"HADIRIN yang berbahagia. Marilah terlebih dahulu kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah subhanahu wata'ala ...." Bersongkok tinggi -- seperti ketika menjadi Menteri Agama -- Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat H. Alamsjah Ratu Perwiranegara memulai sambutannya di hadapan hadirin yang kehanyakan keturunan Cina. Di Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu lalu, PITI (Pembina Iman Tauhid Indonesia) memulai musyawarah nasionalnya. PITI bermunas? Ini memang pertama, di usianya 24 tahun. Selama ini, organisasi itu berlangsung begitu saja. Pemilihan ketuanya pun cukup dengan kesepakatan, dan penunjukan oleh pejabat. Misalnya, ketika Yusuf Hamka mengundurkan diri April lalu, Menteri Alamsjah lalu menunjuk Satibi Darwis menjadi penggantinya. Tapi apa ya mau terus begitu? Padahal, PITI sudah mencatatkan diri ke Departemen Dalam Negeri sebagai organisasi massa, pertengahan tahun ini. Banyak yang harus dibenahi PITI. Dewan pimpinan daerah (DPD) organisasi itu baru ada di 21 provinsi. Itu pun baru terbentuk. DPD Jawa Timur, misalnya, baru terbentuk empat hari menjelang munas. Sedang di Jawa Tengah, PITI baru ada di 4 kota. Maka, menurut Usman Effendy -- panitia pelaksana, "Munas ini memang dimaksudkan untuk konsolidasi." Selama ini, organisasi tadi dianggap mandek. Di kalangan muslim keturunan Cina pun, PITI -- yang semula singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia -- masih dicurigai: Jangan-jangan organisasi ini akan membawa anggotanya ke arah politik. Seperti yang pernah dilakukan Baperki dulu. Karena itulah Satibi segera menjelaskan "PITI adalah organisasi dakwah, bukan organisasi politik." Satibi lalu mengajak anggotanya untuk memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Semua setuju. Tapi masih ada tambahannya. Misalnya dari Mohamad Amied, Direktur PT Asia Permai Electronics, produsen Grundig. "Kita mesti mengerti politik juga. Kalau tak tahu gejolak dunia, matilah bisnis kita," ujarnya. Seusai munas, PITI memang berniat melangkah ke depan. Mereka, rencananya, tak hanya memusatkan perhatian pada soal pembauran -- tujuan organisasi itu ketika pertama didirikan. Tapi juga hendak mengarah pada dakwah bil hal -- berdakwah dengan berbuat nyata. Yang memungkinkan adalah bidang ekonomi dan pendidikan. Masalah yang dihadapi muslim keturunan Cina di Indonesia pun dibahas. Komisi B misalnya, menjawab soal pemakaman Cina muslim. Di Pontianak, banyak di antara mereka yang tetap dimakamkan secara Tionghoa. Itu dinilai salah. Seharusnya mereka dimakamkan secara Islam. Pembicaraan di munas juga menghendaki ditingkatkannya hubungan dagang sesama mushm, tanpa mengenal ras. Dakwah bil hal agaknya telah dijalankan para anggota PITI. Walaupun tak selalu mengatasnamakan organisasi itu. Di Palembang, PITI telah mendirikan pesantren Asshidiqiyah. Di Jakarta, Mas Agung telah membangun Pusat Informasi Islam senilai Rp 1,5 milyar. Di Jawa Tengah, mereka mendirikan majelis taklim. Walaupun nama yang dipakainya bukan PITI, melainkan Koordinator Lembaga-lembaga Dakwah Islamiyah Keluarga Tionghoa Muslim (KLDIKTM). Ang Tjwan Giok, yang kini lebih sering dipanggil Nitya Subarkah, bahkan memilih berdakwah di Kramat Tunggak Jakarta Utara. Ketua RW itu mengelola majelis taklim Al-Munawaroh, tak jauh dari kompleks pelacuran. Sekarang, ia mengajar ngaji 280 anak-anak di musala. Mengapa hanya anak-anak? "Mengajak orang dewasa susah. Kita pilih anak-anak saja, karena mereka bisa dibina," ujarnya. Orang sekampungnya menilai Subarkah ustad. Maka, jangan heran bila melihat anak-anak setempat sering menciumi tangannya. Dalam seminar PITI di IAIN Jakarta bulan lalu, Subarkah mengungkap soal konfusianisme, yang nilai-nilainya banyak tertanam pada keturunan Tionghoa. Menurut Subarkah, etika itu dianggap sebagai sumber kemajuan bagi para pengusaha di negara industri baru Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, Singapura, di samping Jepang. Diakumya, untuk kehidupan duniawl, konfusianisme memadai. Tapi untuk soal akhirat, belum. "Ajarannya sebatas tentang manusia yang telah jadi. Ia tak bicara soal awal dan pascakehidupan," katanya. "Saya mengharapkan agar hasil munas ini," sambut Satibi, PITI mampu dalam "memadukan kegiatan dakwah bil lisan dengan kegiatan dakwah bil hal. Persis dengan apa yang Mas Agung ucapkan, "Kita berdakwah lewat kerja nyata, bukan omong melulu." Akur, Mas. Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini