Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Syukurlah, Kampanye Damai

Kampanye berakhir tanpa kekerasan dan korban yang berarti. Bukti rakyat siap bermultipartai.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNDARAN Hotel Indonesia beralih rupa. Sepanjang dua pekan lebih, sampai 4 Juni lalu, lokasi yang biasanya tenang, bersih, dengan gemericik air mancur itu tiba-tiba menjadi ajang pesta rakyat yang marak. Ribuan orang tumplek blek di kawasan perkantoran elite itu, berhari-hari, dengan warna bendera yang berganti-ganti. Orang lalu lalang. Pedagang kaki lima berjajar di sepanjang sisi kolam. Tugu Selamat Datang, yang bisanya angker mengacung, dipenuhi bendera. Sejumlah anak muda bahkan memanjat ke puncaknya. Lihatlah putaran terakhir kampanye PDI Perjuangan, Kamis pekan lalu. Ratusan, mungkin ribuan, orang telah memenuhi kawasan itu bahkan ketika jam baru menunjukkan beberapa menit lepas tengah malam. Ketika hari menjelang siang, ribuan orang menyemut dalam kegembiraan. Mereka menyajikan atraksi spontan: berjoget, menabuh beduk, memukul-mukul galon kosong, seraya menari-nari di atas kap Metromini. Sekelompok pria tuna daksa ikut bersorai di atas kursi roda. Juga puluhan waria?yang mengundang siul berkepanjangan. Air disemprotkan ke sana kemari. Seru.? Kegembiraan? Itulah yang tidak disangka-sangka banyak orang. Bentrokan antarpartai yang terjadi sebelumnya seperti memberi isyarat bahwa kampanye adalah puncak dari kekerasan politik setelah Soeharto jatuh. Tapi, di luar dugaan, kampanye pemilu kali ini ternyata berjalan kalem. Bukan tanpa kekerasan dan korban, tapi ada kesan orang lebih relaks menghadapi perbedaan. Angka yang ditunjukkan Panitia Pengawasan Pemilu memang menunjukkan ada korban yang jatuh. Sampai dengan putaran kedua kampanye lalu, 19 orang meninggal, 35 orang luka berat, dan 71 orang luka ringan. Korban meninggal sebagian besar karena kecelakaan. Tapi, dibandingkan dengan kampanye pemilu dua tahun lalu, angka itu melorot jauh. Dalam kampanye tiga partai itu, mereka yang meninggal tercatat 327 orang, 305 luka berat, dan 794 luka ringan. Pengalaman Sakti, 23 tahun, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta, barangkali bisa dijadikan contoh. Meski teman-teman dan keluarganya hari itu berkampanye untuk PDI Perjuangan, tapi gadis berkacamata itu itu lebih sreg berkampanye untuk Partai Rakyat Demokratik (PRD). Alasanya, karena dia suka dengan figur Budiman Sujatmiko, Ketua PRD. "Cuek saja, kan enggak ada larangan berbeda," katanya. Maka, meski Jakarta dibanjiri oleh lautan massa Megawati, Sakti toh bisa dengan enteng terselip di antara ribuan orang yang berbaju merah itu. Pertemuannya dengan kontestan PDI Perjuangan di jalan-jalan raya malah diisi dengan saling bertukar bendera. Maka, yang terjadi adalah pemandangan unik: mobil PDI Perjuangan berbendera PRD, atau sebaliknya. Hal yang sama juga terjadi dengan partai-partai lain. Cairnya fanatisme pendukung parpol selalu bisa disaksikan sepanjang kampanye. Dalam arak-arakan putaran terakhir Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, bukan cuma bendera partai Amien Rais itu yang berkibar, tapi juga ada bendera kelompok musik Slank. Atau, dalam kampanye PDI Perjuangan, ada bendera besar bergambar Iwan Fals. Telah hilangkah fanatisme? Mungkin tidak. Tapi, yang pasti, kampanye sepanjang dua pekan lalu itu membuktikan bahwa identitas tidak selalu menjadi faktor yang utama. Ia penting, tapi ketika identitas bertemu dengan gairah berdemokrasi, ia seperti bersembunyi. Tentu kesimpulan ini bukan tanpa perkecualian. Di Jakarta, pada hari pertama kampanye, mobil hias Partai Golkar dirusak. Jumat lalu, bentrok pendukung Golkar dengan warga tak terhindarkan di daerah Senen, Jakarta Pusat, dan beberapa tempat lain (lihat: Peristiwa). Untung, tak ada korban jiwa. Artinya, bagi sebagian orang, penghancuran identitas partai masih penting?paling tidak untuk meluapkan amarah. Tapi, di luar itu semua, damainya kampanye kali ini membuktikan satu hal: bahwa sistem multipartai yang semula ditakuti ternyata diterima rakyat dengan lapang dada. Pernyataan Soeharto yang bilang, "Dengan tiga partai saja sudah sulit, apalagi banyak partai," dibantah rakyat dengan sebuah gerakan politik yang riil di lapangan. Mereka seperti berkata, "Tiga partai dulu justru membelenggu hak politik kami. Banyak partai kini justru membuktikan kami siap berbeda." Kampanye usai dengan damai. Orang-orang seperti bangun dari tidur yang panjang. Fenomena ini seperti membuktikan apa yang pernah dikatakan Bung Hatta, hampir 40 tahun silam. "Demokrasi bisa tertindas sementara ..., tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan." Dan keinsafan itu nyata-nyata dipraktekkan rakyat di jalan-jalan. Tanpa ada rasa terpaksa dan ketakutan. Arif Zulkifli, Hani Pudjiarti, Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus