OPERASI narkotika terus dilancarkan, terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya, Di kedua tempat itu polisi
berhasil menyita 7 kg ganja kering. Namun di Aceh daerah asal
ganja itu, polisi sulit memusnahkan sumber-sumber barang
terlarang itu karena ditanam secara perkebunan dan tersembunyi.
Awal November, satuan reserse Kodak Metro Jaya mendapat
informasi penting. Isinya: di Cawang, Jakarta Timur, ada basis
perdagangan morfin. Komandan reserse, Letkol Pol. Hindarto
segera memerintahkan Komandan Unit Reserse Narkotika, Kapten
Pol. Gordon Siadari untuk melacak informasi itu. Pemberi
informasi dijanjikan hadiah 30 juta jika berhasil membekuk
sendiri orang yang disinyalirnya, kata Hindarto.
Gordon Siadari cukup hati-hati menjalankan tugasnya. Dengan
sebuah keker dari jarak jauh ia mengamati tempat yang dicurigai
itu. Memang ia melihat ada kegiatan perdagangan gelap di tempat
itu. Gordon menghubungi pasukan di markas komando untuk segera
mengepung tempat itu. Hasilnya: 16 orang terciduk dalam operasi
singkat itu, berikut barang bukti Hanya saja yang mereka
perdagangkan adalah ganja, bukan morfin. Empat orang di antara
yang tertangkap mengaku sebagai pemilik baran-barang itu.
Menderita Lepra
Keesokan harinya, 5 November lalu, seorang anggota KP3, Tanjung
Perak, Surabaya, Capa. Pol. Soul Sitompul melihat dua orang
menenteng dos-dos di pelabuhan itu dengan gelagat mencurigakan.
Ketika didekati, kedua orang itu serta merta membuang dos-dos
tadi dan kabur ke balik gudang-gudang pelabuhan. "Saya kira
dos-dos itu berisi video tape, eh ternyata ganja," kata Soul
Sitompul. Tetapi hasil operasinya ternyata merupakan hasil
terbesar di pelabuhan itu, berupa 5 kg ganja kering.
Sukses-sukses polisi di bulan ini, ternyata bukan gambaran
mudahnya mengungkapkan mata rantai perdagangan narkotik di
Indonesia. Dansat Reserse Surabaya, Mayor Pol. Drs. Sumarsono
mengakui sulitnya melacak jaringan itu sampai tuntas. Kalaupun
ada yang tertangkap, keterangan tidak berhasil dikorek.
"Kalaupun ada yang mengaku memperdagangkan, tetapi tidak
menyebut nama-nama orang lain," kata Sumarsono. Terbukti dari
lima pelaku pengedaran narkotik yang tertangkap di Surabaya
tahun ini, semua tutup mulut.
Sistem jaringan tertutup itu merupakan pola yang dipakai semua
pengedar narkotika di kota-kota besar lainnya. "Organisasi
mereka ternyata sangat kuat dan tertutup," kata Dansat Serse
Kodak Metro Jaya, Hindarto. Padahal di wilayah Jakarta tercatat
pemakaian narkotika terbesar di Indonesia, yaitu 1358 kasus dari
2877 kasus di seluruh Indonesia selama 5 tahun (1974-1980). Dari
kasus-kasus itu terlihat pemakaian narkotika terbanyak adalah
berupa ganja.
Selain tertutup pengedar ganja kelas berat memang cukup lihai.
Dari dua-kali operasi ganja di Banda Aceh dalam tahun ini, hanya
barangnya yang berhasil ditangkap di stasiun bis Banda Aceh.
Pemiliknya tidak berhasil terpegang, walau di karung yang
digunakan untuk mengirim ganja darl Banda Aceh ke Medan
tercantum alamat lengkap. Tetapi nama dan alamat itu palsu.
Rapi dan lihainya organisasi perdagangan narkotika iu membuat
ganja dari kebun-kebun rakyat di Aceh Tenggara mengalir lancar
ke seluruh Indonesia bahkan ke luar negeri. Ganja itu tutur
Danres Banda Aceh, Letkol Sudarmadji dihasilkan oleh rakyat di
Kecamatan Rikib Gaib dan Terangon yang berbatasan dengan
Sumatera Utara.
Dari kebun-kebun itu, pedagang membawanya langsung ke Kutacane,
terus ke Medan. Jika pola ini dilacak polisi, mereka
mengalihkannya melalui jalan setapak selama 5 hari perjalanan
kaki ke Aceh Selatan. Dari Blang Pidie di Aceh Selatan mereka
mengirimkan ganja itu ke Sibolga, Sumatera Utara atau Banda Aceh
untuk kemudian disebarkan ke tempat-tempat lain.
Jalur-jalur ini pun selalu berubah. Kalau keadaan rawan mereka
mengirimkan ganja secara estafet dengan berbagai macam tipuan.
Ada orang-orang khusus yang mereka gaji untuk membawa ganja
melalui perjalanan panjang dengan menapak bukit barisan menuju
Sumatera Utara. Bahkan, orang-orang penyakit lepra--yang tidak
dicurigai dan ditakuti orang --mereka gaji untuk membawa ganja
melewati tempat-tempat yang diawasi polisi. Sudarmadji sendiri
pernah menangkap seorang berpenyakit lepra yang membawa puluhan
kilo ganja ke ring untuk diselundupkan ke Malaysia melalui
sebuah pulau kecil di Aceh.
Interpol
Keuntungan perdagangan ganja itu memang memabukkan. Satu
kilogram ganja kering di pedalaman Aceh berkisar Rp 3.000. Tapi
sampai di Medan harga itu sudah meloncat menjadi Rp 75.000. Jika
lolos sampai di Jakaru, harganya meningkat menjadi ratusan ribu.
Belum lagi, jika sempat lolos ke luar negeri. Sebab itu pula
Aceh dikenal Interpol sebagai sarang utama ganja untuk belahan
bumi bagian selatan--selain Segi Tiga Emas, di Muangthai.
Tetapi membasmi sarangnya itu, kata Sudarmadji, lebih sulit
lagi, sebab lokasinya sangat sukar untuk didatangi. Untuk
mencapai kebun-kebun ganja itu harus berjalan kaki berhari-hari.
Belum lagi lokasi perkebunan itu terpencar-pencar dan susah
dikenali di tengah perkebunan tembakau penduduk. Sudarmadji
sendiri pernah membakar satu lokasi ganja seluas 3 hektar. "Itu
baru satu lokasi, padahal ada berpuluh-puluh lokasi di tempat
itu," kata Sudarmadji yang pernah menjadi Danres Aceh Tenggara.
Sebab itu usul Sudarmadji, untuk memusnahkan seluruhnya
diperlukan operasi besar-besaran dengan dukungan dana dan
personil yang besar pula. Selain pemusnahan diperlukan pula
penerangan yang terus menerus kepada penduduk, agar tidak
menanam lagi tumbuhan terlarang itu.
Kodak I, Aceh sendiri ternyata tidak mempunyai sarana yang
cukup. Seorang sumber di-Kodak itu menyebutkan, hanya beberapa
orang saja anggota bagian narkotika di Kodak itu. "Itu pun tidak
dibekali pengetahuan dan ketrarnpilan yang tinggi untuk
melakukan kerja sebesar itu, "katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini