Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Penjahat Besar atau Pembesar Jahat

Perbedaan terjemahan Lafal Akaabiro Mujrimiihaa pada surat al An'am ayat 123 dalam dua quran terbitan Departemen Agama dipersoalkan. dalam menafsirkan quran, perbedaan tak bisa dihindari.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pembaca di harian Pelita mempersoalkan terjemahan dari lafal akaabiro mujrimiihaa (Surat Al An'am, ayat 123). Soalnya, ia menemukan terjemahan yang berbeda dari lafal itu pada Al Quran dan Terjemahannya dan Al Quran dan Tafsirnya. Anehnya, kedua kitab ini diterbitkan oleh lembaga yang sama, Departemen Agama RI. Pada Al Quran dan Terjemahannya, lafal itu diartikan sebagai "penjahat-penjahat yang terbesar", sedangkan pada Al Quran dan Tafsirnya ditafsirkan "pembesar-pembesar yang jahat". Persoalan ini menjadi penting karena mendapat tanggapan dari beberapa tokoh Islam seperti Prof. K.H. Ibrahim Hosen, Rektor Institut Ilmu Al Quran K.H. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan K. H. Muchtar Natsir, imam besar Masjid Istiqlal di pekan-pekan lalu. Lagi pula Al Quran dan Terjemahannya itu tersebar luas sebagai pegangan pokok umat Islam Indonesia. Prof. Ibrahim Hosen, tokoh yang mengetuai penyusunan Al Quran dan Tafsirnya, misalnya, pada harian yang sama ia menyarankan bila terjadi perbedaan dalam dua Quran itu, gunakanlah Al Quran dan Tafsirnya. Alasannya, tim penyusun Al Quran dan Terjemahannya yang berjumlah 15 orang hampir seluruhnya duduk dalam dewan yang menerbitkan Al Quran dan Tafsirnya. Memang Al Quran dan Terjemahannya lebih dulu diterbitkan. Dalan penyusunan Al Quran dan Tafsirnya, buku Al Quran dan Terjemahannya digunakan sebagai pegangan utama. Perubahan baru dilakukan kalau ditemukan terjemahan yang kurang baik pada Al Quran dan Terjemahannya. K.H. Muchtar Natsir, imam besar Masjid Istiqlal yang ikut menanggapi surat pembaca di Pelita itu, menunjukkan bahwa letak perbedaan terjemahan kedua kitab itu pada rujukannya. Kitab Al Quran dan Terjemahannya merujuk pada kitab tafsir Gharaibul Quran, Abi Suud, dan Al Fariid. Sedangkan kitab Al Quran dan Tafsirnya merujuk pada pendapat Al Qurthubi. Tapi kata Muchtar Natsir, "Saya tidak bisa mengatakan mana yang benar atau tidak benar dari kedua rujukkan itu." Tokoh ini hanya menyarankan agar dibentuk semacam majelis pentarjih yang berperan mencari makna sesungguhnya dari sebuah kalimat Quran. Usul Muchtar Natsir mendapat sambutan dari K.H. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Gunanya, agar bisa ditemukan makna yang paling dekat dengan maksud ayat tersebut. Tampaknya perbedaan dalam menerjemahkan Quran tidak bisa dihindarkan. Soalnya, seperti diungkapkan oleh Quraish Shihab, ahli tafsir Indonesia, Quran bisa ditafsirkan dengan berbagai penafsiran, tergantung dari sudut mana orang memandangnya, juga latar belakang pendidikan orangnya. "Di sinilah letaknya timbul perbedaan dalam penafsiran dan penerjemahan," kata Qurasy. Tidak hanya itu. Bahkan dalam Quran ada satu kata yang mempunyai dua arti yang bertolak belakang, sehingga penafsiran menjadi bertolak belakang. Misalnya saja ayat yang menyatakan, wanita-wanita yang suaminya wafat menanti empat kali quru. Istilah quru ini bisa berarti masa suci atau mens. Contoh lainnya, innama yahsallaha min ibadihi ulama' dalam surat Fatir. Kalau kita baca kata "ulama" menjadi "ulamau," maka kata yahsya diartikan takut. Sehingga arti ayat di atas: "sesungguhnya yang takut kepada Allah adalah ulama." Lain pula artinya kalau dibaca "ulamaa," yang berarti curahan anugerah Tuhan. Jadi yang memperoleh curahan rahmat Allah adalah ulama. Pada yang pertama ulama menjadi subyek, karena dia takut pada Allah, pada yang kedua ulama menjadi obyek. Dari sini Quraish melihat antara Al Quran dan Terjemahannya dan Al Quran dan Tafsirnya bisa benar duaduanya, dengan masing-masing alasannya. Karena itu, kata Quraish, pendapat seorang musafir benar bagi yang bersangkutan, tapi bisa keliru menurut ulama yang lain. Misalnya seperti yang dialami Muchtar Natsir. Ia pernah menemukan ketidaktepatan terjemahan lafal al mushoddikin pada Surat Al Hadid, ayat 18. Kata itu dalam Al Quran dan Terjemahannya diartikan sebagai orang-orang yang membenarkan. Padahal, kata Muchtar Natsir, kata itu berarti orang-orang yang memberi sedekah. Itu ditemukan Muchtar Natsir pada tahun 1988, ketika ia menjabat ketua pelaksana harian Badan Zakat, Infak, dan Sedekah DKI Jakarta. Kemudian terjemahan yang salah itu dibetulkan oleh Departemen Agama. Tidak hanya para ulama ikut tergugah dengan surat pembaca itu, juga Departemen Agama, khususnya pihak Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Departemen Agama, sebagai lembaga yang berkepentingan dalam soal ini. Bila perbedaan tersebut dituduh sebagai tahrif, penyalahambilan kata hingga menjauhkan diri dari makna sebenarnya, sebagaimana dalam surat pembaca di Pelita itu, adalah tidak benar. "Sesungguhnya tidak ada tahrif dalam masalah ini, dalam arti mengubah makna sebenarnya secara sengaja untuk suatu kepentingan," kata Hafidz Dasuki, Kepala Puslitbang Lektur Agama Departemen Agama. Masalahnya, bagi Hafidz Dasuki, adalah persoalan beda pendapat saja. "Kedua-duanya sama-sama benar," kata Hafidz dengan yakin. Julizar Kasiri, Siti Nurbaiti, dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus