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini