SEKOLAH swasta -- dari SD sampai SLTA--akan diberi pangkat. Yang
tertinggi, tentu, "disamakan" (dengan sekolah negeri. Di bawah
itu: "diakui". Lapis ketiga, "terdaftar". Dan terakhir, yang
paling malang, "tercatat".
Untuk menentukan kriteria pemberian status atau akreditasi
itulah, antara lain, Kamis sampai Sabtu pekan lalu Direktorat
Sekolah Swasta Ditjen PDM (Pendidikan Dasar dan Menengah)
Departemen P&K mengadakan rapat kerja di Jakarta. Beberapa
kepala Kanwil P&K yang punya banyak sekolah swasta dalam
wilayahnya, antara lain Jawa Barat, Tengah, Timur, DKI Jakarta,
hadir.
Pedoman pelaksanaan akreditasi tersebut memang belum
final--masih menunggu pengesahan Menteri. Tapi unsur pokok yang
dinilai memang sudah jelas. Antara lain: kuantitas dan kualitas
guru, sarana pendidikan (gedung sekolah, perpustakaan,
laboratorium, antara lain), mutu lulusan, dan dipenuhinya
persyaratan murid seperti pada sekolah negeri -- punya ijasah
sekolah dari tingkat di bawahnya.
Dan komentar dari masyarakat? Cukup ramai. Masalah pokok yang
dibicarakan adalah kriteria mutu sebuah sekolah. Bagi kepala
sekolah SMA Muhammadiyah II, "menyidik kembali alumni, mereka
menjadi apa, bekerja di mana," adalah kriteria utama.
Pendapat yang sarna dilontarkan oleh kepala sekolah SMP Budhaya,
Jakarta. "Alumni yang berhasil, membantu mengangkat nama
sekolah," katanya. Dengan kata lain, "penilaian yang nyata
sebetulnya datang dari masyarakat."
Tapi bebcrapa kepala sekolah SMA swasta yang lain di Jakarta
memang menilai gedung sekolah, guru dan jumlah murid yang cukup
merupakan persyaratan dasar.
Kekhawatiran
Ada sedikit kekhawatiran. Beberapa kepala sekolah SMP swasta
yang cukup punya nama, menunjuk kemungkinan kalau-kalau soal
akreditasi ini akan disusul kebijaksanaan pemerintah lebih jauh.
"Bila peraturan sekolah sudah baik, lalu tiba-tiba ada campur
tangan pemerintah untuk harus begini-begitu yah, bisa rusak,"
kata seorang kepala sekolah SMP swasta. Lebih-lebih bila orang
mengingat masalah libur puasa tempo hari--yang bisa saja mereka
khawatirkan akan mempengaruhi penilaian kepada sekolah yang
"tidak patuh"
Setidak-tidaknya setengah orang juga melihat peluang besar bagi
"permainan". Diingat sekolah swasta di seluruh tanah air
berjumlah sekian ratus ribu. Bisakah dipercaya, kerja aparat
untuk menangani jumlah tersebut akan bersih dan mulus? Apa pula
ukurannya alias contoh konkritnya dalarn menilai?
Ny. Maftuhah Yusuf, Ketua ll Pengurus Harian MPS (Musyawarah
Perguruan Swasta), kepada harian Kortzpas misalnya
mempertanyakan ukuran itu. Sekolah negeri sendiri, dikatakannya,
banyak sekali yang mutunya jauh di bawah sekolah swasta ia
mengambil contoh sekolah-sekolah yang jauh di pelosok di luar
Jawa (dan hanya tidak menyebut misalnya SD-SD negeri di Perumnas
Depok, Bogor). Yang ditanyakan, lalu: sekolah negeri yang mana
yang mau dijadikan contoh soal? Logikanya tentu saja:
sekolah-sekolah negeri sendiri seharusnya dikenai akreditasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini