Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Peneliti BRIN khawatir pemangkasan anggaran bakal mempengaruhi kegiatan riset para ilmuwan.
DPR meminta pemotongan anggaran tidak mengganggu tugas riset.
Pemerintah belum sepenuhnya memahami pentingnya riset sebagai penopang pembangunan.
RASA gundah kecewa, dan khawatir muncul di benak serta pikiran Guruh—bukan nama sebenarnya untuk tulisan ini—setelah mengetahui anggaran bagi peneliti Badan Riset dan Inovasi Riset Nasional (BRIN) dipangkas. Peneliti BRIN ini khawatir kebijakan pemangkasan anggaran beberapa kementerian dan lembaga oleh Presiden Prabowo Subianto bakal mengganggu target-target kerja serta nasib para ilmuwan di lembaga tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Guruh, pemotongan anggaran BRIN paling tidak berpengaruh pada dua hal. Pertama, jumlah anggota tim dan lamanya proses penelitian. Kedua, pemangkasan anggaran berdampak pada belanja bahan dan akses untuk publikasi serta biaya penyuntingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak pemangkasan dana riset lapangan di BRIN, menurut Guruh, menyebabkan anggaran untuk tim penelitian hanya cukup buat satu-dua orang. Padahal satu tim penelitian idealnya berjumlah lima-tujuh orang. Adapun durasi penelitian akibat pemangkasan berpotensi dibatasi dua-empat hari, yang dianggap hanya cukup untuk perjalanan dinas.
Dia menegaskan, riset tidak bisa dilakukan dalam satu-dua pekan. Apalagi peneliti sosial, seperti antropolog, etnografer, dan arkeolog, setidaknya membutuhkan waktu lama untuk tinggal sementara atau live in guna menggali materi di lapangan. "Kalau seminggu, kami enggak dapat apa-apa. Ini berdampak pada kedalaman substansi penelitian," ujar Guruh saat dihubungi pada Senin, 10 Februari 2025. Dia membandingkan riset yang dilakukan peneliti di luar negeri yang membutuhkan waktu sekian bulan hingga bertahun-tahun untuk menemukan konsep atau teori baru.
Suasana kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Reduksi anggaran juga berdampak pada unit eksakta atau ilmu pasti yang membutuhkan belanja bahan laboratorium atau spesimen. "Ujung-ujungnya, kami sendiri yang terpaksa nombok," kata Guruh. Dia mengungkapkan, BRIN tidak mengendurkan target kinerja, tapi justru menambah beban penelitian dengan segala keterbatasan tersebut.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025, yang ditindaklanjuti dengan surat edaran Kementerian Keuangan, anggaran BRIN dipangkas sebesar Rp 2 triliun. Pagu awal anggaran BRIN sebesar Rp 5,842 triliun. Artinya, ada pemangkasan 35,52 persen dari pagu anggaran yang telah ditetapkan sehingga tersisa Rp 3,767 triliun. Merespons pemangkasan itu, BRIN mengurangi duit pengkajian dan analisis tahun ini sebesar 51,5 persen.
Identifikasi rencana efisiensi dipaparkan BRIN dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 5 Februari 2025. Dalam paparan itu, anggaran alat tulis kantor terkena dampak paling besar hingga 90 persen. Anggaran pendidikan dan latihan, bimbingan teknis, serta lisensi aplikasi juga pemeliharaan dan perawatan ikut dipotong masing-masing sebesar 29 persen, 21,6 persen, dan 10,2 persen.
Guruh mengatakan idealnya pembiayaan penelitian harus berbasis lumpsum. Artinya, riset perlu dibiayai langsung di awal tanpa terbebani pertanggungjawaban administrasi yang mengekang esensinya. Ia waswas dana tombokan yang dikeluarkan peneliti menjadi kendala untuk bisa menghasilkan penemuan atau riset baru.
Guruh juga cemas kondisi ini dapat berujung mutasi besar-besaran periset BRIN. Ada tiga opsi bagi peneliti BRIN. Pertama, alih fungsional menjadi analis kebijakan dan bagian perencanaan. Kedua, dipindahkan ke lembaga lain, seperti kementerian, pemerintah daerah, atau universitas. Ketiga, pensiun dini atau diminta mundur secara sukarela.
Adapun Kepala BRIN Laksana Tri Handoko belum mau banyak berkomentar mengenai pemangkasan anggaran yang menyasar lembaganya, termasuk mengenai nasib riset ke depan. Handoko menyatakan sampai saat ini belum ada keputusan apa pun mengenai efisiensi anggaran. "Kalau langkah antisipasi, kami tentu melakukannya. Tapi, ya, tidak perlu disampaikan. Kami menunggu dulu keputusan finalnya," ucapnya melalui pesan pendek saat dimintai konfirmasi pada Senin, 10 Februari 2025.
Handoko sebelumnya mengatakan BRIN masih mempersiapkan sejumlah langkah setelah adanya kebijakan pemangkasan anggaran. Dia menuturkan hanya mengikuti Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang diteken Prabowo pada 22 Januari 2025.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko di kantor BRIN, Jakarta, Oktober 2022. TEMPO/Subekti
Dalam rapat dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Handoko menjelaskan bahwa BRIN hanya memiliki alokasi anggaran yang minim setelah ada kebijakan tersebut. Hal itu untuk memastikan kegiatan operasional semua laboratorium serta fasilitas riset dan inovasi tetap berjalan. BRIN juga menyatakan hanya melaksanakan komitmen dengan tidak mengadakan perekrutan baru untuk program peningkatan kualifikasi dan mobilitas talenta.
Karena itu, Handoko mengajukan dua opsi dalam rapat bersama komisi bidang pendidikan dan riset DPR. Pertama, pemangkasan hanya Rp 320,813 miliar demi program-program strategis, antara lain kemandirian teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan daya saing nasional.
Kedua, pemangkasan sebesar Rp 729,376 miliar. Untuk opsi ini, BRIN di antaranya sudah harus menghapus belanja modal di semua organisasi riset serta menutup tujuh kawasan BRIN di luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Pemangkasan anggaran juga menyasar dana riset di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi Togar M. Simatupang mengatakan ada reduksi pembiayaan program riset. Pemangkasan yang diusulkan sebesar 20 persen dari total anggaran riset Rp 1,1 triliun pada pagu Kementerian Pendidikan Tinggi. Secara keseluruhan, Kementerian Pendidikan Tinggi terkena pemotongan anggaran Rp 22,5 triliun dari Rp 57,6 triliun yang ditentukan dalam APBN 2025.
Togar menjelaskan, kementeriannya sedang mengkalkulasi ulang pagu anggaran, termasuk dana riset. Penghitungan ulang itu, kata dia, juga dimulai dengan anggaran yang tak dipangkas, seperti belanja pegawai dan bantuan sosial. Kementerian Pendidikan Tinggi menyatakan akan memperhatikan layanan publik dan program prioritas nasional.
Togar menyatakan sulitnya mengelola dana riset. "Karena (anggarannya) sudah kecil," katanya melalui sambungan telepon pada Senin sore, 10 Februari 2025. Namun kementeriannya masih berupaya merespons kebijakan pemangkasan anggaran, termasuk merekonstruksi anggaran yang harus selesai dalam beberapa hari ke depan.
Kementerian Pendidikan Tinggi rencananya menggelar rapat dengan Komisi X DPR pada Rabu, 12 Februari 2025, untuk mengkonsultasikan penghitungan ulang anggaran akibat pemangkasan. Namun, melalui surat edaran pada akhir pekan lalu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memerintahkan semua komisi menunda pembahasan dengan mitra kementerian/lembaga. Alasannya, pemerintah bakal merekonstruksi anggaran kementerian dan lembaga dalam tiga-empat hari ke depan. "Rapat dengan kami pun dibatalkan," ujar Togar.
Pemangkasan Anggaran Mengganggu Agenda Riset Nasional
Dihubungi secara terpisah, Bonnie Triyana, anggota komisi bidang pendidikan dan riset DPR, mengatakan pemangkasan anggaran akan mengganggu agenda riset nasional. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meminta pemotongan anggaran jangan sampai mengganggu tugas riset, apalagi yang prioritas.
Bonnie menyebutkan, khusus untuk BRIN yang telah menggelar rapat dengan Komisi X pada pekan lalu, DPR menyarankan lembaga itu menggaet mitra guna menunjang pendanaan riset. Komisi X juga mengusulkan BRIN meminta tambahan dana kepada Kementerian Keuangan. "Dana yang ada kan untuk operasional saja sudah mepet. Hal itu bisa mengganggu riset dan inovasi yang sedang atau dijalankan," ujarnya pada Senin, 10 Februari 2025.
Dalam rapat pada Rabu, 5 Februari 2025, Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengungkapkan, BRIN sudah mengusulkan agar tidak ada pemangkasan anggaran sebesar Rp 2,074 triliun. Sebab, lembaga riset itu akan sulit melaksanakan program kerja 2025, bahkan berdampak tidak adanya dukungan kebijakan berbasis riset serta hilangnya momentum untuk menghasilkan inovasi dan daya saing.
Tempo belum mendapatkan penjelasan terbaru Hetifah. Pertanyaan yang dikirim Tempo melalui aplikasi perpesanan WhatsApp pada Senin, 10 Februari 2025, belum direspons. Meski begitu, dalam penjelasannya pada Kamis, 6 Februari 2025, politikus Partai Golkar ini mengatakan BRIN telah menyampaikan dua opsi alternatif soal besaran pemangkasan anggaran, yakni Rp 321 miliar atau Rp 729 miliar.
"Komisi X DPR mendukung opsi terbaik yang BRIN ajukan, yaitu opsi pertama. Sebaiknya tidak lebih dari Rp 321 miliar," kata Hetifah. Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengungkapkan, Komisi X DPR ingin program kerja BRIN yang memiliki dampak strategis tidak terganggu. Dia juga mendorong tugas serta tanggung jawab pelaku riset dan inovasi tetap dapat dilaksanakan dengan maksimal.
Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Hetifah Sjaifudian. ANTARA/HO-Dokumentasi pribadi
Menanggapi rencana pemangkasan anggaran riset, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menilai pemerintah telah abai. Ubaid menyebutkan pemerintah belum sepenuhnya memahami betapa pentingnya riset bagi pembangunan bangsa.
Ubaid menegaskan, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali alokasi anggaran dan memastikan riset mendapat porsi yang memadai. "Riset merupakan investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat besar bagi bangsa," ucapnya. "Termasuk pada hilangnya talenta periset muda yang potensial."
Guru besar ekonomi Universitas Gadjah Mada, Didi Achjari, mengatakan pemangkasan dana riset dapat membuat persaingan dosen untuk memenangi hibah pendanaan riset makin ketat. Akibatnya, dosen yang tidak mendapat pendanaan akan makin banyak. Konsekuensinya, karier dosen akan terancam karena sulit memenuhi persyaratan kenaikan pangkat dan jabatan.
Tanpa pemotongan anggaran saja, kata Didi, dana riset selama ini jauh dari cukup. Alat dan infrastruktur laboratorium yang dapat menunjang ekosistem penelitian tidak bisa selalu mengandalkan pengadaan dari dana pemerintah. Perguruan tinggi negeri berbadan hukum, seperti UGM, harus mencari dana riset sendiri.
Menurut Didi, pemotongan dana riset juga dapat melemahkan kemampuan kampus untuk mendukung program Prabowo, khususnya penghiliran hasil penelitian ke industri atau masyarakat. "Efek berikutnya, inovasi dan daya saing bangsa akan makin terpuruk," tuturnya. ●
Defara Dhanya berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo