AHMADIYAH, aliran Lahore, seharusnya sudah bubar. Sebab abad
ke-14, yang merupakan masa ke-pembaru-an Mirza Ghulam Ahmad
(yang menjadi anutan aliran ini) sudah berlalu baru-baru ini.
Demikian pikiran setengah orang.
Tetapi GAI, Gerakan Ahmadiyah Indonesia aliran Lahore, malah
mengadakan muktamarnya di Yogya 23-25 Desember lalu. Dan dalam
persidangan kecil yang menjadi penting karena sekaligus dimaksud
memperingati 50 tahun usia organisasi ini, bahkan diumumkan
tekad untuk sejak tahun ini memperbesar tabligh. Seperti
dikatakan ketua Pedoman Besar (pucuk pimpinan) GAI yang baru
dipilih, Prof. dr. H. Ahmad Muhammad, "kita tidak perlu
malu-malu lagi keluar lubang yang kita diami ini. Kita siarkan
Islam dengan paham Ahmadiyah (Lahore - red.) terang-terangan."
Dan dengan demikian mereka berniat mengisi awal abad XV yang
cerah.
Masalahnya ialah, Ahmadiyah bukan hanya berarti Ghulam Ahmad.
Tetapi juga sebuah jalan pikiran -- yang umurnya sudah tentu
lebih panjang dari masa hidup sang pemimpin. Dan jalan pikiran
itu, ditubuhkan dalam organisasi, mengetengahkan prinsip
'pemeliharaan agama oleh Tuhan secara bersambung-sambung'.
Ahmadiyah, aliran Qadian maupun Lahore, memang salah satu dari
kelompok dalam Islam yang membuat "resmi" urusan pemeliharaan
itu.
Pada aliran Qadian, yang mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi
(persisnya "nabi yang tidak membawa syari'at"), pelembagaan itu
diwujudkan dalam pengakuan terhadap para "khalifah" Ghulam Ahmad
-- dan sekarang ini khalifah ke-3, Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad. Bedanya dengan khalifah zaman awal Islam, yang merupakan
pengganti Muhammad s.a.w. sebagai kepala masyarakat atau
pemerintahan, khalifah Ahmadiyah ini tak lain kepala masyarakat
Ahmadiyah yang sama sekali tak ada hubungannya dengan
pemerintahan negara.
Tapi justru pada ahmadiyah Lahore legitimasi ketuhanan pada
pemeiharaan agama untuk masa-masa selanjutnya itu lebih jelas.
Berdasar sebuah hadis Nabi Muhammad (yang di kalangan Islam
luaran tidak menduduki tempat sentral) yang menerangkan bahwa
Allah akan membangkitkan pada tiap permulaan abad seseorang
"yang akan membarui ihwal agama mereka," mercka menetapkan
adanya para "pembaru yang bermandat". Dengan kata lain Allah
sendiri yang menunjuknya melalui 'wahyu wali' atau 'wahyu
tajdid' -- bukan wahyu kenabian.
Masalah Swasta
Bagi mayoritas muslimin di luaran, masalah pembaru sebaliknya
tak dipusingkan benar -- lebih dianggap "masalah swasta".
Kalaupun memang Tuhan menurunkan para pembaru setiap abad,
biarlah para pemimpin itu bergerak dan nanti dicocokkan dengan
ajaran induk plus tuntutan aktual zaman. Hanyalah sejarah
(meskipun hakikatnya Tangan Tuhan juga) yang akan mendorongnya
sampai ke tingkat penerimaan umum. Demikianlah terjadi dengan
misalnya Imam Syafi'i, Ghazali, Ibnu Taimiah-yakni sebagian dari
nama-nama yang oleh kaum Lahore diyakini sebagai para pembaru
bermandat untuk abad-abad sebelum Ghulam Ahmad.
Yang sangat penting sehubungan dengan kaum Lahore ialah,
kesadaran tentang kesinambungan para pembaru itu betapapun
datang setelah kehadiran Ghulam Ahmad. Lagi pula bukankah dia
(seperti juga diyakini kalangan Qadian) sekaligus Almasih Yang
Dijanjikan dan Almahdi yang ditunggu-tunggu? Keyakinan ini
memang sangat bagus -- dan agaknya memang dimaksud -- untuk
menghapus semangat messianisme di kalangan muslimin tradisional,
tentu saja kalau mereka mau menerimanya. Dan kenyataan bahwa
Ghulam Ahmad kemudian merupakan titik pangkal, ditunjukkan oleh
keyakinan bahwa abad ke-14 tak lain abad penaburan benih --
sementara abad ke-15, sekarang ini, merupakan abad perkembangan
dan berikutnya menjadi abad kegemilangan Islam (seperti juga
dituliskan Imam Musa Projosiswojo dalam komentar di TEMPO).
Toh umat Islam di luaran kenyataannya tak terlalu berkeberatan
dengan golongan yang Lahore ini. Tentang mandat Tuhan untuk
kesinambungan pemeliharaan agama misalnya. Bukankah itu juga
hidup di kalangan Syi'ah -- melalui para imam
bersambung-sambung, dan seterusnya praktis para ulama tinggi
yang betapapun tidak pernah mereka anggap kafir? Padahal
perbedaan struktur keagamaan Islam mayoritas (Sunni) dengan
Syi'ah jauh lebih besar dibanding perbedaannya dengan yang
Lahore.
Berlainan dengan golongan Qadian mayoritas muslim kelihatannya
keki kepada pangkat nabi yang mereka berikan kepada Ghulam Ahmad
-- sementara Muhammad s.a.w. jelas menda'wakan dirinya sebagai
nabi terakhir. Demikianlah pertemuan para ulama di Mekah di
tahun 1974 menganggap kaum Qadiani sebagai "di luar Islam" --
sementara kaum Qadian sendiri menganggap demikian pula terhadap
semua yang tak mau mengakui kenabian Mirza.
Adapun golongan Lahore, setelah tidak menyetujui tindak saling
mengafirkan itu, mereka memang tidak menganggap yang tak percaya
kepada Ghulam Ahmad sebagai mujaddid atau tak percaya prinsip
tajdid menurut pengertian mereka, sebagai kafir. "Melainkan,
yah, bodoh, dalam tanda petik," seperti misalnya diungkapkan
Prof. Ahmad Muhammad.
Toh perbedaan dengan Qadiani rupanya mereka anggap penting.
Dalam muktamar sendiri terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya
tetap mencantumkan 'Lahore' dalam nama organisasi. Dan 21 suara
mempertahankan, sementara hanya dua yang menentang. Ini penting
rupanya. Seperti dikatakan Soewindo SH, Ketua II PB GAI yang
sehari-harinya hakim pada Pengadilan Negeri Yogya, "karena ada
'Lahore' itu pula izin muktamar cepat keluar."
Tapi jangan dikira Ahmadiyah Lahore laku keras. Jumlah peserta
muktamar itu memang mencerminkan sedikitnya warga resmi (yang
dibai'at), yang menjadikan kumpulan ini organisasi yang
barangkali paling mini. Anggota seluruhnya hanya 708 orang,
tersebar di 16 cabang. Cabang Yogya, tempat berdirinya
organisasi pada 29 September 1929, terhitung paling menonjol
karena punya kompleks sekolah PIRI (lihat box).
Tapi sekolah-sekolah PIRI itu memang memberi kesan seolah
organisasi ini lebih merupakan pusat kegiatan dari pada
penampungan warga. Prestasi golongan ini di masa penjajahan
dulu, yakni menyebarkan pikiran "modern" yang "mempertemukan
religie dan wetenschap", dan betapapun mempengaruhi banyak
sekali tokoh seperti ir. Soekarno atau lebih-lebih Tjokroaminoto
(TEMPO 21 September 1974), rupanya memang memuaskan
setidak-tidaknya pada waktunya. Dan mereka barangkali juga
merasakan hal itu.
Tapi entahlah kalau "kebangkitan" seperti yang diucapkan
berulang-ulang dalam muktamar berarti semangat baru untuk
mencari anggota resmi -- sambil menunggu datangnya mujaddid abad
ini. Siapa?
"Tidak harus dari golongan Ahmadiyah," kata Ahmad Muhammad, yang
sehari-harinya Guru Besar dalam Ilmu Faal pada Fakultas
Kedokteran UGM. "Tetapi dia harus dan memang diramalkan akan
mengakui Mirza Ghulam Ahmad. Juga mengakui bahwa ajaran Mirza
belum sempurna, karena itu perlu disempurnakan. Dan hanya dengan
itu kita ikuti."
Dan itulah sebabnya Ahmadiyah tetap bernama Ahmadiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini