UMBUL-UMBUL yang tegak semarak sepanjang jalan itu meramaikan pergantian seorang camat. Di Pulau Panggung, Lampung Selatan, kota kecamatan yang menjadi gerbang masuk ke kawasan hutan lindung ini, Rabu pekan lalu berlangsung serah terima jabatan dari Camat Hasdidi Thoib ke Idham Alam Ratu. "Saya minta maaf, kalau ada kesalahan," kata Hasdidi Thoib pada rakyat yang ditinggalkan. Nama Hasdidi Thoib mungkin akan lama dikenang masyarakat Pulau Panggung. Nama Ketua Tim Pengamanan Hutan Lindung ini mencuat tatkala ia mengambil inisiatif pemusnahan rumah penduduk kawasan hutan lindung Pulau Panggung, akhir 1988, dengan cara menghanguskannya. Tindakan itu, katanya, didasarkan pada instruksi Bupati Lampung Selatan: musnahkan rumah yang ditinggal para transmigran lokal ke Riau. Tapi pembakaran tak berlanjut karena disetop oleh Komandan Korem 043 Garuda Hitam, Kolonel Hendro Priyono. Hanya saja, sepekan menjelang perpisahan, 7 Maret 1990, Hasdidi Thoib sempat ke hutan lagi. Kabarnya, ia sempat mendobrak rumah penduduk yang seharusnya sudah meninggalkan kawasan hutan lindung, tapi dicurigai masih nekat bertahan. Tindakan itu agaknya merupakan buntut pengaduan 110 warga Pulau Panggung ke DPR Pusat di Jakarta, 26 Februari lalu. Setelah pengaduan itu, memang tersiar kabar bahwa para pengadu itu dicari pihak keamanan dan aparat pemda, untuk ditanyai. Bahkan kemudian muncul isu: Arwin Budiono, 37 tahun, "menghilang". Petani pengadu ini meninggalkan istri dan anaknya berumur setahun sejak awal Maret, di sebuah rumah kayu yang pada atapnya mencuat antena Orari dan TV yang tak lagi berfungsi. Menurut Solehan, Kepala Desa Datar Lebuay, Arwin Budiono adalah warganya. Ia memang mencari Arwin untuk menanyakan soal pengaduannya ke DPR di Jakarta. Begitu pula pada Nur Fadli, yang hingga pekan lalu juga belum pulang ke rumah warisan mertuanya di Dusun Simpang Mataram, Desa Sinar Sumendo. Setelah pengaduan ke DPR itu, Ngadirin dan Haji Syamsul Hadi dikabarkan ditahan petugas, dua pekan lalu. Kabar ini telah dibantah. "Memang kami memanggil mereka untuk minta penjelasannya tentang harapan mereka melalui pengaduan itu. Fitnah, kalau ada yang bilang mereka ditahan," kata Hendro Priyono. Nama Pulau Panggung, sekitar 90 km dari Tanjungkarang, belakangan memang makin beken. Kawasan hutan Register 32 dan 39 seluas 420 km2 ini pada mulanya adalah belukar. Kemudian berubah menjadi hutan kopi yang menggiurkan, berkat kerja keras 150 bekas pejuang, yang dikirim Bung Karno dalam rangka BRN (Biro Rekonstruksi Nasional), pada 1950-an. Jumlah mereka membengkak hingga 3.000 keluarga. Setelah kawasan ini dinyatakan sebagai hutan lindung, sebagian besar pemukim itu ditransmigrasikan ke Riau. Tapi rupanya banyak yang bertahan, dan bermain kucing-kucingan dengan petugas yang harus mengamankan keputusan pemerintah. Pengaduan mereka ke DPR akhir Februari silam adalah salah satu upaya mereka untuk bertahan. Kini mereka tampaknya menunggu saat panen raya kopi yang akan berlangsung bulan depan. Karena itu, jumlah perambah yang masuk ke hutan dan tinggal di gubuk-gubuk bambu sekarang terus bertambah. Sebagian mereka sengaja, dengan maksud irit, hidup sederhana dengan hanya makan oyek -- terbuat dari singkong beracun yang diperas airnya. Di hutan, jauh dari jangkauan mata umum, mereka merawat pohon kopi secara intensif, mengharap buah yang lebat. Suneri, 60 tahun, misalnya. Tinggal di gubuk bambu beratap ilalang di Dusun Cikampek, Desa Air Naningan, petani asal Jawa Tengah ini merawat 5.000 batang kopi di kebun. Seharian ia membabat ilalang, yang kalau dibiarkan tetap tumbuh akan merusak pohon kopi. "Saya harap bisa mengirim uang ke Jawa, agar anak saya bisa melanjutkan sekolah," kata ayah lima anak ini. Tapi ada juga perambah yang tak tenang. Maklum, mereka mengharapkan dapat memetik kopi di tanah yang bukan milik mereka, yang telah ditinggalkan pemiliknya. Ada dugaan, seperti diungkapkan Kolonel Hendro Priyono, pengaduan warga Pulau Panggung ke DPR itu didalangi oleh oknum trouble makers, yang terdiri dari para investor dan penggarap yang sengaja mengarahkannya ke tujuan strategis tertentu. Mereka memperalat para petani golongan ekonomi sedang dan rendah, untuk melaksanakan konsep terencana, yang dokumennya sudah ada di tangan pihak keamanan. Kasus Pulau Panggung jadi kian berbelit. Karena itu, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) membentuk tim khusus, dipimpin Hardoyo, dengan anggota dr. M.P. Pasaribu, Muchsin Ridjan, dan Ny. Choiriyah. Untuk kedua kalinya, mereka turun ke lapangan pekan ini, dengan asumsi, seperti dikatakan M.P. Pasaribu, "Kuncinya, kami ingin menyelamatkan hutan. Tapi kami perlu memikirkan bagaimana nasib mereka yang selama ini menghuni hutan." Kasus Pulau Panggung memang menyangkut soal nasib, terutama kalangan petani kecil dan buruh. Maka, para wakil rakyat Lampung berjanji mencari fakta yang imbang dari berbagai pihak: gubernur, bupati, pihak kehutanan, keamanan, dan petani. Dalam kondisi keruh ini, terbetik kabar bahwa pekan lalu aparat Desa Datar Lebuay melakukan pungutan liar terhadap 35 keluarga Dusun Sekampo Enggalrejo dan Airsaman, 1 km dari Desa Datar Lebuay. Besar pungutan Rp 1.000 sampai Rp 15.000. Pungutan yang tanpa kuitansi itu diiringi janji keamanan untuk memetik kopi di hutan. Adanya pungutan itu segera dibantah Kepala Desa Solehan. Ia mengaku belum menerima laporan dan bukti adanya pungutan dari warga. Namun, bila ada, ia berjanji akan menindak. Sementara itu, aparat Koramil dan Kodim setempat terus melakukan penyuluhan dan pembinaan terhadap rakyat. Kini terdaftar 2.000 warga dari 15 desa di kawasan hutan lindung Pulau Panggung yang menyatakan siap memusnahkan pohon kopi mereka sendiri. Namun, mungkin hal itu baru dilakukan setelah panen raya usai. Ahmadie Thaha, Effendy Sa'at (Lampung), dan Rustam F. Mandayun (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini