PEJABAT pemerintah itu bak wayang. Kalau tugasnya di panggung sudah selesai, ia mesti masuk kotak. Maka, sebaiknya begitu seorang pejabat tak lagi memegang jabatannya, dalam sisa hidupnya ia harus tetap loyal pada bangsa dan negara, selain mencari makan dengan baik. Begitu pandangan Menko Polkam Sudomo, yang disampaikannya menjawab pertanyaan wartawan seusai pelantikan pejabat eselon I di Kantor Menko Polkam Sabtu pekan lalu. "Saya eks ABRI. Walaupun tidak ABRI lagi, disiplin itu tetap melekat," katanya. Ia lanjutkan, "Bekas pejabat harus tetap memiliki mental pejuang. Pejuang itu tidak harus ngomong dan minta pekerjaan, dan tidak berteriak-teriak sambil membusungkan dada dan mengaku berjasa." Bila bekas pejabat bermental kurang baik, kata Sudomo, bisa terkena post-power syndrome, sindrom yang banyak menyerang orang-orang yang sudah tak punya kekuasaan. Mereka ini, katanya, bisa dimanfaatkan komunis. Ia ingatkan bagaimana Chiang Kai Sek dikalahkan dan terusir dari Daratan Cina, karena bekas tentaranya yang tidak dipergunakan lagi dipakai oleh Mao Zedong. "Sejarah itu harus kita ingat," ujarnya. Memang, tuturnya lagi, di setiap negara selalu ada dissident, orang yang tidak setuju pada beleid pemerintah. Di sini pun hal itu diperbolehkan. "Tapi mereka jangan melakukan gerakan macam-macam yang bisa membahayakan negara dan bangsa," ujar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan yang pernah menjadi Pangkopkamtib itu. Adakah para pejabat di sini yang menunjukkan tanda-tanda tertentu sampai Sudomo perlu mencanangkan peringatan seperti itu? "Saya dari pengalaman saja. 'Kan di negara mana saja akan ada dissident," kata Sudomo kepada TEMPO. Siapa bekas pejabat yang ia maksudkan. "Saya hanya mengingatkan bahwa itu bisa dimanfaatkan untuk subversif. Mungkin ada yang membilangi saya ini melihat hantu di siang bolong. Tidak. Saya lihat orang ini 'kan panutan. Jadi, kalau dia ngomong, tentunya masih dipercaya," katanya sembari tersenyum. Sejumlah bekas pejabat tinggi maupun menteri yang dihubungi TEMPO menolak mengomentari pernyataan Sudomo itu. "Saya tidak mau memberi komentar sebelum bertemu dengan Pak Domo," kata seorang bekas pejabat yang sering bicara terbuka dalam pertemuan-pertemuan. Seorang bekas menteri yang juga suka bicara blak-blakan hanya berkata, "No comment." Sedang menteri yang lain sempat memberikan komentar menanggapi Sudomo, tapi kemudian mencabut kembali keterangannya. "Terima kasih, kamu masih ingat saya," kata bekas pejabat tinggi yang enggan disebutkan namanya itu. Sejak Orde Baru ada puluhan bekas menteri, belum termasuk beberapa pejabat tinggl, yang tidak lagi memegang jabatan. Tapi banyak di antara mereka tampaknya melakonkan peranannya sebagai bekas pejabat negara tanpa terjerembab ke dalam apa yang dimaksudkan Sudomo. Bekas Menteri Penerangan Boediardjo, misalnya, sekarang menyibukkan diri mengurus wayang dan dalang. Profesor Sumitro Djojohadikusumo, bekas menteri perdagangan, menjadi seorang pengamat ekonomi yang amat berwibawa. Abdul Gafur, Menpora dalam Kabinet Pembangunan IV yang lalu. sekarang menjadi pemimpin umum harian Pelita. Tapi ada juga beberapa pejabat tinggi atau bekas menteri yang bergabung di dalam kelompok Petisi 50, yang dikenal sebagai kelompok tak sehaluan dengan pemerintah. Malah ada bekas pejabat yang terpaksa mendekam dalam penjara. Sebagai contohnya, H.M. Sanusi. Menteri Perindustrian Tekstil dan Kerajinan Rakyat (1966-68) dan anggota DPR (1971-77) itu dihukum 19 tahun penjara. Ia divonis melakukan tindak pidana subversi: turut merencanakan dan membiayai pengeboman kantor Bank Central Asia dan pusat pertokoan Metro, di Glodok. Yang lain, H.R. Dharsono, juga sedang berada di penjara. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonisnya 10 tahun penjara, Januari 1986. Bekas Pangdam Siliwangi, duta besar, dan sekjen ASEAN ini dipersalahkan menghasut pada serangkaian rapat yang diadakan setelah peristiwa Tanjungpriok, 1984. Kegiatannya itu dihubungkan dengan peledakan bom di BCA dan Glodok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini