JENDERAL (Purnawirawan) Soemitro dikenal suka bicara blak-blakan, ceplas-ceplos, dan banyak melontarkan humor yang gampang mengundang ketawa, meski yang dibicarakannya masalah yang serius. Itu pula yang terjadi, tatkala Rabu pekan lalu ia tampil di Gedung DPR di Senayan, Jakarta. Hari Rabu itu, Soemitro bersama Alfian, Kepala Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI, diundang oleh Komisi II DPR untuk acara dengar pendapat umum. Topik yang dibicarakan sudah ditentukan oleh DPR: masalah keterbukaan. Maka, Komisi II memberikan pertanyaan kepada Soemitro. Pertama, apa pandangannya tentang keterbukaan, dikaitkan dengan situasi dan kondisi Indonesia saat ini. Kedua, langkah apa yang perlu diambil untuk menciptakan iklim yang lebih baik untuk mengembangkan Demokrasi Pancasila. Pendapat Soemitro tetap sama, seperti pernah ditulisnya dalam mingguan Far Eastern Economic Review April lalu. Ia tetap mengininkan aar proses pemilihan pemimpin Indonesia di masa datang dilaksanakan secara terbuka. Para calon tampil membawakan konsepnya masing-masing, dan mereka harus beradu argumentasi untuk mempertahankan konsep itu. Siapa yang baik konsepnya dan mampu berargumentasi dengan konsep itu, dialah yang menang. Di depan sidang DPR itu, sembari mengepalkan tinjunya, Soemitro berkata, "Bukan ini, ya .... Bukan yang paling kuat yang menang." Demokrasi, kata Soemitro, bukan mayoritas yang ditentukan oleh berapa kursi yang ada di DPR, tetapi kearifan, oleh akal sehat. Menurut Soemitro, setelah memaparkan konsepnya, para calon pemimpin nasional itu akan dipilih oleh MPR. "Mengenai hal ini, saya lebih condong melalui voting. (Soalnya), pemilihan pemimpin adalah kepercayaan antara manusia dan manusia. Sedang yang lainnya melalui musyawarah mufakat," kata Soemitro kepada para anggota Komisi II DPR itu. Tapi bekas Pangkopkamtib itu -- ia mengundurkan diri dari jabatan ini setelah pecah Peristiwa Malari, 1974 -- mengingatkan bahwa yang akan memilih presiden pada 1993 kelak bukan anggota MPR yang sekarang, melainkan MPR baru, hasil Pemilu 1992. Kalau begitu, mengapa ia bicarakan soal itu pada para anggota DPR (otomatis anggota MPR) yang sekarang? "Memang MPR yang akan datang yang menentukan. Tapi Saudara-saudara adalah anggota partai, Golkar, atau ABRI yang terhormat. Silakan sampaikan pesan ini kepada partai Saudara, kepada Golkar atau ABRI," katanya dalam gaya Jawa Timur-nya yang khas itu. Dengan konsep suksesi terbuka yang ia usulkan, diharapkannya MPR tak lagi bingung mencari calon pemimpin. Ia mengkritik model pemilihan pemimpin yang tertutup, yang dilakukan secara bisik-bisik. Itu, kata Soemitro, mengakibatkan, "Tak ada persaingan terbuka. Lha, MPR-nya bingung cari orangnya. Partainya juga bingung. Mulai sekarang kader-kader itu harus keluar ke permukaan, mengemukakan pendapatnya." Inilah yang ia sebut sebagai keterbukaan itu. Keterbukaan itu orientasinya ke depan. "Bukan ramai-ramai mempersoalkan yang sekarang, itu nggak akan selesai-selesai, dan akan menjadi lingkaran setan," ujarnya. Keterbukaan seperti itu, katanya, harus dimulai dari sekarang, dan itu sudah diisyaratkan sendiri oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya di depan para anggota veteran, 20 Mei yang lalu. "Sekarang, tinggal terserah kepada kita semua untuk memanfaatkan keterbukaan itu". Keterbukaan yang ia maksudkan tak terbatas pada soal suksesi, tapi juga mengenai berbagai masalah lain. Dan semua itu dibutuhkan untuk menghadapi masa depan yang diramalkannya akan merupakan periode yang berat. Soemitro menegaskan, sekarang ini keterbukaan merupakan kebutuhan, tapi selama sekian tahun mati. "Dibungkam Saudara-saudara, akibat kendala yang diciptakan oleh kudeta G30S-PKI pada 1965." Lalu ia kutip sebuah pemeo: kalau orang Indonesia sakit gigi, ia tak bisa berobat pada dokter Indonesia, tapi harus ke Singapura. "Soalnya, di sini kita tak bisa membuka mulut," katanya bergurau. Dalam model keterbukaan ini, pers dan DPR harus lebih vokal, mampu mengungkapkan dampak-dampak pembangunan, misalnya, dengan mengambil oper inisiatif gerakan kelompok-kelompok mahasiswa. Apakah itu menyangkut sulitnya lapangan kerja, korupsi, serta berbagai masalah lain sebagai dampak pembangunan. DPR diharapkannya supaya lebih berani meminta pertanggungjawaban menteri. Dan menteri yang salah tidak boleh bersembunyi di belakang mandataris. Ia mengimbau DPR agar mengembangkan hak inisiatifnya. Tapi ia ingatkan agar kritik disampaikan dengan sopan, sesuai dengan budaya Indonesia. Dalam hal ini, yang ia maksudkan kira-kira agar kritik tidak main tuding, yang hanya mengakibatkan orang yang dikritik menjadi defensif. "Kalau dikatakan Soemitro korupsi, Soemitro bajingan, istri saya akan menderita, dan akhirnya mati. Anak-anak saya akan dikucilkan teman-temannya di sekolah," ujarnya. Dalam pikiran Soemitro, sekarang sudah masanya kekuatan sospol tak lagi cuma partai kader, tapi menjadi partai massa, tanpa mesti menimbulkan gontok-gontokan dan permusuhan di tingkat basis, seperti yang pernah terjadi di zaman Orde Lama. Sebab, setelah pemberontakan PKI berlalu sekian lama, partai-partai sekarang sudah sadar. Partai massa itu dibutuhkan untuk menggalakkan partisipasi rakyat yang di masa datang sulit diharap hanya dengan birokrasi. Dengan ide partai massa itu, Soemitro rupanya menganggap kebijaksanaan massa mengambang perlu ditinggalkan. "Floating mass sudah melaksanakan fungsinya, yaitu proses denasakomisasi setelah peristiwa 1965. Desa sudah kembali utuh," tuturnya. Ia juga mengungkapkan pendapatnya yang menginginkan UU Pemilu ditinjau kembali, dengan menerapkan sistem distrik, sesuatu yang pernah diusulkan oleh Seminar TNI-AD di awal Orde Baru. Alasannya, "Rakyat Indonesia (sudah) semakin maju, semakin kritis."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini