Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pangkat Untuk Sekolah Partikelir

Sekolah swasta dari SD sampai SLTA akan diberi pangkat yang tertinggi "disamakan", menyusul "diakui", lalu "terdaftar" dan terakhir "tercatat".

28 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKOLAH swasta -- dari SD sampai SLTA--akan diberi pangkat. Yang tertinggi, tentu, "disamakan" (dengan sekolah negeri. Di bawah itu: "diakui". Lapis ketiga, "terdaftar". Dan terakhir, yang paling malang, "tercatat". Untuk menentukan kriteria pemberian status atau akreditasi itulah, antara lain, Kamis sampai Sabtu pekan lalu Direktorat Sekolah Swasta Ditjen PDM (Pendidikan Dasar dan Menengah) Departemen P&K mengadakan rapat kerja di Jakarta. Beberapa kepala Kanwil P&K yang punya banyak sekolah swasta dalam wilayahnya, antara lain Jawa Barat, Tengah, Timur, DKI Jakarta, hadir. Pedoman pelaksanaan akreditasi tersebut memang belum final--masih menunggu pengesahan Menteri. Tapi unsur pokok yang dinilai memang sudah jelas. Antara lain: kuantitas dan kualitas guru, sarana pendidikan (gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, antara lain), mutu lulusan, dan dipenuhinya persyaratan murid seperti pada sekolah negeri -- punya ijasah sekolah dari tingkat di bawahnya. Dan komentar dari masyarakat? Cukup ramai. Masalah pokok yang dibicarakan adalah kriteria mutu sebuah sekolah. Bagi kepala sekolah SMA Muhammadiyah II, "menyidik kembali alumni, mereka menjadi apa, bekerja di mana," adalah kriteria utama. Pendapat yang sarna dilontarkan oleh kepala sekolah SMP Budhaya, Jakarta. "Alumni yang berhasil, membantu mengangkat nama sekolah," katanya. Dengan kata lain, "penilaian yang nyata sebetulnya datang dari masyarakat." Tapi bebcrapa kepala sekolah SMA swasta yang lain di Jakarta memang menilai gedung sekolah, guru dan jumlah murid yang cukup merupakan persyaratan dasar. Kekhawatiran Ada sedikit kekhawatiran. Beberapa kepala sekolah SMP swasta yang cukup punya nama, menunjuk kemungkinan kalau-kalau soal akreditasi ini akan disusul kebijaksanaan pemerintah lebih jauh. "Bila peraturan sekolah sudah baik, lalu tiba-tiba ada campur tangan pemerintah untuk harus begini-begitu yah, bisa rusak," kata seorang kepala sekolah SMP swasta. Lebih-lebih bila orang mengingat masalah libur puasa tempo hari--yang bisa saja mereka khawatirkan akan mempengaruhi penilaian kepada sekolah yang "tidak patuh" Setidak-tidaknya setengah orang juga melihat peluang besar bagi "permainan". Diingat sekolah swasta di seluruh tanah air berjumlah sekian ratus ribu. Bisakah dipercaya, kerja aparat untuk menangani jumlah tersebut akan bersih dan mulus? Apa pula ukurannya alias contoh konkritnya dalarn menilai? Ny. Maftuhah Yusuf, Ketua ll Pengurus Harian MPS (Musyawarah Perguruan Swasta), kepada harian Kortzpas misalnya mempertanyakan ukuran itu. Sekolah negeri sendiri, dikatakannya, banyak sekali yang mutunya jauh di bawah sekolah swasta ia mengambil contoh sekolah-sekolah yang jauh di pelosok di luar Jawa (dan hanya tidak menyebut misalnya SD-SD negeri di Perumnas Depok, Bogor). Yang ditanyakan, lalu: sekolah negeri yang mana yang mau dijadikan contoh soal? Logikanya tentu saja: sekolah-sekolah negeri sendiri seharusnya dikenai akreditasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus