Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUYUNG Saleh (5), sastrawan dan bekas guru besar ilmu sastra
Universitas Res Publica, termasuk tahanan yang dilepas dari
Pulau Buru pekan silam. Nama aslinya: Iskandar Saleh
Puradisastera. Ketika ditangkap ia Ketua Lembaga Sastra Lekra.
Mewakili teman-temannya yang beragama Islam, ia mengangkat
sumpah dan menandatangani naskah sumpah depan Kolonel Bambang
Tjahjono SH, ketua badan perencana Bapreru di lapangan sepakbola
Namlea 20 Desember. Kepada Acin Yassin dari TEMPO, menjelang
keberangkatan dengan kapal di Pulau Buru ia menjelaskan posisi
dirinya:
Lekra itu didirikan oleh seniman seperti Achdiat Kartamihardja
dan sebagainya, cita-citanya semula mengembangkan konsep
kesenian yang berorientasi kepada rakyat. Waktu itu saya sudah
merasa bahwa konsep 'seni untuk seni' - yang dianut banyak teman
- sudah tak sesuai lagi dengall perjuangan bangsa.
Lekra kemudian diinfiltrir PKI. Saya bukan tak sadar. Tapi dasar
solidaritas saya kepada teman-teman saya tak berdaya
meninggalkan Lekra. Saya sendiri bukan Marxis. Mungkin karena
itu posisi saya tidak terlalu mudah dalam Lekra. Ketika ada
ramai-ramai pengganyangan Hamka. Manikebu dan HMI, saya menolak
melakukan kutukan. Sekarang pusl saya tidak suka mengutuk Lekra.
Saya memang tak suka melakukan kutukan.
Selama dalam tahanan saya tak bisa mengarang. Selain karena
bacaan memang hampir tidak ada - kecuali buku agama - waktu
memang tak ada. Sepanjang hari saya harus bekerja di sawah atau
ladang. Saya harus mencangkul. Malam sudah capek, tak mungkin
mengarang. Sekarang saya gembira memperoleh pangkat sipil saya
kembali sebagai warganegara. Saya akan kembali ke Jakarta, meski
rumah saya depan DGI di Salemba, sebelah rumahsakit St. Carolus,
kena gusur. Tapi saya optimis: di mana ada langit, di bawahnya
rumah saya. Sekarang saya kena penyakit jadi saya akan
menyehatkan badan dulu.
Saya menyukai kegiatan sosial dan agama tapi rasanya tak efisien
ambil kegiatan bidang itu. Kalau bisa saya ingin mengabdikan
keahlian dalam Bahasa Indonesia dan ini yang berhubungan dengan
itu. Tentu saya juga ambil perhatian akan negara saya, bukannya
terus tak ambil pusing. Saya ini sekarang ibarat katak di bawah
tempurung, selama ditahan tidak membaca koran atau mendengar
radio. Dan kalau mau terus petakilan (bertingkan dalam politik),
itu namanya tak tahu diri.
Wanita itu bernama Salyas (40), bebas pekan kemarin dari Inrehab
Tanjung Kasau. Ditahan 3 tahun. Tubuhnya nampak sehat, wajahnya
berseri. Menyandang tas tangan, ia melenggang bersama famili
penjemputnya. Di lehernya tergantung kalung dengan leontin emas.
bernilai Rp 50.000.
"Saya merenda, bikin baju panas. selendang, sal. topi dan baju
anak-anak dalam tahanall," katanya kepada Amran Nasution dari
TEMPO. Hasil rajutan itu ia jual ke luar kepada para pedagang,
dan setiap bulan ia memperoleh Rp 6.000 - kotor.
"Famili saya tiap bulan mellgantar uang belanja. Jadi
penghasilan itu bisa saya simpan," sambung Salyas. Tak heran
kalau ia bisa membeli perhiasan emas. Tapi seperti dituturkan
seorang isteri tahanan yang tinggal 300 meter dari kompleks
Inrehab, sebenarnya Salyas "belum apa-apa." Katanya, "di sana
banyak tauke" - sambil menyebut beberapa nama tahanan yang
menjadi semacam leveransir. "Tiap orang punya modal sampai
ratusan ribu."
Ada pula tauke lain, pemilik kedai kopi. yang terbilang orang
senang pula. Mereka rata-rata bisa melego belasan kaleng susu
tiap hari. Pasaran susu di sana Rp 40, kopi Rp 25, mi goreng Rp
100 (dengan telur), nasi goreng Rp 100, pecal Rp 50. Lebih murah
di luar memang, tapi kadang boleh bon.
Kabarnya ada pula beberapa penguasa di luar Inrehab yang punya
hutang sekitar Rp 2 juta kepada para lahanan itu. Belum sempat
dibayar, sang leveransir sudah keburu bebas. Dan mereka ternyata
tak ribut dengan piutang. Kebebasan lebih berharga dari
segalanya.
Orang ini bekas anggota staf Menko Bappenas. Ia (bekas) Komodor
AL Abdul Rahman Atmosudirdjo (54). Di Bappenas dulu golongannya
F-6 ketika Dr. Suharto menjadi Menteri Bappenas. Setelah bebas
dari Pulau Buru, "saya tak ingin mempersoalkan apa yang sudah
terjadi," katanya.
Merasa lebih bermanfaat melihat masa depan, ia akan menulis
memoar, yang menurutnya "sangat belharga bagi generasi yang akan
datang, agar belajar dari pengalaman." Selama dalam tahanan ia
tak pernah berfikir akan be kerja apa kelak. "Saya sudah tua,"
tambahnya.
Ia ingin bertemu dengan teman-temannya yang banyak tinggal di
Negeri Belanda. Bahkan 2 dari ke4 anaknya menikah dengan orang
Australia. Tapi yang penting, setelah bebas ini, "saya ingin
mencurahkan waktu untuk mQngagumi isteri saya yang setia."
Gophal Dash Balamal (56), setelah bebas dari Pulau Buru,
berharap mudah-mudahan isterinya yang asli Madura bersedia
menerimanya. "Juga anak saya yang 7 orang," tambahnya. Langsung
menuju rumah kemenakannya di Surabaya ia memang belum pasti
bagaimana sikap keluarganya di Madura. Tampak lebih tua dari
usianya, keturunan Pakistan ini punya rencana akan beriualan
kecil-kecilan.
"Sebab dulu, sebelum jadi pegawai perusahaan pelayaran, saya ini
pedagang. Saya tertarik jadi pegawai karena gagah-gagahan saja,"
tuturnya. Lalu ia masuk SBPP, Serikat Buruh Perusahaan Pelayaran
yang (berbau) PKI di Sumenep.
Chris Hutabarat, bekas wartawan harian Ekonomi Nasional, juga
bebas dari Buru. "Seperti umumnya wartawan, saya juga tetap pada
profesi saya. Tapi rasanya saya ini sudah ketinggalan dengan
yang muda-muda. Kalau masih bisa, saya ingin terjun saja ke
usaha pengangkutan swasta. Saya dengar usaha pengangkutan ada
kemajuan."
Meski punya keluarga di Jakarta, ia tidak akan langsung ke
keluarganya. "Setelah bebas ini. kalau bisa diterima, saya ingin
langsung ke Dewan Gereja Indonesia di alan Salemba, sambungnya.
Di Inrehab Tanjung Kasau, ada 2 bekas wartawan Hanan Harapan
Medan yang dibebaskan: Abdullah Nasution (58) dan Yusuf
Roemandung (40). Ditahan 6 tahun, Abdullah yang bekas pemimpin
redaksi anan Harapan ini pernah melawat ke Peking. Anaknya 9,
ketika ditahan 2 di antaranya sudah mahasiswa.
Adapun Yusuf yang berdialek Minang beranak 4 orang. "Saya
berharap lingkungan saya nanti bisa menerima saya dengan
ikhlas," katanya kepada Zakaria M. Passe dari TEMPO. "Keluarga
saya pun sudah lama memperlihatkan sikap menerima, jika nanti
kami berkumpul kembali." Ia juga tak melupakan kesetiaan
isierinya, Nurnitifah, yang tabah menanti hari pembebasan.
Demikian pula dengan Khalilah, isteri Abdullah Nasution.
Khalilah sering menjenguk. Untuk membiayai keluarga, wanita ini
menerima jahitan dari tetangga. Celana putih dan kemeja lengan
pendek kotak-kotak yang hari itu dipakai Abdullah, juga kiriman
Khalilah. "Setelah bebas saya kira saya masih bisa berdiri
sendiri," kata Abdullah, yang sekarang lebih mahir mengukir kayu
jelutung ketimbang menulis berita.
Ia mengambil sesisir pisang dari tasnya yang rada kumuh. Lalu
dibagikannya kepada beberapa wartawan: "Makanlah, sebagai
solidaritas kita yan pernah satu korps." Lalu menarik nafas
panjang. "Saya tak tahu bagaimana masa depan saya sebagai
wartawan nanti. Andaikata anda juga mngalami seperti saya,
bagaimana?'
Ketika bersalaman, tangan Yusufkelihatan menggeletar. "Saya
memang agak tidak sehat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo