PERINGATAN wafatnya Yesus, Jumat pekan lalu, telah mengubah suasana sepi Desa Santa Cruz, Dili Timur. Hari itu, persisnya mulai pukul 19 waktu setempat, sekitar 6 ribu orang bergerak dalam arak-arakan di depan 14 buah salib yang diarak oleh orangorang yang berpakaian adat Timor Timur bersenjatakan parang mengitari desa kecil Santa Cruz. Dari mulut mereka terdengar nyanyian-nyanyian dalam bahasa Portugis. Sementara itu, di tangan mereka tergenggam sebatang lilin menyala. Itulah upacara Jalan Salib yang sudah mentradisi dari Gereja Balide, gereja tertua di Kota Dili. Tradisi memperingati wafat Yesus seperti ini tak terdapat di gereja-gereja Katolik lainnya di Dili. Di Gereja Motael, misalnya, acara misa pada hari itu berlalu begitu saja tanpa acara arak-arakan. Begitu juga di gerejagereja yang lain. Walhasil, pada Jumat sore itu sebagian besar Kota Dili diselimuti suasana sepi. Jalan-jalan yang biasanya ramai berubah sepi. Taksi, yang biasanya cukup banyak bersileweran di jalan raya, pada sore itu dapat dihitung dengan jari. Juga tak kelihatan toko-toko yang buka pada sore itu. Maklumlah, pada sore itu, umat Katolik yang berjumlah sekitar 90 persen dari 125.000 penduduk Dili melakukan upacara misa memperingati hari kematian Yesus di tiang salib. Memang, mayoritas penduduk Timor Timur beragama Katolik. Pada 1988 saja, misalnya, tercatat sekitar 570 ribu umat Katolik di Timor Timur yang ketika itu berpenduduk sekitar 690 ribu. Jumlah itu jauh lebih besar bila dibanding dengan banyaknya umat Katolik di tahun 1973 yang sekitar 187 ribu. Pertambahan itu berasal dari masuknya pemeluk animisme ke gereja. Ini menunjukkan bahwa agama Katolik di Timor Timur mengalami kemajuan pesat setelah bergabung dengan Indonesia pada 1976. Hal itu pernah diakui oleh seorang pastor yang sudah 26 tahun mengabdikan dirinya sebagai pengembala umat di Timor Timur kepada Reuters. Banyak faktor penyebab pertambahan itu. Di antaranya adalah bantuan pemerintah Indonesia untuk membangun rumah-rumah ibadah di Timor Timur, sehingga pada 1988 itu umat Katolik telah memiliki 1 katedral, 41 gereja, 132 kapel, dan 270 gereja sederhana. Dari tempat-tempat ibadah inilah tersebar agama Katolik di Timor Timur. Selain itu, pembinaan keagamaan dilakukan lewat media seperti radio dan brosur. Juga melalui jalur pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas, agama Katolik diajarkan. Persentuhan agama Katolik dengan penduduk Timor Timur telah dimulai sekitar 480 tahun lalu, persisnya pada tahun 1512 dan 1515. Itu dilakukan oleh bangsa Portugis yang ingin menetap di pulau itu. Pada kurun ini penyebaran agama Katolik dilakukan secara bersama-sama, baik oleh kaum biarawan maupun kaum awam seperti pelaut dan pedagang. Barulah pada tahun 1530 berdiri misimisi Katolik yang sesungguhnya. Dari dokumen-dokumen sesudah itu tercatat, sekitar tahun 1550 sampai 1560 beberapa raja dengan sejumlah rakyatnya dibaptis oleh para misonaris. Misalnya, pada tahun 1556 seorang misionaris Dominikan yang bernama Frei Antonio Taveiro tiba di Timor. Ia berhasil membaptis sekitar 5.000 orang. Sehingga, pada akhir periode ini, periode praevangelisasi (sebelum penyebaran Injil) Timor, telah terbentuk beberapa kelompok umat Katolik yang mempunyai harapan untuk masa mendatangnya. Tapi perjalanan misionaris tidaklah selalu mulus. Ada periode yang menuntut pengorbanan diri dan pertaruhan nyawa. Meskipun pada periode ini penyebaran agama mengalami perkembangan yang berarti, baik dari segi status maupun dari pertambahan umat yang bertobat, pada akhir periode ini, pada tahun 1834, terjadi pengusiran terhadap kaum biarawan. Sayangnya, tidak dijelaskan siapa yang mengusir para rohaniwan Katolik itu. Yang pasti, ketika itu Timor Timur di bawah kekuasaan Portugis. Akibatnya, umat Katolik yang tadinya berkembang pesat mengalami kehancuran. Keadaan ini mulai baik setelah Pe Antonia Joaquin, seorang misionaris, yang berusaha menggalakkan usaha pembaharuan di bidang kerasulan di Timor yang telantar. Namun, keadaan ini kembali mendung sampai Don Jose dan Costa Nunes diangkat menjadi uskup Macao dan Timor pada 1920. Sejak itu misi-misi di Timor memasuki era baru evangelisasi yang lebih intensif dan mencapai puncak pada tahun 1940, yakni dengan ditetapkannya Dili sebagai sebuah dioses. Artinya, dengan ditandatangani dokumen perjanjian misioner pada 1940 itu, Dili resmi menjadi satu keuskupan, yang meliputi Timor Timur, Oekusi, Pulau Atauro, dan Jaco. Wilayah Keuskupan Dili ini terbagi atas paroki-paroki dan misioner (lingkungan terkecil peribadahan yang tidak ada pastornya) yang dikunjungi oleh pastor secara berkala. Tentu saja juga ada pusat pastoralnya. Dewasa ini Keuskupan Dili memiliki 24 paroki, 68 lingkungan misioner, dan 205 pusat pastoral. Agaknya, melihat banyaknya jumlah paroki dan umat Katolik di Dili, berkembang isu bahwa keuskupan Dili akan dibagi dua menjadi: keuskupan Dili dan keuskupan Baucau. Sebuah sumber di Dili menyebutkan bahwa satu keuskupan di Timor Timur sekarang memang tidak lagi mencukupi. "Secara geografis, sulit bagi satu orang uskup mencapai masyarakatnya dalam tugas-tugas pastoral di Timor Timur," kata sumber tersebut. Namun, sejauh ini, belum ada konfirmasi dari pihak Vatikan. Bila itu terlaksana, tentunya kedua keuskupan itu tetap mempunyai hubungan langsung ke Vatikan, sebagaimana keuskupan Dili sekarang yang dipimpin oleh Uskup Philipe Ximenes Belo. Sebab, Vatikan masih menunggu keputusan PBB terhadap provinsi yang banyak menjadi pembicaraan dunia itu, hingga keuskupannya belum digabungkan dalam Konperensi Waligereja Indonesia, sebagaimana keuskupan di wilayah Indonesia yang lain. JK, Sandra Hamid (Jakarta), dan Ruba'i Kadir (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini