Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yudikatif yang Dikebiri Politik

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMBATAN utama bagi supremasi hukum, termasuk bila kasus korupsi mantan presiden Soeharto diadili, adalah tidak mandirinya lembaga yudikatif. Itu karena kekuasaan kehakiman terdominasi eksekutif. Bahkan Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang wewenang peradilan menjadi subordinat militer, dengan banyaknya orang militer di MA. Dan selama ini, peraturan perundang-undangan juga memecah kekuasaan kehakiman menjadi dua: wewenang yudisial di MA, tapi wewenang administrasi, organisasi, dan finansial ada pada pemerintah. Dualisme itu menjadi pintu masuk bagi pengaruh eksekutif. Walhasil, hakim yang pegawai negeri lebih mengutamakan lembaga eksekutif yang memutuskan gaji, promosi, dan karirnya. Keadaan itu yang membuat hakim tak berani mengalahkan pemerintah. Fenomenanya mencuat antara lain pada vonis gugatan PDI, kasus tanah Kedungombo, tanah suku Ohee di Irianjaya, perkara Muchtar Pakpahan dan Budiman Sudjatmiko, juga pembredelan Majalah TEMPO. Parahnya lagi, sudah MA tak punya wewenang judicial review (menguji sesuai-tidaknya undang-undang dengan UUD), hakim pun terikat sumpah yang mengharuskannya "setia pada segala undang-undang dan peraturan di Indonesia". Gara-gara itu pula, hakim tak berani menguji beleid eksekutif. Benar, kekisruhan itu telah direformasi MPR pada November lalu. MPR menggariskan pemisahan secara tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Jadi, hakim hanya akan punya satu atap dan satu garis komando, yakni pada MA. Toh, pemerintahan presiden B.J. Habibie tak kunjung melaksanakan perintah itu. Itu sebabnya, beberapa partai politik kini bermaksud mengonkretkan konsep kemandirian yudikatif. Bila wewenang terhadap hakim dan peradilan dikembalikan secara utuh kepada MA, menurut Marzuki Darusman dari Golkar, kelak Departemen Kehakiman dijadikan Departemen Hukum dan Perundang-undangan, seperti di Belanda. Namun, Abdillah Toha dari Partai Amanat Nasional malah merencanakan akan menghapus Departemen Kehakiman, untuk merampingkan jumlah departemen di pemerintahan. "Direktorat Jenderal Imigrasi, misalnya, nanti bisa dialihkan ke Departemen Luar Negeri," ujarnya. Adapun soal wewenang judicial review, baik Marzuki maupun Faisal Baasir dari Partai Persatuan Pembangunan berpendapat bahwa wewenang penting itu harus diberikan kepada MA. Dengan begitu, MA bisa menjadi penjaga utama konstitusi (UUD), sekaligus mengontrol kemungkinan menyimpangnya undang-undang dari UUD. Selain itu, kedua politisi itu juga mau mengupayakan agar hakim bukan pegawai negeri, melainkan pejabat negara, seperti anggota DPR, BPK, dan DPA. Nantinya hakim dipilih oleh DPR, bukan diangkat oleh pemerintah. Untuk itu, tentu MA yang sekarang diketuai Sarwata harus dirombak. Terlebih lagi para hakim di peradilan, yang menurut Soetardjo Soerjogoeritno dari PDI Perjuangan, kondisinya sudah seperti terlanda penyakit kanker kronis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus