Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menuturkan sentilan humornya dalam sidang lanjutan sengketa Pemilihan Legislatif atau sengketa Pileg DPR pada Selasa, 7 Mei 2024. Saldi menyindir perselisihan antara Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Partai Nasional Demokrat (NasDem), yang menjadi bahan perdebatan dalam sidang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini NasDem versus PAN ya. Ini dari pilpres juga sudah berbeda kok," kelakar Saldi dalam Sidang Panel 2 di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun PAN dalam gelaran Pilpres 2024 merupakan pendukung Prabowo-Gibran dan NasDem yang pada saat itu mengusung Anies-Muhaimin. Saat ini, mereka bersengketa memperebutkan kursi DPR di Dapil Jawa Tengah X.
PAN menyoroti 2.055 suara tidak sah di 7 TPS di 6 desa di Kabupaten Pemalang karena masalah daftar pemilih yang memengaruhi peringkat mereka di dapil tersebut. Mereka mendapat 121.128 suara, sedangkan PKS 122.066 dan NasDem 123.092 suara. PAN mengajukan gugatan ke MK, yang jika dikabulkan dapat mempengaruhi suara NasDem.
Kuasa hukum NasDem, Ardyan, menegaskan bahwa PAN tidak pernah melakukan langkah hukum terhadap pelanggaran yang mereka klaim kepada KPU atau Bawaslu Kabupaten Pemalang.
Nasdem pun meminta agar permohonan PAN tidak diterima oleh MK dalam eksepsinya, dan meminta MK menolak seluruh permohonan PAN dalam pokok perkara, serta mengakui kebenaran perolehan suara yang telah ditetapkan oleh KPU RI dalam Surat Keputusan Nomor 360 Tahun 2024.
Saldi mencatat bahwa perselisihan antara PAN dan Nasdem untuk kursi keenam ini, menurut dia, di luar pola karena biasanya pihak bersengketa berlomba-lomba untuk kursi terakhir (ketujuh). “Kursi ketujuhnya tidak dipersoalkan, yang dipersoalkan kursi keenam. Nanti kita buktikan, kita akan dengarkan keterangan semuanya," kata Saldi.
Kuasa hukum KPU, Yubi Supriatna, juga menyatakan pendapat serupa dengan NasDem. Dia meminta agar MK menolak permohonan PAN karena dianggap tidak memiliki legal standing dan gugatan tersebut juga dianggap kabur atau tidak jelas. KPU juga menyebut persoalan daftar pemilih bukan kewenangan MK.