RESMINYA, Soesilo Soedarman mengunjungi Australia untuk menyemarakkan "Hari Indonesia" di Expo Brisbane, yang jatuh pada Kamis pekan lalu. Tapi kedatangan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Indonesia ini ternyata mempunyai arti lain bagi Australia. Itu bisa dilihat dari banyaknya para pejabat Negeri Kanguru itu yang bertemu dengan Soesilo. Sesampai di Brisbane (yang terletak di Negara Bagian Queensland), 23 Agustus yang lalu, ia disambut oleh Gubernur Jenderal Sir Ninian Stephen, ditemani oleh Menteri Lingkungan Pemeliharaan Alam dan Pariwisata Australia, G.H. Hontz. Siangnya ia diterima oleh Menteri Utama negara bagian itu, Mike Ahorn. Pada "Hari Indonesia" di Expo yang diikuti 52 negara serta 20 perusahaan internasional itu, tampak hadir Komisioner Jenderal Sir Edward William dan ketua Expo, Sir Lew Edwards. Hadir pula Menteri Transportasi dan Komunikasi, Gareth Evans, yang akan menggantikan Bill Hayden sebagai Menteri Luar Negeri Australia. Semua itu memang bisa dipahami. Soesilo Soedarman merupakan menteri Indonesia pertama yang berkunjung ke Australia sejak hubungan kedua negara mendingin sebagai akibat tulisan wartawan David Jenkins di koran Australia, The Sydney Morning Herald, April 1986. Artikel itu oleh Jakarta dinilai sangat menghina Kepala Negara RI, dan kontan membuat hubungan kedua negara guncang. Beberapa pejabat tinggi RI yang pada waktu itu merencanakan mengunjungi Australia, antara lain Menristek B.J. Habibie, langsung membatalkan rencana. Sejumlah turis Australia terhambat masuk ke Bali dan daerah wisata Indonesia lainnya, sebab ketentuan bebas visa bagi turis negeri tetangga itu ditangguhkan secara mendadak. Wartawan Australia gagal pula meliput kunjungan Presiden AS Ronald Reagan di Bali, April itu, sebab mereka semua ditolak masuk ke Indonesia. Pelan-pelan gejolak amarah mendingin. Keadaan pun mulai membaik. Australia selalu berusaha agar Jakarta mengizinkan kembali wartawannya masuk Indonesia. Mei 1987, misalnya, Menlu Australia Bill Hayden mengunjungi Jakarta. Dan bulan berikutnya, isyarat bahwa wartawan Australia akan kembali menginjak Jakarta terlihat ketika David Hill, direktur Radio Australia (ABC), berkunjung ke Jakarta. Dan betul saja. Oktober 1987, James Dallmeyer, wartawan Australian Associated Press (AAP), kantor berita yang berpusat di Sydney, mendapat izin bertugas di Jakarta. Sejak itu bisa disebut hubungan kedua negara membaik lagi. Sembilan wartawan Australia diizinkan meliput perayaan hari Australia dan Selandia Baru (ANZAC) yang dilangsungkan di Ambon Mei tahun ini. Pada bulan yang sama, wartawan senior Australia, Peter Hasting, diperkenankan datang ke Jakarta. Padahal, sebelumnya, selama hampir tiga tahun, Jakarta tertutup baginya. Memang pada bulan yang sama, sebetulnya ada insiden yang bisa mengganggu suasana. Tiga wartawan TVRI yang meliput Expo Brisbane meninggalkan sebuah acara makan siang di Press Club di Darwin, yang diselenggarakan persatuan wartawan di kota itu. Setelah itu mereka segera pulang ke Jakarta, tiga hari lebih cepat dari rencana. Soalnya, ketika wartawan Indonesia itu memasuki Press Club, ternyata mereka disambut oleh poster-poster drama Death in Baligo, yang kebetulan akan dipergelarkan di kota itu. Padahal, itulah drama yang berkisah tentang tewasnya lima wartawan Australia di Baligo, Timor Timur, 1975. Tapi rupanya soal itu tak punya ekor apa-apa. Buktinya, Soesilo Soedarman betah berada di negeri tetangga itu sampai enam hari. "Saya percaya bahwa mulai sekarang Australia dan Indonesia harus melihat ke depan bukan ke belakang. Kita harus memupuk kerja sama dan saling pengertian berdasarkan good will," kata Soesilo. Kepada Pjs. Menteri Luar Negeri Australia, Malcolm Dufmy, Soesilo berjanji akan berbicara dengan rekannya, para menteri Indonesia, agar mereka mengunjungi Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini