RAME-RAME soal eksekusi terhadap napi eks PKI akhirnya menciut seperti balon kempis. Selasa pekan silam Menko Polkam Sudomo menegaskan, kabar tentang pelaksanaan hukuman mati terhadap enam orang pentolan PKI itu tidak berdasar dan hanya isapan jempol belaka. Keterangan serupa juga keluar dari mulut Menlu Ali Alatas. "Itu berita bohong yang tidak berdasar," katanya. Walaupun begitu, Alatas mengakui, ia telah menerima sejumlah pejabat Eropa Barat yang meminta penjelasan mengenai isu eksekusi itu. Pejabat yang sempat mempertanyakan antara lain Menlu Belanda dan Menlu Jer-Bar ketika mengikuti pertemuan ASEAN-MEE, akhir Februari silam, di Kuching, Malaysia. Sebelumnya, Alatas juga dikabarkan menerima kunjungan Dubes Italia Michele Martinez dan Dubes Inggris Kelvin White, yang juga menanyakan soal nasib 6 napi yang santer dikabarkan dieksekusi itu. Sebelumnya, isu hukuman mati ini memang sempat menghangat setelah eksekusi terhadap 4 napi eks PKI -- antara lain S.P. Sulaiman -- Februari 1990 silam. Peristiwa itu mengundang reaksi dari berbagai pihak, terutama dunia internasional. Dengan mengutip berbagai pihak, kantor berita Reuters, misalnya, menulis peristiwa itu sebagai hal yang kurang manusiawi. Karena soal isu itu, parlemen Belanda ikut mengecam dan sekaligus mengancam bakal menangguhkan bantuan ekonomi 27 juta gulden (sekitar Rp 25 milyar). Bahkan, dikabarkan PM Belanda Ruud Lubbers sempat menawarkan suaka politik terhadap keenam napi yang bakal dieksekusi itu. Tapi reaksi brutal, yang sebetulnya juga tak manusiawi, terjadi di Paris. Minggu malam pekan silam, belasan anggota Jeunesse Communiste Francais (Pemuda Komunis Prancis) melakukan perusakan terhadap gedung KBRI di Paris. Kantor Perwakilan RI itu dilempari dengan batu, mur-mur besi, dan granat gas air mata. Kerugian ditaksir sekitar Rp 2 juta. Itu sebabnya, Alatas tak bisa menyembunyikan rasa gusarnya. Ia mencoba menjelaskan isu ini sebagai persoalan hukum semata. "Mereka memang tidak memasalahkan hukum kita. Sebab, mereka tahu, kalau itu yang dilakukan, berarti mencampuri urusan dalam negeri Indonesia," katanya. Pro-kontra ini akhirnya redup. Apalagi sampai Ahad pekan ini, menurut sebuah sumber TEMPO, keenam orang yang santer disebut-sebut telah ditembak mati itu ternyata masih sehat walafiat di LP Cipinang, Jakarta. Mereka adalah Y. Ruslan Widjajasastra, Sukatno, Asep Suryaman, Prof. Iskandar Subekti, Marsudi, dan I. Bungkus. Y. Ruslan, 71 tahun, pernah menjabat sebagai anggota Komisi Pusat PKI sekaligus wakil ketua Barisan Tani Indonesia dan Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia -- organisasi yang berada di bawah payung PKI. Ia sudah ditahan sejak 14 Juli 1968 dengan tuduhan subversi. Ia juga terlibat dalam Peristiwa Blitar 1967. Ruslan divonis hukuman mati pada 15 Juli 1974 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sukatno, 60 tahun, tercatat sebagai Ketua Pemuda Rakyat dan pernah menjadi anggota DPR. Seperti juga Ruslan, ia juga dituduh terlibat dalam Peristiwa Blitar 1967. Sukatno tertangkap pada 21 Juli 1968 dan dijatuhi hukuman mati pada 11 Maret 1971. Sedangkan Asep, 62 tahun, ditahan sejak 27 Agustus 1975. Ia diduga anggota "Biro Khusus" PKI yang menyebarkan kontak-kontak PKI di dalam militer. Ia dijatuhi hukuman mati pada 27 Agustus 1975. Iskandar, 67 tahun, ditangkap pada 31 Juli 1968. Dan divonis hukuman mati pada 22 Desember 1971. Jabatan dia adalah anggota Komite Pusat PKI Bagian Luar Negeri. Lalu Marsudi, 53 tahun, berpangkat sersan mayor AU dan mendapat hukuman mati pada 9 Oktober 1968 oleh Pengadilan Militer Luar Biasa. Bungkus, 61 tahun, juga adalah seorang militer anggota Cakrabirawa berpangkat sersan. Hukuman mati dijatuhkan kepada dia pada 30 Juli 1971.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini