SALAH satu keputusan kongres Persatuan Advokat Indonesia
(Peradin), tanggal 6, 7 dan 8 Oktober lalu di Yogya, sangat
menarik: "Bubarkan Kopkamtib dan harus diganti dengan lembaga
lain yang konstitusionil." KeputUSan begitu diambil tidak dengan
suara bulat. Peradin cabang Jakarta misalnya, dengan membawakan
20 suara anggotanya, tak mendukung. "Keputusan itu diambil
secara spontanitas dan tidak konsepsionil," kata Yan Apul SH,
jubir Peradin Jakarta. Keputusan itu, yang mungkin berbentuk
resolusi, memang belum rapi tertulis. Sehingga baik Menteri
Kehakiman maupun Ketua Mahkamah Agung, yang hadir dalam resepsi
penutupan kongres, belum mendengarnya.
Keputusan yang keluar dari hotel Ambarukn1o - tempat
berlangsungnya kongres -- dimulai dari forum diskusi tentang UU
anti Subversi. Hampir semua peserta diskusi sepakat: UU itu
perlu dicabut. Alasannya juga komplit. Ada yang bilang,
"rumusannya terlalu luas dan dapat menjirat siapa saja." Bekas
anggota DPR dari fraksi Karya R.O. Tambul1an panelis,
menyatakan "undang-undang itu sangat mengerikan." Adnan Buyung
Nasution menyambut: "Undang-undang itu hanya digunakan oleh
pemerintah untuk menangkap dan menahan seseorang dalam waktu
yang tak terbatas dan semaunya sendiri." Mr. Yap Thiam Hien,
juga seperti Buyung merasa pernah kena jirat undang-undallg ini
(tapi tak sampai ke pengadilan). "Cabut saja undang-undang yang
tak berperikemanusiaan itu," kata Yap. Alasannya seperti
pendapat rekan advokat yang lain. Tapi dia tak lupa bertanya:
"Apakah boleh soal politik itu diadili oleh badan judikatif?"
Bicara soal contoh penerapan UU anti subversi (UU no 5/1969),
yang berdasarkan Penpres no 11/1963 itu, cukup banyak
dikemukakan berdasarkan pengalaman Buyung, Yap dan seorang
utusan dari Palembang. "Saya pernah ditahan 7 tahun tanpa
prosedur hukum," kata Suwarno SH dari Palembang. Buyung
mengemukakan contoh aktuil. Daiam kasus penyelundupan, hasil
operasi 902, menurut Buyung merupakan penerapan UU anti subversi
yang gagal. Buktinya, setelah tak menemukan sesuatu bukti yang
cukup, "diam-diam jaksa melepaskan para tahanan dari
Nusakambangan."
Jalan Terus
Nah, "sebagai konsekwensi dari pencabutan undang-undang itu,
Kopkamtib - sebagai pelaksana undang-undang harus juga
dibubarkan," kata Buyung. Alasannya dikemukakan Buyung dan
disepakati banyak peserta kongres. Yang penting, lembaga
Kopkamtib itu "ekstra konstitusionil - dibentuk dalam rangka
supersemar." Banyak orang yang menyatakan, tugas Kopkamtib yang
sementara itu, harusnya dianggap sudah selesai. Dan wewenangnya
harap segera dikembalikan kepada tangan yang biasa saja: polisi
dan jaksa. Kedua instansi peneak hukum inilah pelaksana dari
KUH Pidana. "KUHP saja sudah cukup - tanpa undang-undang anti
subversi segala," kata Buyung. Sehab KUHP yang pcninggalan
kolonial itu masih lumayan. "Daripada undang-undang subversi,
yang lebih kolonial," tukas Suwarno.
Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo, yang hadir memberikan ceramah
mengenai Opstib kepada kongres, enteng saja menanggapi semangat
berapi-api para advokat itu. "Kopkamtib akan jalan terus,"
katanya. "Kekuasaannya memang luas. Tapi asal tidak keliru
menggunakannya saja, akan tetap baik artinya." Sudomo lalu
menunjukkan, masih banyak yang harus diurus oleh Kopkamtib ini.
Penyelesaian tahanan G-30-S saja baru akan selesai tahun 1979.
"Itu bukan berarti jadwal Kopkamtib hanya sampai tahun itu,"
kata Sudomo.
Sampai kapan? Entahlah. Buyung sudah tak sabaran. "Lembaga yang
sifatnya sementara itu akan terus dianggap tak habis
tugas-tugasnya: setelah Opstib apa nanti akan mengurus lagu-lagu
Melayu juga?" sindirnya. Sudomo yang tetap tenang lalu bilang:
"Kopkamtib 'kan tidak seperti dulu. Sekarang kan bisa diajak
bicara." Setelah ada Opstib, keterangan Sudomo itu ada juga
benarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini