Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka bukan dari hutan

Enam mahasiswa asal tim-tim yang minta suaka politik, ditolak kedubes jepang dan vatikan di jakarta. pemerintah indonesia menjamin keselamatan mereka menurut Menlu ali alatas, telah terjadi salah info.

1 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN itu telah berakhir. "Sekarang kami merasa lega, setelah mereka meninggalkan Kedutaan Jepang," ujar Masaru Antatsu, Sekretaris I pada Kedubes Jepang di Jakarta. "Mereka" yang dimaksudkan oleh Antatsu adalah dua mahasiswa yang berasal dari Timor Timur yang membuat geger karena Senin pagi pekan lalu datang ke Kedubes di Jalan Thamrin, Jakarta, itu untuk minta suaka politik. Mereka tidak sendirian. Empat rekan mereka pada hari yang sama juga datang ke Kedubes Vatikan, di Jalan Merdeka Timur, untuk tujuan yang sama. Mereka yang datang ke Kedubes Jepang adalah Fernando de Araujo, 24 tahun, mahasiswa semester VIII Fakultas Sastra Indonesia di Universitas Udayana, Bali. Yang seorang lagi, Carlos da Silva Lopes, 23 tahun, mahasiswa semester VI Fakultas Teknik Sipil Universitas Udayana. Empat tamu tak diundang yang mendatangi Kedubes Vatikan adalah Avelino Coelho da Silva, 25 tahun, mahasiswa semester III Akademi Kesehatan Denpasar. Bersama dia adalah temannya satu kelas, Marciano Gracia da Silva, 26 tahun. Dua yang lain adalah Joao dos Reis, 24 tahun, mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta, dan Agapito Cardono, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Udayana. Para pejabat Indonesia dengan sendirinya dibuat repot oleh kejadian itu. Menlu Ali Alatas pada pers di Deplu, Pejambon, Senin siang pekan lalu menduga, keenam mahasiswa itu diduga hanya salah informasi. "Mungkin mereka merasa akan ada sesuatu yang terjadi pada mereka, padahal itu tidak ada fakta-fakta," ujarnya. Deplu, katanya, akan membujuk keenam mahasiswa itu untuk meninggalkan kedua kedubes itu, sebab kedua kedutaan besar itu telah menyatakan kepada Deplu bahwa mereka tidak bisa menerima permintaan suaka politik para mahasiswa itu. Tidak ada alasan mereka untuk meminta suaka politik, kata Menlu Alatas. "Secara politik mereka tidak dikejar. Mereka kan datang ke Jakarta dengan bebas. Artinya, tidak ada pengejaran," katanya. Pembujukan itu memang dilakukan. Untuk itu pemerintah rupanya meminta kepada Fx. Lopes da Cruz, anggota DPA dan MPR yang bekas Wakil Gubernur Tim-Tim, yang selama ini dianggap sesepuh warga Tim-Tim di Jakarta. Lopes menyanggupi. Esoknya, Selasa siang Lopes da Cruz datang ke Kedubes Vatikan. Kepada keempat mahasiswa itu Lopes mengatakan bahwa kedatangannya untuk membantu kedua pihak agar bisa menemukan jalan keluar, sebab Dubes Vatikan Mgr. F. Catalini sudah mengatakan tidak akan memberikan suaka politik. Lopes menmgatakan, "Kalau kalian mau keluar dari sini secara sukarela, saya akan menjamin bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada kalian. Kalian yang masih kuliah bisa melanjutkan sekolah." Tanya keempat mahasiswa itu "Bagaimana kalau sekeluar dari sini lantas kami ditangkap?" Jawab Lopes, "Kalau kalian ditangkap, saya akan minta ditangkap juga." Akhirnya mereka bersedia keluar. Selasa malam itu, sekitar pukul 19.00, dengan satu mobil, mereka dibawa ke rumah Lopes di kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Selasa malam itu juga Lopes kemudian pergi ke Kedubes Jepang, setelah menerima telepon dari Salvador Janurio Ximenes Soares, anggota DPR dari Tim-Tim, bahwa dia belum berhasil membujuk dua mahasiswa yang datang ke Kedubes Jepang. Salvador sebelumnya telah diminta Lopes untuk menemui kedua mahasiswa tersebut. Malam itu, perundingan dengan pihak Kedubes Jepang menemui jalan buntu. Esoknya, setelah berkonsultasi dengan Tokyo, Kedubes Jepang sepakat bahwa kedua mahasiswa itu perlu dibujuk untuk meninggalkan Kedubes Jepang, sebab Kedubes Jepang menolak permintaan suaka mereka. Kamis dini hari, sekitar pukul 02.00, Salvador dan Lopes berhasil mengajak kedua mahasiswa itu ke rumah Salvador di perumahan DPR di Kalibata. "Kami menolak permohonan suaka mereka karena dalam undang-undang kami yang mengatur soal imigrasi dan pengungsi ditentukan, Pemerintah Jepang tidak akan menerima permohonan suaka politik dari orang-orang yang tidak berada dalam teritori negara Jepang," ujar Masuru Anatatsu, Sekretaris I Kedubes Jepang. Diakuinya, secara hukum internasional Kedutaan Jepang merupakan bagian dari wilayah Jepang, tapi toh terletak di luar teritori Jepang dalam pengertian undang-undang tadi, yang berlaku untuk urusan dalam negeri Jepang. Namun, Pemerintah Jepang juga mempertimbangkan alasan kemanusiaan. "Setelah ada konfirmasi bahwa keselamatan mereka akan terjamin, maka kami lebih pasti menyuruh mereka meninggalkan niatnya," kata Antatsu. Jaminan keselamatan pada para mahasiswa itu memang telah diberikan. Kapuspen ABRI Brigjen. Nurhadi Jumat pekan lalu menjelaskan, tidak ada satu instansi pun yang mengeluarkan surat perintah untuk mencurigai keenam mahasiswa itu. "Kami tidak akan memeriksa mereka. Lha buat apa, wong yang lebih penting untuk ditangani lebih banyak." Lalu tambahnya, "Konflik kita dengan Fretilin yang tinggal beberapa di hutan, dan mereka bukan dari hutan." Saat ini, ada sekitar 600 mahasiswa Tim-Tim yang kuliah di luar Tim-Tim. Menurut sebuah sumber, sebenarnya kelompok mahasiswa Tim-Tim yang merencanakan untuk "lari" ke luar negeri tujuh orang. Tapi seorang di antaranya, Lucas da Costa, 39 tahun, sarjana ekonomi Universitas Pendidikan Nasional Denpasar yang bekerja di sebuah bank pemerintah di Dili, "menghilang" setibanya di Jakarta. Keenam rekannya yang gelisah, pada 16 Juni pagi, datang ke Kedutaan Swedia, di Jalan Taman Cut Mutia, Jakarta Pusat, untuk minta perlindungan. Secara halus, pihak Kedutaan menolak untuk menampung mereka. Keenam anak muda itu lantas bergegas pergi. Seorang staf Kedutaan memberi mereka uang Rp 40 ribu. Tapi, "Uang itu bukan dari Kedutaan, melainkan pemberian pribadi seorang staf kami, yang memahami bahwa anak-anak itu menghadapi kesulitan keuangan," ujar Hans Anderson, Kuasa Usaha Kedutaan Swedia, pada TEMPO.SP, Rustam F. Mandayun , Yopie Hidayat, dan Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum