Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
DPR ingin seluruh elemen mendapatkan hak yang sama mengelola sumber daya alam, termasuk kampus.
Keterlibatan kampus dalam bisnis tambang berpotensi menggerus kebebasan akademik.
Pemberian konsesi tambang bukan solusi kampus dapat membiayai diri sendiri.
SEMINAR pendidikan di Jakarta pada Mei 2024 menjadi momen tak dilupakan oleh Budi Djatmiko. Memaparkan materi tentang peran pendidikan tinggi, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) itu menyarankan kampus berperan mengelola sumber daya alam, salah satunya pertambangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi mengatakan beberapa kali menyampaikan saran tersebut kepada Rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) Laode Masihu Kamaluddin. Laode adalah anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. “Saya sering sampaikan saran itu,” kata Budi saat dihubungi pada Kamis, 23 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah seminar tersebut, Budi juga menyebutkan memberikan langsung saran ini kepada Prabowo, yang kala itu sudah dinyatakan Komisi Pemilihan Umum sebagai presiden terpilih. “Prabowo sampai meminta file materi seminar saya," ujarnya.
Bongkar-muat batu bara di Dermaga KCN Marunda, Jakarta, 5 Januari 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Budi mengklaim sebagai orang pertama yang mengusulkan perguruan tinggi diberikan konsesi tambang. Usul itu, kata dia, mulanya disampaikan kepada Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 2016. Budi menceritakan kepada Jokowi tentang keprihatinannya terhadap sumber daya alam yang dikelola asing. Alih-alih dikelola pihak asing, sumber daya alam lebih baik diserahkan dan dikelola perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi, menurut Budi, memiliki kompetensi dan sumber daya manusia untuk mengelola konsesi tersebut.
Menurut dia, perguruan tinggi tidak akan mengambil keuntungan pribadi dari hasil tambang. Hasil tambang pun bisa digunakan untuk pembiayaan, dari biaya operasional kampus, gaji dosen, hingga uang kuliah mahasiswa. Dia juga menyarankan kampus bisa bekerja sama dengan pengusaha tambang dalam pengelolaannya. Namun, Budi mengatakan, Jokowi tidak merespons pandangan tersebut. Sampai suatu ketika, Budi menuturkan hendak menyampaikan hal tersebut langsung kepada Prabowo.
Beberapa bulan setelah seminar tersebut, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan revisi keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Baleg DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat pleno pada Senin, 20 Januari 2025. Dalam draf terakhir, revisi RUU Minerba disisipkan Pasal 51A. Pasal itu menyebutkan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam atau batu bara dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengatakan RUU Minerba sejalan dengan keinginan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ada empat poin yang diusulkan dalam Revisi Undang-Undang Minerba. Keempatnya adalah percepatan penghiliran mineral dan batu bara, aturan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat keagamaan, pemberian IUP kepada perguruan tinggi, serta pemberian IUP untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Bob menyebutkan pemerintah ingin seluruh elemen masyarakat bisa mendapatkan hak yang sama untuk mengelola sumber daya alam. Tak terkecuali, kata dia, kepada perguruan tinggi.
Budi Djatmiko mengatakan tidak mengetahui bagaimana proses usul tersebut bisa dibahas Baleg DPR. Sebagai Ketua Umum Aptisi, Budi menyebutkan tidak memiliki kajian atas usulan yang dibahas di Baleg DPR.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan RUU Minerba bukan digagas pemerintah pusat. Menurut dia, revisi regulasi UU Minerba itu merupakan inisiatif DPR. Kementerian Hukum saat ini disebut menunggu hasil revisi Undang-Undang Minerba dari DPR. "Pemerintah juga akan menyusun daftar inventarisasi masalah untuk nantinya diserahkan ke DPR," kata Supratman di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2025.
Wakil Ketua Baleg DPR Martin Manurung mengatakan tidak mengetahui Aptisi merupakan pengusul rencana revisi keempat Undang-Undang Minerba. Menurut dia, revisi undang-undang itu disampaikan DPR melalui Baleg.
Menurut Martin, universitas memiliki potensi sumber daya manusia dan keilmuan mengenai pertambangan serta lingkungan hidup. Potensi tersebut makin kuat bila pemahaman teoretis dipadukan dengan praktik. “Keterlibatan kampus diharapkan dapat memicu kompetisi dalam bisnis pertambangan,” ujar Martin saat dihubungi, Kamis, 23 Januari 2025.
Hasil pengolahan tambang, kata Martin, bisa menjadi sumber pembiayaan kampus. Tambang untuk kampus juga bisa menjadi solusi menyelesaikan masalah pembiayaan kampus, termasuk uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa. “Kampus tidak harus menaikkan UKT mahasiswa,” ujarnya.
Rapat dengar pendapat antara Baleg DPR dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, serta Asosiasi Penambang Nikel membahas Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara di Kompleks Parlemen, Jakarta, 22 Januari 2025. TEMPO/Amston Probel
Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Togar M. Simatupang, mengatakan lembaganya belum pernah menerima usulan kampus mendapatkan konsesi tambang dari Aptisi. Kementeriannya juga belum pernah membahas ataupun mengkaji usul tersebut. Dia meminta usul tersebut dikaji secara mendetail. Kajian itu dimulai dari studi kelayakan, perencanaan anggaran, hingga implementasinya. “Harus ada hitungannya,” ujar Togar saat dihubungi, Kamis, 23 Januari 2025.
Menanggapi pemberian hak kelola tambang untuk kampus, Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridho Kresna Wattimena mengatakan kampusnya masih mempertimbangkan pemberian izin kelola tambang. Hal itu menyangkut status wilayah yang akan diberikan kepada perguruan tinggi.
Menurut Ridho, pertambangan adalah bisnis berjangka panjang. Prosesnya tidak akan cepat. Bila mendapatkan lahan berkategori greenfield atau belum pernah dikembangkan, kampus harus menjalankan berbagai tahapan sebelum bisa menambang. Tahapan itu dimulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, membuat analisis mengenai dampak lingkungan, membuat studi kelayakan, hingga membuat desain dan menambang.
Lama waktu untuk melakukan itu, kata dia, diprediksi lima sampai sepuluh tahun. “Apakah kemudian perguruan tinggi diminta mengeluarkan uang dalam 5 sampai 10 tahun sebelum bisa mendapatkan uang dari hasil tambang?" ujar Ridho di gedung DPR, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2025.
Menurut dia, kampus akan lebih mudah mengolah dan mendapatkan hasil jika lahan yang diberikan berasal dari bekas perusahaan tambang. Sebab, datanya sudah ada. "Uang yang harus dipersiapkan perguruan tinggi untuk mendesain dan menambang bisa lebih rendah dibanding jika yang diberikan lahan greenfield," katanya.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Rektor IV Bidang Kemitraan, Inovasi, Bisnis, dan Kewirausahaan Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas) Adi Maulana mengatakan rencana itu sebagai peluang untuk memperoleh pendapatan kampus. Pendapatan itu bisa untuk membiayai operasional kampus. Apalagi sebagai kampus dengan status perguruan tinggi negeri berbadan hukum, kata dia, Unhas dituntut mandiri dalam pembiayaan. “Beban negara berkurang dan bisa dialihkan ke tempat lain,” ujar Adi pada Kamis, 23 Januari 2025.
Adi optimistis Unhas mampu mengelola tambang. Meski begitu, ada beberapa tantangan. Industri pertambangan memang membutuhkan biaya besar. Untuk mengatasi hal itu, kata Adi, kampus harus bekerja sama dengan mitra yang memiliki modal dan berpengalaman mengelola tambang.
Tantangan lain, industri pertambangan yang ekstraktif akan meninggalkan masalah lingkungan hidup. Menurut dia, pengelolaan tambang perlu menerapkan konsep green mining dari hulu sampai hilir. “Untuk memastikan pengelolaan tambang yang berkelanjutan,” kata Adi.
Adapun Rektor Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Fathul Wahid, menegaskan pengelolaan bisnis tambang bukan wilayah perguruan tinggi. Meski ada sebagian kampus yang mendidik ahli bidang pertambangan, menurut dia, perguruan tinggi lebih baik tidak terlibat langsung dalam pengelolaan tambang.
Perguruan tinggi, Fathul menegaskan, tetap berfokus pada misi utamanya, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, tanpa terjun langsung dalam bisnis tambang. "Penghiliran bisa ditangani oleh pihak yang lain yang berhubungan dengan pertambangan," ujar Fathul, seperti dikutip Antara, pada Selasa, 21 Januari 2025.
Menurut dia, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang berpotensi menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral. Apalagi dia menyebutkan banyak laporan lembaga independen yang menunjukkan kontribusi besar usaha pertambangan terhadap kerusakan lingkungan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Herlambang Perdana Wiratraman, sejak awal menolak aturan yang memberikan konsesi kepada organisasi masyarakat ataupun kampus.
Kedua entitas tersebut bukan entitas bisnis sehingga tidak cocok untuk diberikan konsesi tambang. “Kampus yang cenderung diarahkan menjadi muruah bisnis tentu mencederai muruah akademik,” ujar anggota Dewan Pakar Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik ini saat dihubungi, Kamis, 23 Januari 2025.
Menurut dia, perusakan muruah itu juga karena industri pertambangan selama ini berdampak pada kerusakan lingkungan. Dia juga menilai kepentingan tambang bukan untuk masyarakat, tapi untuk kepentingan oligarki. “Artinya, ada kepentingan politik dengan modal yang kuat dalam bisnis tersebut. Jadi sungguh aneh bila kampus diberikan konsesi tambang,” ujarnya.
Membungkam Kebebasan Akademik
Herlambang mengkritik alasan pemberian izin itu agar kampus bisa membiayai diri sendiri. Menurut dia, pandangan tersebut sesat pikir. Dia menegaskan, pembiayaan kampus seharusnya menjadi kewajiban negara.
Negara yang diwakili pemerintah, kata dia, semestinya mencari sumber-sumber lain untuk memberikan anggaran kepada kampus, misalnya, pajak kekayaan bisa dialokasikan untuk pendidikan tinggi. “Kan, bisa menggunakan cara itu. Bukan disuruh kompetisi main tambang. Ini rusak cara berpikir,” tutur Herlambang.
Anggota Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Herlambang P. Wiratraman. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Dia menduga rencana pemberian konsesi ini akan memperkuat cengkeraman negara terhadap kampus. Selama ini kampus dianggap sebagai kepanjangan tangan kekuasaan. Kampus kerap menjadi korban birokratisasi. Kampus selalu tidak berdaya karena kebijakan yang sentralistik dan penuh akan politisasi. “Adanya konsesi akan menghancurkan dunia pendidikan,” kata Herlambang.
Kepala Divisi Kampanye Industri Ekstraktif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengatakan banyak akademikus yang masih menjunjung tinggi sikap independen terhadap berbagai persoalan seperti lingkungan hidup, sosial, dan politik. Pemberian izin konsesi tambang untuk kampus ditengarai menjadi upaya pembungkaman sikap independensi tersebut. "Akan menjadi alat menekan kampus agar tidak bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah," ujar Hadi.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Melky Nahar mengatakan pemberian konsesi tersebut membuat kampus menjadi pebisnis, bahkan bisa menjadi makelar lisensi tambang. Pemberian konsesi tersebut, menurut dia, membuat kampus tidak mungkin bisa bersikap kritis atas situasi ekologis yang terjadi akibat operasi tambang.
Dia menyarankan kampus yang mengambil konsesi tambang mendapatkan sanksi sosial. “Salah satunya bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil agar tidak melayani atau bekerja sama dengan mereka,” kata Melky saat dihubungi, Kamis, 23 Januari 2025. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo