HUBUNGAN antara Pemerintah dan sebagian umat Islam selalu mengalami pasang surut. Pernah beberapa kali terjadi bentrokan dan perselisihan. Kini mesra, dan banyak yang berharap kemesraan itu semoga tak cepat berlalu. Atau malah semakin kekal. Dalam pasang surut itu, tentu saja ada di antara mereka yang pernah berselisih pandang itu yang mengalami "luka". Bagaimana pendapat mereka tentang situasi hubungan itu sekarang? Berikut pendapat berapa di antara mereka: R.A. Sahirul Alim, 53 tahun, Dosen Fakultas Matematika dan llmu Pengetahuan Alam UGM. Pada Maret 1985 ia ditahan Kopkamtib selama 13 bulan lebih 13 hari, di rumah tahanan Salemba, Jakarta. Waktu itu ia diduga punya hubungan akrab dengan orang- orang yang dianggap membahayakan negara. Saya melihat merenggangnya hubungan Pemerintah dengan umat Islam sebagai akibat kurangnya pemahaman umat Islam terhadap masalah-masalah kenegaraan, atau sebaliknya, pemahaman Pemerintah terhadap umat Islam juga kurang. Kesalahpahaman ini menjadi konflik hebat pada masa demokrasi parlementer antara PSI, Masyumi, PNI, dan PKI. Umat Islam yang sudah menjalankan syariat dengan baik kurang paham tentang konsep negara dalam pengertian zaman modern, sebab mereka masih berpikir tentang konsep negara seperti di zaman khulafaurasidin. Padahal, kehidupan bernegara sudah sedemikian kompleks sehingga tidak mungkin lagi dijawab dengan konsep negara ala khalifah yang hanya sesuai dengan tuntutan zaman itu. Kesalahpahaman itu kemudian berkembang ke arah mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Kecurigaan Pemerintah bersumber dari pandangan yang menyebut umat Islam belum ikhlas menerima Pancasila sebagai dasar negara. Kecurigaan itu diperkuat dengan hasil interogasi terhadap kelompok militan yang menghasilkan cap "GPK", seperti di Aceh yang memberi kesan mereka tidak bisa menerima Pancasila dan masih ada aspirasi mendirikan negara Islam. Kesalahpahaman Pemerintah itu over dosis. Suatu masalah yang sebenarnya masih bisa diselesaikan dengan sapu lidi, tapi karena kesalahpahaman yang erlebihan, penyelesaiannya dilakukan dengan bedil. Pemerintah sebaiknya diingatkan, cara-cara seperti itu tak perlu dilakukan lagi. Karena sebenarnya Pemerintah mampu mencegah sedini mungkin tindakan ekstrem dan militan dari kelompok Islam yang belum menerima Pancasila. Dalam tahun 1991 ini, saya melihat rasa saling curiga antara umat Islam dan Pemerintah sudah selesai. Apalagi dengan adanya ICMI, birokrat yang menjadi anggotanya bisa menjadi jembatan yang sangat hermanfaat untuk menghindarkan kesalahpahaman itu. Jadi, kalaupun masih ada yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila, itu merupakan sandiwara yang dilakukan oleh oknum yang dengan sengaja ingin mengacaukan hubungan baik umat Islam dengan Pemerintah. M. Imududdin Abdulrahim, 60 tahun, pemimpin Yayasan Pembina Sari Insan dan anggota dewan pakar ICMI. Wajar Pemerintah sekarang memberi angin segar pada umat Islam karena orang itu kan berproses. Dulu, barangkali umat Islam mengalami ketakutan. Ketika mengadakan latihan mujahid dakwah (LMD), misalnya, saya dicurigai penguasa. Ini karena waktu itu pengetahuan oknum pemerintah tentang Islam minim sekali. Pemerintah waktu itu alergi dengan istilah jihad. Padahal, jihad itu tidak selamanya berarti perang. Jihad itu berjuang. Hidup ini berjuang. Begitulah, LMD di Masjid Salman terus dicurigai. Padahal, saya tidak memberikan di luar Quran. Barangkali karena ilustrasi ayat Quran dirasakan seperti menyindir penguasa. Padahal, saya tidak bermaksud apa-apa. Tapi akhirnya saya sempat ditahan 14 bulan di penjara Nirbaya. Kejadian dulu itu karena kesalahpahaman oknum-oknum pemerintah yang malas berpikir karena sudah berkuasa. Kini memang suasananya sudah kondusif. Sekarang ini tidak perlu lagi dikotomi penguasa dan rakyat, karena tidak ada batas pemerintah dan umat. Pemerintah itu kan Islam juga. Apalagi sekarang Pak Harto sudah haji. Setelah diumumkan Pak Harto naik haji, sebagai pribadi saya terima ucapan itu sebagai sesuatu yang ikhlas. Saat ini saya dengan teman-teman mendirikan ICMI. Alhamdulilah, kalau ada yang menilai ICMI punya dampak politik. Saya termasuk orang yang punya keyakinan bahwa Islam tidak terlepas dari politik, tapi politik itu bukan yang utama. Tujuan hidup seorang muslim adalah mencari ridla Allah. Yunan Nusution, 78 tahun, Wakil Ketua Dewan Dakwah Indonesia, mantan Sekjen Masyumi. Sempat mendekam empat tahun dalam penjara pada masa Orla, dan dibebaskan pada awal Orba. Sebagai muslim, setiap ada orang Islam yang naik haji kita wajib mendoakan, semoga Allah memberikan haji yang mabrur. Jadi, terhadap Presiden pun kita mendoakan. Bagaimana ciri haji yang mabrur, menurut hadis ada dua ciri: keadaannya akan lebih baik dari sebelumnya, dan dia menjadi panutan di segala lingkungan. Adanya doa itu saya rasa sudah merupakan dukungan. Dalam suatu negara demokrasi, perbedaan adalah wajar asal proporsional. Jangan sampai menimbulkan akibat yang kurang baik. Yang penting toleransi dan wawasan yang lebih luas. Itu yang dikehendaki oleh Islam. Pendekatan harus dilakukan oleh semua pihak. Demokrasi harus ditingkatkan dalam segala hal. Sekarang tampaknya sudah ada saling pengertian. Dalam Islam kita punya tauhid dan akidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara sesama manusia. Itu yang menjadi pegangan kita. Kalau ada perbedaan, dalam negara demokrasi setiap pemikiran harus dihargai. Bagi orang Islam, dalam surat juga disebutkan, "sesungguhnya hidup dan matiku untuk mencari keridlaan Allah". Dalam segala kegiatannya umat Islam ingin mencari cita Illahi dengan melakukan kegiatan yang diridlai Allah. Jadi, kita hanya ingin negara yang diridlai Allah. Lukman Harun, 57 tahun, mantan Sekretaris Partai Muslimin Indonesia yang digulingkan H.J. Naro. Juga mantan Ketua PP Muhammadiyah. Pada permulaan Orde Baru, hubungan antara Islam dan Pemerintah baik sekali. Lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 1968 atas persetujuan Orde Baru. Semula partai ini didirikan untuk menampung aspirasi ormas-ormas Islam yang dulu tergabung dalam Masyumi. Karena Pemerintah tidak menghendaki rehabilitasi Masyumi yang dibubarkan Bung Karno pada 1960, orang-orang Masyumi tidak boleh memimpin Parmusi. Syarat itu kita sepakati. Tapi, ketika kongres pertama di Malang pada 1968, forum memilih Mohamad Roem yang dulu tokoh Masyumi. Kita lupa pada pesan Pak Harto. Datanglah telegram dari Jakarta yang tidak membenarkan kepengurusan terpilih itu. Akhirnya, Pak Djarnawi Hadikusumo dipercaya menjadi ketua umum dan saya menjadi sekjen. Tetapi, toh kecurigaan Pemerintah tidak berhenti hanya sampai di situ karena memang sejak 1970 timbul perbedaan pendapat. Ketika itu Pemerintah masih mencurigai Islam sebagai kekuatan yang bisa mengancam Pancasila. Situasi itu berlangsung hingga 1984. Tetapi, setelah Pancasila disepakati sebagai asas tunggal bagi orpol dan ormas, kecurigaan terhadap umat Islam tidak ada lagi. Kemudian timbul kerja sama yang baik antara Pemerintah dan kelompok Islam. Saat ini, walau partai Islam tidak ada, aspirasi Islam terus diperjuangkan. Dan hasilnya memang menggembirakan. Misalnya, dengan adanya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA), UU Pendidikan Nasional, yang diteken Pak Harto sebelum naik haji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini