Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Malam-malam si ulat malam

Kawasan sawah pertanian di Pantai Utara Jawa Barat terserang hama ulat Grapyak & Hama Sundep. Diduga akibat pemakaian pestisida palsu & petani sering secara terus-menerus menanam padi berjenis sama.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 70 laki-laki warga Desa Bobos, Kecamatan Pamanukan, Kabupaten Subang, Sabtu malam minggu lalu tampak berjalan perlahan-lahan sambil membawa obor dan bambu panjang. Mau membunuh tukang santet? Ternyata tidak. Makhluk yang akan dibasmi kecil saja, tapi menimbulkan kerugian yang besar. Makhluk itu adalah ulat grapyak yang menjadi hama di desa itu sejak dua hari sebelumnya. Ulat ini berasal dari kupu-kupu berwarna putih kecokelatan. Mereka beraksi menggerek batang padi di malam hari, sedang di siang hari si ulat ngendon di dalam batang. Karena ulah si ulat malam inilah kelompok tani Desa Bobos Jumat dan Sabtu malam pekan lalu mengadakan operasi penyemprotan besar-besaran. Warga memang harus cepat bertindak, karena hanya dalam waktu dua hari saja sudah 200 hektare sawah dari seluruh 340 hektare di desa itu yang digerayangi si ulat malam ini. Petani di kawasan pantai utara Jawa Barat saat ini memang sedang dilanda musibah. Selain ulat grapyak, masih ada hama lain yang juga sedang beraksi. Yakni, hama kupu-kupu putih atau populer dengan nama hama sundep. Menurut Suara Pembaruan pekan lalu, sawah seluas 19.572,5 hektare di Kabupaten Subang dan 25.535 hektare di Kabupaten Indramayu sudah terserang hama sundep ini. Dalam peresmian 146 Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan di Desa Canan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Sabtu minggu lalu, Presiden Soeharto menyinggung pula masalah hama sundep ini. Pak Harto mengatakan, hama ini terjadi karena pemakaian pestisida palsu. "Rakyat sudah merasa menyemprot dengan pestisida, ternyata palsu. Akibatnya, hama telanjur meluas dan penanganan terlambat," kata Presiden. Untuk mengatasi masalah ini, petani harus membakar jerami padinya. "Memang kalau hama sundep yang menyerang, kami harus membakarnya. Tapi kan yang sekarang menyerang hama ulat grapyak," kata Kepala Desa Bobos Rusli Agil. Dengan pembakaran, ulat kupu-kupu putih yang bisa mendekam dalam batang jerami selama beberapa bulan itu akan musnah. Hama kupu-kupu putih (Tryporyza inotata) sebenarnya bukan hama baru. Sejak zaman kolonial, hama ini sudah biasa menyerang persawahan. Namun, popularitasnya kalah jauh dengan hama wereng cokelat yang bisa menghabiskan ribuan hektare sawah. Hama ini "hanya" menyusutkan hasil panen, tapi kadang cuma tersisa 10 persennya. Seperti dikatakan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indramayu Asep S. Andhie kepada Kompas, yang terkena serangan berat masih bisa menghasilkan 1,36-4,5 ton per hektare dari hasil semula 8 ton per hektare. Perusakan terjadi karena ulat masuk ke bagian dalam batang padi dan mengisap zat makanan yang ada sehingga malai (masa sebelum berisi padi) mengering. Bukan hanya pestisida palsu yang dituding sebagai biang kerok hama-hama yang sedang merebak ini, tapi juga adanya benih padi palsu. Diduga, varietas IR 64 berlabel Perusahaan Umum Sang Hyang Seri sudah dipalsukan dan dijual ke beberapa tempat di Jawa Barat sampai Jawa Tengah. Namun, beberapa pihak menyalahkan pihak petani sendiri sebagai pembawa hama. Menteri Pertanian Wardoyo kepada Suara Pembaruan mengatakan bahwa kasus hama kupu-kupu putih ini hanya salah satu penyebab, namun yang memberi peluang adalah kelalaian petani. Petani sering secara terus-menerus menanam padi berjenis sama. "Padahal, dalam penyuluhan sudah berkali-kali dijelaskan, untuk mencegah serangan hama, petani harus menanam padi secara bergiliran dengan benih unggul tahan hama yang dianjurkan pemerintah," katanya. Penyemprotan pestisida yang tidak menurut aturan juga membuat hama ini kebal. Belum dihitung berapa kerugian yang diderita Jawa Barat akibat hama ini. Menurut Gubernur Jawa Barat, hama ini relatif kecil dibanding dengan luas pertanian Jawa Barat yang mencapai 1,2 juta hektare. Namun, bagi petani musibah ini sangat besar artinya. Warga Desa Bobos saja harus mengeluarkan uang Rp 1,3 juta untuk membeli pestisida pemberantasnya. Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus