SATU demi satu, 14 peti jenazah diturunkan dari ambulans. Diusung dan dijajarkan di aula pondok. Lalu, dalam isak tangis yang pilu, para keluarga yang berduka membuka peti. Mereka mencari wajah anaknya. Hari itu, Sabtu 19 Desember, Pondok Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, memang sedang berduka. Jenazah yang berjajar di aula itu adalah korban pendakian Gunung Lawu, yang terletak di Magetan, Jawa Timur. Hari itu juga mereka dimakamkan di Bulutunggul di belakang pondok. Sejak tewasnya enam siswa STM Pembangunan Jakarta Timur di Gunung Salak, Jawa Barat, Maret silam, angka korban santri Ngruki ini merupakan yang terbesar. Seperi juga siswa STM, mereka tewas dengan sebab yang biasa disebut subjective danger. Kesalahan dari dalam diri sendiri, seperti kurangnya persiapan dan bekal. Untuk mengisi liburan, Senin 14 Desember, 119 santri Ngruki -- termasuk sepuluh orang pembimbing, berangkat camping. Mereka umumnya berusia 13 sampai 22 tahun. Tujuannya, Bumi Perkemahan Mojosemi, Magetan, di lereng timur Gunung Lawu. Dengan dua buah truk, pukul 10.00 mereka sampai di lokasi, dan langsung mendirikan tujuh tenda. Agaknya, cuaca tak menguntungkan. Mendung tebal. Angin sangat kencang. Sebuah tenda -- mungkin juga karena tak sempurna memasangnya -- roboh dihajar angin. Toh akhirnya tenda berdiri lagi dan camping yang direncanakan tiga hari itu jalan terus. Para santri dibagi dalam lima kelompok, begitu juga pembimbingnya. Malamnya, rupanya ada rapat kilat. Walhasil, seperti dituturkan Abdul Muid, Ketua Kelompok I yang selamat, pada TEMPO, semua sepakat mendaki bukit-bukit Gunung Lawu. Tak sekadar camping seperti rencana semula. Bahkan, masih menurut Muid, malam itu juga mereka berangkat mendaki. Besoknya, Selasa, sekitar pukul 1 4.00 -15.00 mereka harus sudah kembali ke tenda. Keterangan Muid ini belakangan dibantah Moch. Jamalludin, 24 tahun, guru bahasa Arab yang memimpin rombongan. Jamalludin mengatakan, mereka mulai mendaki pukul 10.00 pagi. Dan mendaki itu merupakan bagian acara camping. Tak ada perubahan acara, katanya tegas. Jamalludin sendiri langsung memimpin kelompok II. Tanpa peta gunung, kompas, dan pakaian yang memadai, lima kelompok itu segera berangkat. Mereka mendaki lewat Mojosemi, "pintu belakang" Lawu yang sangat berbahaya. Bukit curam dan lereng terjal menghadang mereka. Jalan yang mudah adalah lewat Cemorosewu. Jalur ini pada bulan Suro dipenuhi ribuan orang yang akan mencapai Puncak Argodalem di ketinggian 2.922 meter. Di puncak itu ada bangunan yang konon "petilasan" Raden Brawijaya V. Tapi, semangat anak muda menentukan lain. Mereka sengaja mencari jalan yang belum pernah ditempuh orang. Bahkan cerita Jamalludin, yang akhirnya selamat, jika satu kelompok menemukan jejak kelompok lain maka jalan lain harus dicari. Sayangnya, semangat muda yang positif ini tak ditunjang pengetahuan dan persiapan yang memadai. Para santri itu hanya berpakaian seperti sehari-hari, tanpa jaket atau pakaian tebal lainnya. Sampai Selasa malam, baru kelompok I, IV, dan V yang tiba di tenda. Kelompok II justru dipimpin Jamalludin sendiri -- dan kelompok III yang dipimpin Abdul Wahab terhadang pekatnya malam dan hutan. Para santri itu mulai cemas. Kelompok II baru tiba di kemah pada Rabu pagi dalam kondisi fisik buruk. "Kami tersesat," tutur Jamalludin. Agak mengherankan. Sebab, kalau mereka mendaki 2-3 jam seperti rencana dan kemudian kembali ke tenda, hari tentu belum gelap. Namun, ketika berhasil menaklukkan bukit yang satu, mereka tergoda merambah bukit lain. Tak sadar, hari mulai malam, dan jalan berkabut tebal. Rabu tengah hari, enam orang anggota kelompok III -- dari 24 orang -- muncul meminta pertolongan. Anggota kelompok III lainnya dalam keadaan kritis, kelaparan dan kedinginan. Sebelumnya, kelompok pimpinan Abdul Wahab itu juga menerima tiga orang utusan. Tapi, entah tersesat di mana, tak sampai ke tenda. Empat belas orang segera berangkat, membawa bekal makanan dan obat-obatan. Bisa diduga, rombongan pemberi bantuan juga telantar sampai di puncak Banyu Urip di ketinggian 2.929 meter. Sejak Rabu sore saja, delapan orang santri sudah tanpa nyawa. Lainnya sekarat. Malam itu mereka menempuh risiko menembus gelap dan menuruni bukitbukit Lawu. Lagi-lagi, rombongan tersesat. Sekitar pukul 03.00 subuh, tiga santri menyusul wafat. Hanya seorang santri selamat. Pukul 08.00 pagi, rombongan itu sarnpai di tenda, membawa berita duka. Barulah Jamalludin melapor ke Perhutani. Lantas, berdatanganlah bantuan. Polres dan Kodim Magetan, pecinta alam dari UNS Solo, dari Yogya dan Surabaya dibantu masyarakat ikut mencari. Tak terlalu sulit menemukan 11 jenazah itu bagi tim SAR gabungan ABRI dan pencinta alam itu. "Kami tinggal mengambil, tidak lagi mencari," ujar Hendrick Leo Tumbelaka dari Kantor Koordinasi Resque II Juanda, Surabaya. Empat mayat lainnya ditemukan di lokasi berbeda. Seluruhnya, 15 santri tewas. Dalam kepercayaan penduduk, para santri itu lewat Puncak Wadhal, yang konon tak boleh dirambah. Dalam bahasa Jawa, wadhal berarti korban. Tapi, "Kami tak percaya itu. Mereka tewas karena kehabisan oksigen dan lapar," ujar sang pimpinan, Jamalludin. Sampai Senin pekan ini, dua santri, yang masih dicari, dapat ditemukan. Tapi seorang tewas, seorang lagi masih hidup, ditemukan di jurang Perahu, 1 km di atas Cemoro Sewu. Toriq Hadad, Budiono Darsono (Surabaya), Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini