Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Mereka Yang Dibebaskan

Beberapa tahanan g30s/pki yang dibebaskan dari pulau buru dan tanjung kasau menceritakan pengalamannya selama dalam tahanan dan cita-cita mereka setelah ke masyarakat. (nas)

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUYUNG Saleh (5), sastrawan dan bekas guru besar ilmu sastra Universitas Res Publica, termasuk tahanan yang dilepas dari Pulau Buru pekan silam. Nama aslinya: Iskandar Saleh Puradisastera. Ketika ditangkap ia Ketua Lembaga Sastra Lekra. Mewakili teman-temannya yang beragama Islam, ia mengangkat sumpah dan menandatangani naskah sumpah depan Kolonel Bambang Tjahjono SH, ketua badan perencana Bapreru di lapangan sepakbola Namlea 20 Desember. Kepada Acin Yassin dari TEMPO, menjelang keberangkatan dengan kapal di Pulau Buru ia menjelaskan posisi dirinya: Lekra itu didirikan oleh seniman seperti Achdiat Kartamihardja dan sebagainya, cita-citanya semula mengembangkan konsep kesenian yang berorientasi kepada rakyat. Waktu itu saya sudah merasa bahwa konsep 'seni untuk seni' - yang dianut banyak teman - sudah tak sesuai lagi dengall perjuangan bangsa. Lekra kemudian diinfiltrir PKI. Saya bukan tak sadar. Tapi dasar solidaritas saya kepada teman-teman saya tak berdaya meninggalkan Lekra. Saya sendiri bukan Marxis. Mungkin karena itu posisi saya tidak terlalu mudah dalam Lekra. Ketika ada ramai-ramai pengganyangan Hamka. Manikebu dan HMI, saya menolak melakukan kutukan. Sekarang pusl saya tidak suka mengutuk Lekra. Saya memang tak suka melakukan kutukan. Selama dalam tahanan saya tak bisa mengarang. Selain karena bacaan memang hampir tidak ada - kecuali buku agama - waktu memang tak ada. Sepanjang hari saya harus bekerja di sawah atau ladang. Saya harus mencangkul. Malam sudah capek, tak mungkin mengarang. Sekarang saya gembira memperoleh pangkat sipil saya kembali sebagai warganegara. Saya akan kembali ke Jakarta, meski rumah saya depan DGI di Salemba, sebelah rumahsakit St. Carolus, kena gusur. Tapi saya optimis: di mana ada langit, di bawahnya rumah saya. Sekarang saya kena penyakit jadi saya akan menyehatkan badan dulu. Saya menyukai kegiatan sosial dan agama tapi rasanya tak efisien ambil kegiatan bidang itu. Kalau bisa saya ingin mengabdikan keahlian dalam Bahasa Indonesia dan ini yang berhubungan dengan itu. Tentu saya juga ambil perhatian akan negara saya, bukannya terus tak ambil pusing. Saya ini sekarang ibarat katak di bawah tempurung, selama ditahan tidak membaca koran atau mendengar radio. Dan kalau mau terus petakilan (bertingkan dalam politik), itu namanya tak tahu diri. Wanita itu bernama Salyas (40), bebas pekan kemarin dari Inrehab Tanjung Kasau. Ditahan 3 tahun. Tubuhnya nampak sehat, wajahnya berseri. Menyandang tas tangan, ia melenggang bersama famili penjemputnya. Di lehernya tergantung kalung dengan leontin emas. bernilai Rp 50.000. "Saya merenda, bikin baju panas. selendang, sal. topi dan baju anak-anak dalam tahanall," katanya kepada Amran Nasution dari TEMPO. Hasil rajutan itu ia jual ke luar kepada para pedagang, dan setiap bulan ia memperoleh Rp 6.000 - kotor. "Famili saya tiap bulan mellgantar uang belanja. Jadi penghasilan itu bisa saya simpan," sambung Salyas. Tak heran kalau ia bisa membeli perhiasan emas. Tapi seperti dituturkan seorang isteri tahanan yang tinggal 300 meter dari kompleks Inrehab, sebenarnya Salyas "belum apa-apa." Katanya, "di sana banyak tauke" - sambil menyebut beberapa nama tahanan yang menjadi semacam leveransir. "Tiap orang punya modal sampai ratusan ribu." Ada pula tauke lain, pemilik kedai kopi. yang terbilang orang senang pula. Mereka rata-rata bisa melego belasan kaleng susu tiap hari. Pasaran susu di sana Rp 40, kopi Rp 25, mi goreng Rp 100 (dengan telur), nasi goreng Rp 100, pecal Rp 50. Lebih murah di luar memang, tapi kadang boleh bon. Kabarnya ada pula beberapa penguasa di luar Inrehab yang punya hutang sekitar Rp 2 juta kepada para lahanan itu. Belum sempat dibayar, sang leveransir sudah keburu bebas. Dan mereka ternyata tak ribut dengan piutang. Kebebasan lebih berharga dari segalanya. Orang ini bekas anggota staf Menko Bappenas. Ia (bekas) Komodor AL Abdul Rahman Atmosudirdjo (54). Di Bappenas dulu golongannya F-6 ketika Dr. Suharto menjadi Menteri Bappenas. Setelah bebas dari Pulau Buru, "saya tak ingin mempersoalkan apa yang sudah terjadi," katanya. Merasa lebih bermanfaat melihat masa depan, ia akan menulis memoar, yang menurutnya "sangat belharga bagi generasi yang akan datang, agar belajar dari pengalaman." Selama dalam tahanan ia tak pernah berfikir akan be kerja apa kelak. "Saya sudah tua," tambahnya. Ia ingin bertemu dengan teman-temannya yang banyak tinggal di Negeri Belanda. Bahkan 2 dari ke4 anaknya menikah dengan orang Australia. Tapi yang penting, setelah bebas ini, "saya ingin mencurahkan waktu untuk mQngagumi isteri saya yang setia." Gophal Dash Balamal (56), setelah bebas dari Pulau Buru, berharap mudah-mudahan isterinya yang asli Madura bersedia menerimanya. "Juga anak saya yang 7 orang," tambahnya. Langsung menuju rumah kemenakannya di Surabaya ia memang belum pasti bagaimana sikap keluarganya di Madura. Tampak lebih tua dari usianya, keturunan Pakistan ini punya rencana akan beriualan kecil-kecilan. "Sebab dulu, sebelum jadi pegawai perusahaan pelayaran, saya ini pedagang. Saya tertarik jadi pegawai karena gagah-gagahan saja," tuturnya. Lalu ia masuk SBPP, Serikat Buruh Perusahaan Pelayaran yang (berbau) PKI di Sumenep. Chris Hutabarat, bekas wartawan harian Ekonomi Nasional, juga bebas dari Buru. "Seperti umumnya wartawan, saya juga tetap pada profesi saya. Tapi rasanya saya ini sudah ketinggalan dengan yang muda-muda. Kalau masih bisa, saya ingin terjun saja ke usaha pengangkutan swasta. Saya dengar usaha pengangkutan ada kemajuan." Meski punya keluarga di Jakarta, ia tidak akan langsung ke keluarganya. "Setelah bebas ini. kalau bisa diterima, saya ingin langsung ke Dewan Gereja Indonesia di alan Salemba, sambungnya. Di Inrehab Tanjung Kasau, ada 2 bekas wartawan Hanan Harapan Medan yang dibebaskan: Abdullah Nasution (58) dan Yusuf Roemandung (40). Ditahan 6 tahun, Abdullah yang bekas pemimpin redaksi anan Harapan ini pernah melawat ke Peking. Anaknya 9, ketika ditahan 2 di antaranya sudah mahasiswa. Adapun Yusuf yang berdialek Minang beranak 4 orang. "Saya berharap lingkungan saya nanti bisa menerima saya dengan ikhlas," katanya kepada Zakaria M. Passe dari TEMPO. "Keluarga saya pun sudah lama memperlihatkan sikap menerima, jika nanti kami berkumpul kembali." Ia juga tak melupakan kesetiaan isierinya, Nurnitifah, yang tabah menanti hari pembebasan. Demikian pula dengan Khalilah, isteri Abdullah Nasution. Khalilah sering menjenguk. Untuk membiayai keluarga, wanita ini menerima jahitan dari tetangga. Celana putih dan kemeja lengan pendek kotak-kotak yang hari itu dipakai Abdullah, juga kiriman Khalilah. "Setelah bebas saya kira saya masih bisa berdiri sendiri," kata Abdullah, yang sekarang lebih mahir mengukir kayu jelutung ketimbang menulis berita. Ia mengambil sesisir pisang dari tasnya yang rada kumuh. Lalu dibagikannya kepada beberapa wartawan: "Makanlah, sebagai solidaritas kita yan pernah satu korps." Lalu menarik nafas panjang. "Saya tak tahu bagaimana masa depan saya sebagai wartawan nanti. Andaikata anda juga mngalami seperti saya, bagaimana?' Ketika bersalaman, tangan Yusufkelihatan menggeletar. "Saya memang agak tidak sehat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus