PEREMPUAN Kota Dili memang menangis, juga lelaki dan anak-anak, meski tak ada debu di rambutnya. Hari-hari penuh tangis. Di Comoro, Dili Barat, prosesi Jalan Salib mulai bergerak pukul 08.00 pagi. Lebih dari 1.500 orang merayapi bukit Comoro di dekat pantai. Yesus berambut keriting memanggul salib diiringi nyanyian dalam bahasa Tetun campur Portugis. Untuk mencapai puncak bukit ada 14 perhentian sesuai dengan gambaran peristiwa tersebut di dalam Injil. Misalnya, pada perhentian ke-2 ketika kepala Yesus diberi mahkota duri dengan paksa. Yesus juga berhenti ketika bertemu dengan ibunya: Maria melihat derita putranya dan turut menanggung penghinaan dan kesakitannya. Yesus juga berhenti untuk menasihati wanitawanita yang menangisinya: "Jangan tangisi aku, tetapi tangisi dirimu dan anak-anakmu." Yesus lebih mengutamakan amal dan perbuatan daripada air mata. Orang harus membuka jalan untuk memperbaiki kehidupan. Di bukit Comoro, matahari semakin memuncak. Di tengah gersang perbukitan, rombongan prosesi bercucuran keringat tapi tetap bersemangat berjalan sambil menyanyi. Di puncak bukit ada tiga buah salib putih yang tetap dibiarkan kosong. Adegan penyaliban hanya simbolis. Ini yang membedakan Jalan Salib di Comoro dengan yang dilakukan suku Dani di Lembah Baliem, Irian Jaya. Di Baliem, Jalan Salib diakhiri dengan penyaliban pemeran Yesus di tiang salib di bukit Kurulu. Di Lembah Baliem, musik diperkaya dengan instrumen gitar yang dipetik sambil berjalan. Di Comoro tak ada instrumen sama sekali, juga tak ada kostum berwarna-warni. Prosesi di Comoro lebih lugas dibandingkan dengan prosesi Jalan Salib yang terjadi di Balide, gereja Katolik lain di Dili. Di Balide, suasana upacara Jalan Salib lebih "teatral" dan ada warna budaya lokal. Sejak pukul 3 sore, beberapa orang berpakaian adat Timor kelihatan beriring-iringan di sekitar pasar dekat gereja Balide. Mereka kelihatannya datang terlalu pagi dan menghabiskan waktu bercengkerama dulu di pasar, bercanda dengan pedagang kentang, ubi jalar, beras, dan sopir-sopir oplet. Berbeda dengan para pedagang, mereka ini memakai sarung tenun Timor, semacam kaus kaki dari bulu ayam, memakai sabuk kain putih, selendang tenun asli yang menutup bahu dan dada. Di dadanya tergantung kalung tembaga berbentuk lingkaran sebesar cawan teh. Mereka memakai hiasan kepala dari bulu ayam berwarna-warni dan membawa pedang -- ada yang sungguhan, ada yang terbuat dari kayu. Mereka ini bertugas sebagai barisan keamanan. Upacara dimulai di dalam gereja. Sekitar seribu orang memadati auditorium dan lebih dari seribu orang memenuhi halaman gereja sampai ke jalan. Kembali terlihat daya tahan orang Timor dalam melaksanakan upacara. Mereka dengan khusyuk berdiri berjam-jam tanpa bicara. Mereka yang di luar gereja harus menahan panas dan berlutut di tanah berbatu. Awal upacara adalah pembacaan kembali kisah sengsara Kristus. Suasana kontemplatif berlangsung lebih dari dua jam. Ketika matahari hilang di perairan Dili, suasana berubah dramatis. Tirai besar di belakang altar mendadak tersingkap dan patung Yesus tersalib dalam skala manusia menatap jemaah. Dari pintu gereja utama, iringiringan gadis berselubung dan berkerudung kain ungu diiringi lelaki-lelaki berjubah putih membawa lentera memasuki ruangan menuju ke bawah patung Yesus. Para wanita itu berjongkok dan menyanyikan lagu-lagu sedih. Semuanya berpakaian ungu kecuali satu orang yang berpakaian putih: Magdalena. Dua lelaki naik ke tangga menempelkan kain bertuliskan INRI, "Yesus dari Nazaret, Raja orang Yahudi," di kepala patung. Kemudian terdengar bunyi ketokan-ketokan palu penyaliban Yesus. Maka wafatlah Yesus: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani," -- Tuhan mengapa Kautinggalkan daku. Sesudah beberapa madah pujian, terdengar lengkingan nada tinggi dari paduan suara gadis-gadis dan tubuh Yesus pun diturunkan dari salib. Gerakannya terasa realistis, patung Yesus itu seolah hidup. Ternyata di tangan patung memang ada engselnya. Lalu jenazah Yesus diletakkan di dalam keranda. Saat koor melengking, tubuh Yesus terangkat oleh tangan-tangan lelaki berjubah, meluncur pelan, lolos dari pintu samping. Keluar dari cahaya lampu neon gereja, tubuh Yesus masuk dalam cahaya lilin dari ribuan tangan-tangan yang membentuk lorong sepanjang halaman. Tubuh Yesus, diiringi oleh patung Bunda Maria, bergerak ke luar halaman gereja menyusuri jalanan menuju kuburan Santa Cruz. Lebih dari 3.000 pasang kaki melangkah pelan-pelan. Iring-iringan sepanjang 2 km itu membentuk lukisan cahaya yang meleret panjang berkilometer. Wajah-wajah sedih itu semakin dramatis karena cahaya lilin. Proses cahaya ini semakin menarik ketika jalanan menurun sehingga memungkinkan setiap peserta melihat perspektif leretan cahaya lilin di gelap malam yang lebih bening. Ujung iringan telah sampai di tujuan: kuburan Santa Cruz, tempat terjadinya insiden tragis 12 November 1991. Iringan berhenti. Nyanyian pun berhenti. Semua diam. Keheningan ini lain dari keheningan di gereja. Sekelompok panitia bergerak menyusun posisi ritual. Tak ada teriakan perintah, hanya bisik-bisik: keheningan yang menggelisahkan. Sebuah puisi gelap tentang kematian tergelar saat itu. Sebuah puisi visual yang mempengaruhi batin, tak terelakkan. Kanvas hitam terbentang. Sedikit warna, apa pun, akan mengakselerasi energi batin. Semua terikat, batin ribuan orang ditekan dalam ketegangan yang sama, yang paling dasar. Tubuh Yesus berbalik arah meninggalkan kubur. Iringan berjalan tanpa suara, dan satu-satu menyimpang ke rumah masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini