Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

NU, Satpam Yang Bopeng ?

Konperensi wilayah NU ja-tim di situbondo, dihadiri utusan 44 cabang. dalam mengambil keputusan NU berlandaskan iman & islam & bermaksud sebagai kekuatan kontrol sosial. Semangat khittah 1926 tercermin.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH pertemuan jam'iyyah NU pertama setelah organisasi Islam terbesar ini kembali ke Khittah 1926, sebagai organisasi sosial keagamaan, yang diputuskan dalam Muktamar Situbondo empat tahun lalu. Berlangsung pekan lalu di gedung Yayasan Pendidikan Ma'arif, Situbondo, Konperensi Wilayah NU Ja-Tim selama tiga hari pekan lalu itu dihadiri utusan 44 cabang. Dalam pidato pembukaannya, Ketua PB NU Abdurrahman Wahid menyatakan, dalam mengambil keputusan NU berlandaskan iman dan Islam. Tapi aspirasi keagamaan harus bertopang pada wawasan kebangsaan yang berfalsafah Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun, dalam pelaksanaannya jangan sekali-kali agama dirugikan. Ia lantas memperingatkan, sekali aspirasi agama dirugikan, akan memberi pukulan balik yang dahsyat seperti di Iran dan Pakistan. Itu tidak berarti NU bermaksud mencampuri urusan politik praktis, tapi sekadar sebagai satpam. "Tidak ikut mengurusi pabrik tapi menjaga keamanan," katanya. Maksudnya, sebagai kekuatan kontrol sosial. Tapi menurut Yusuf Hasyim, Rais Tsani Syuriah PB NU, petunjuk pelaksanaan kembalinya NU ke Khittah 1926 belum lengkap. "Ada sebagian yang jalan tapi nggak pas, sebagian lagi ada yang meraba-raba. Malah ada yang bilang disuruh kembali ke khittah tapi yang dilakukan justru menyimpang dari khittah. Kalau begini, NU bisa bopeng," katanya. Sejak NU menyatakan tidak lagi berpolitik praktis, memang muncul perbedaanpendapat di kalangan tokoh-tokohnya. Mahbub Djunaidi misalnya, justru merasa perlu NU kembali berpolitik. Tapi menurut Abdurrahman, keputusan mengenai hal itu sudah diambil. "Tunggulah saatnya nanti menilai pertanggungawaban dalam muktamar," katanya. Ia mengakui, pemahaman terhadap Khittah 1926 tidak sama, karena warga NU sangat heterogen. Karena itu, meski sudah diputuskan, pelaksanaanya tidak dipaksakan. Dalam merincinya, muncul perbedaan pendapat, misalnya mana yang didahulukan. Lalu dibuat kerja rintisan. Ada yang memilih rumah yatim, sekolah, koperasi. Setelah jalan sekian lama, diuji coba. Kalau hasilnya baik dijadikan standar. "Jadi, kerja khittah itu lama sekali, 15 sampai 20 tahun," katanya. Saat ini NU memiliki sekitar 21.000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Baik berupa lembaga pendidikan formal maupun pondok pesantren tradisional yang mutunya harus terusmenerus ditingkatkan. Kini orang NU agaknya mulai lebih menyukai kegiatan kemasyarakatan. Ada misalnya yang membentuk LKK (Lembaga Kemaslahatan Keluarga) yang antara lain mengurus KB. Bahkan ada yang membentuk organisasi pencak silat "Pagar Nusa". Adapun konperwil NU Ja-Tim setidaknya telah mencerminkan semangat Khittah 1926. Tiga di antara lima pengurus Tanfidziyah NU Ja-Tim yang terpilih memang aktif dalam lembaga kemasyarakatan. Mereka itu: K.H. Drs. Tolchah Hasan (wakil ketua I), purek I Universitas Islam Malang dr. H. Muhammad Th. (wakil ketua III) wakil direktur Rumah Sakit Islam Surabaya, H. Zaki Ghufron (wakil ketua IV), ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya. Hal lain yang menarik: beberapa tokoh yang diunggulkan sebagai pengurus syuriah dan tanfidziyah tidak bersedia dicalonkan. Menurut Wakil Ketua Tanfidziyah PB NU, H.M. Munasir, mereka menyadari beratnya menjadi pengurus NU -- yang setelah kembali ke Khittah 1926, "harus benarbenar murni lillahi ta'ala (hanya karena Allah semata)." "Ketika NU masih jadi parpol dulu sering terjadi rebutan dalam pemilihan pengurus. Karena mereka berharap bisa terangkat di arena politik. Tapi sekarang ini benar-benar pengabdian, unsur keikhlasannya harus tinggi," katanya. B.S.H., Wahyu Muryadi, Herry Mohamad, Riza Sofyat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus