AWALNYA, sebuah kapal barang berbendera Muangthai merapat di dermaga Berlian Timur, Tanjungperak, Surabaya, pekan lalu. Kapal barang MV Bua Thip berbobot mati 13 ribu ton itu menurunkan 6.870 ton besi tua senilai US$ 779.629,62. Barang- barang rongsokan itu diimpor oleh PT Ispat Indo, perusahaan baja. Anehnya, banyak senapan mesin sisa peninggalan Perang Vietnam yang ikut terangkut, dan sempat beredar di pasar bebas. Ada seorang tukang becak, Sartono, yang membeli senapan mesin jenis Thompson kaliber 45 dari pemulung seharga Rp 1.000. Bahkan pemulung Hanafi juga membeli senjata serupa dari pemulung kecil Hadi, 13 tahun, seharga Rp 500. Hadi adalah salah seorang anak yang kerap memulung besi rongsokan di gudang milik PT Ispat Indo, di Desa Kedungturi, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Isu adanya perdagangan gelap senjata eks Vietnam pun beredar. Akibatnya, aparat keamanan dibuat sibuk. Tapi mereka bertindak cepat. Menurut Letnan Kolonel Supardi AS, Kapolres Surabaya Selatan, pihaknya telah berhasil menemukan semua senjata yang beredar. Termasuk 3 senapan mesin kaliber 45 dan 3 Thompson lainnya dari satpam di pabrik besi tua milik Ispat Indo. Kepada TEMPO, para petugas satpam itu mengaku menyita senapan mesin juga dari tangan Hadi, pemulung kecil tadi. Hingga Senin pekan ini tim yang dikoordinasikan Bakorstanasda Jawa Timur berhasil menemukan 332 senjata jenis Thompson, karabin, LE, AK, Mauser, sejumlah mortir dan penangkis serangan udara, serta 215 amunisi. Tim memang masih melakukan pengusutan lebih lanjut. Sejauh ini, seperti dikatakan Kolonel Sutarto, Asintel Kodam V Brawijaya, peristiwa ini, "Belum ada indikasi politisnya." Kisah perjalanan "besi tua" ini memang panjang. Ispat Indo, perusahaan pembuat lempengan-lempengan baja, mengimpor besi tua seberat 8.000 ton itu dari eksportir Haw Par Trading Pte., Ltd. di Singapura. Kemudian Haw Par menunjuk PT Gesuri Lloyd sebagai agen yang mengurusi prosedur kapal yang hendak membawa besi tua itu masuk ke Indonesia. Rupanya, dalam pengiriman barang pihak Haw Par menyisipkan "besi tua yang sewaktu-waktu bisa meledak" dari Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Persoalannya, tak disebutkan bahwa besi tua itu bekas senjata. Kepada TEMPO, Vincent Teo, Manajer Operasi Haw Par, mengatakan bahwa perusahaannya selalu merinci pengiriman sebagaimana tertera dalam LKP (laporan kebenaran pemeriksaan). Dan selama ini, katanya, pihak Ispat Indo juga tak pernah keberatan. Teo tak membantah ikut dikirimkannya senjata-senjata tua dari Vietnam. "Tapi itu terlalu peka untuk dibicarakan," katanya kepada Ekram H. Attamimi, koresponden TEMPO di Kuala Lumpur. Sementara itu, C. Taher, manajer senior dari Ispat Indo, juga menyatakan tak tahu-menahu tentang besi tua berisi senjata-senjata tua. "Terus terang, atas kejadian ini kami belum bisa menentukan sikap," katanya kepada TEMPO. Pengiriman senjata tua itu menyalahi kontrak. Seharusnya kiriman itu bebas dari senjata api. Di sini agaknya terjadi perbedaan penafsiran terhadap arti besi tua. Seperti dikatakan Syamsul Bachri, Adpel Tanjungperak, boleh jadi di Vietnam senjata bekas dianggap besi tua begitu saja. Begitu pula Asintel Kodam Brawijaya Kolonel Sutarto. "Perlakuan scrap senjata bekas perang antara kita dan Vietnam berbeda. Kalau kita, penghancurannya harus dipotong-potong. Tapi di Vietnam bisa dijual karena dianggap besi tua biasa saja," katanya. Agus Basri, Wahyu Muryadi, dan Herry Mohammad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini