Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Berebut Lumbung Suara

Partai-partai masih mengandalkan basis pemilih tradisional. Namun, bisa saja mereka kecele.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JELANG hari pencoblosan. Para pengurus partai mulai sibuk menghitung perolehan suara. Lumbung-lumbung suara seakan sudah dibagi: daerah A milik partai ungu, kawasan B diborong partai hijau, dan seterusnya. Dasarnya basis pemilih tradisional. Namun, bisa saja hitungan ini meleset jauh. Apalagi jika lelucon politik yang kian populer ini terjadi betulan: pemenang pemilu kali ini Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna). Lo, kok bisa? Jawabannya mudah. Para pemilih sudah terbiasa?entah sukarela atau terpaksa?menusuk nomor dua. Nah, nomor keberuntungan yang dulu identik dengan Golkar itu kini diwarisi oleh Partai Krisna. Apakah para pemilih senaif itu? Mungkin ada, tapi pasti jumlahnya sangat sedikit. Maklum, selain iklan yang gencar, organisasi sebesar Golkar yang mempunyai jaringan sampai ke desa yang terpencil tidak peduli dengan ini. Kecelakaan justru bisa terjadi karena identitas partai mirip. Contoh nyata adalah ketika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang mengklaim diri sebagai anak kandung Nahdlatul Ulama (NU), mengadakan simulasi pencoblosan di Banyuwangi, Jawa Timur. Ternyata, mayoritas warga nahdliyin peserta simulasi malah menusuk tanda gambar milik Partai Nahdlatul Ummat (PNU). "Partainya orang NU, ya, ini. Lihat tanda gambarnya, sangat mirip dengan NU," ujar salah seorang di antara mereka. Boleh jadi, singkatan PNU juga ikut menggiring kesalahan ini. Kecelakaan yang sama juga terjadi di Bantul, Yogyakarta. Hal seperti inilah yang barangkali bisa membuat hasil akhir dari daerah kantong suara partai tertentu jadi ajaib. Namun, bila diasumsikan sosok 48 partai sudah dikampanyekan dengan baik, lalu dari mana saja mereka akan mendulang suara? PKB tampaknya akan mengandalkan Jawa Timur. Tak terlalu salah karena ada 67 kursi yang diperebutkan di provinsi sarat pesantren ini. PKB berharap massa NU yang dulu mencoblos Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan kembali ke induknya. Apalagi, lazim diketahui warga NU patuh kepada para kiai mereka, yang mayoritas mendukung PKB. Saingan utama di daerah ini bagi PKB adalah PDI Perjuangan. "Andalan kami memang Jawa Timur dan Jawa Tengah, sebagian Jawa Barat. Di DKI, Mega sangat kuat, juga PPP," kata Ahmad Bagdja, Sekjen PBNU. Di Jawa Tengah, yang menyediakan 59 kursi, pertarungan antara PKB, PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional (PAN), dan PPP tampaknya akan ramai. Bahkan, di pesisir utara, bentrok fisik yang merenggut korban jiwa antarpendukung PKB dan PPP telah terjadi. Tidak hanya di tingkat organisasi, rasa permusuhan pun menjalar sampai ke rumah tangga. Tengok saja situasi yang dihadapi Ny. Masruah, 50 tahun, janda K.H. Makmun, pendukung PPP asal Kadung, Jepara. Perempuan tua ini didiamkan sang menantu, Musyafak, yang ganti haluan ke PKB. Akibatnya, Masruah harus menanggung rindu untuk bertemu dengan cucunya karena dilarang bertemu oleh sang menantu. Pertarungan yang tak kalah seru dipastikan akan terjadi di Jawa Barat, yang berjatah 82 kursi, dan DKI dengan 18 kursi. PDI Perjuangan juga diperkirakan akan mendulang kursi dari sembilan jatah yang disediakan di Bali. Selain provinsi ini secara tradisional merupakan basis PDI, fakta bahwa Megawati punya darah Bali ikut berperan. Warga banjar (dusun adat) di Denpasar seakan berlomba menunjukkan cinta mereka dengan pembuatan berbagai atribut. Tak peduli program yang ditawarkan. "Pokoknya PDI, ya, PDI," ujar Ketut Darmi, pedagang pasar berusia 52 tahun. Di Maluku, yang berjatah enam kursi, Mega ternyata tak kurang bersinar. Saat rombongannya berkunjung ke Ambon, 1 Juni lalu, Mega bahkan harus terhenti sekitar 15 menit di Desa Galala karena orang berebut menyalaminya. "Hidup Mama Mega," demikian teriak histeris para pendukung. Boleh jadi, dukungan ini diperoleh karena tetap dipertahankannya Alex Litaay, yang asli nyong Ambon, sebagai sekjen partai. Bagaimana dengan Golkar? Suara Golkar tampaknya akan anjlok di semua daerah yang dulu, seakan disapu bersih. Meskipun begitu, menurut pengamat politik Eep Saefuloh Fatah, tak tertutup peluang Partai Beringin ini justru bisa memungut suara dari para pemilih dalam jumlah besar yang tak ikut dalam hura-hura kampanye. Perkecualian adalah Sulawesi, yang total berjatah 41 kursi. Golkar kuat karena faktor Habibie. Mereka ingin Golkar menang untuk mempertahankan Habibie sebagai presiden. "Kapan lagi kita bisa berbahasa Bugis di Istana?" ujar Gasma P. Marik, pensiunan pegawai negeri di Ujungpandang?sentimen primordial yang dicela Ketua PAN Amien Rais sebagai hasil kampanye yang jahiliah. Menyedihkan, memang. Tapi, bukan tak mungkin jurus yang lebih "ampuh" akan keluar demi penjaringan suara. Yusi A. Pareanom dan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus