Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Binsar Ricky Sanders Simarmata menyurati Pemerintah Kota Medan pada Rabu, 20 November lalu. Ia memprotes pekerjaan proyek perbaikan drainase di Jalan Galang dan Wijaya, Medan, yang sedang berjalan. “Proyek itu seharusnya milik saya, tapi malah dikerjakan perusahaan lain,” kata Binsar kepada Tempo, Jumat, 22 November lalu. Ia menembuskan surat itu ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara.
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemerintah Kota Medan mencantumkan CV Tavia Anugerah Cemerlang yang dimiliki Binsar sebagai pemenang proyek perbaikan drainase di Jalan Galang dan Wijaya. Nilai proyek mencapai Rp 2,1 miliar. Binsar mengetahui ada pihak yang mengerjakan proyek itu setelah ia mendapatkan informasi dari koleganya pada pertengahan November lalu.
LPSE Kota Medan mengumumkan kemenangan CV Tavia pada 11 September 2019. Namun Binsar tak pernah menerima surat penunjukan penyedia barang/jasa dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Medan, yang merupakan bekal untuk mengerjakan proyek. “Kami sudah menyurati panitia agar mengeluarkan surat itu,” ucapnya.
Tempo mengecek kedua proyek itu pada Kamis, 21 November lalu. Timbunan tanah hampir menutupi badan Jalan Galang, Medan Perjuangan. Puluhan pekerja sedang membeton parit sedalam 1,5 meter itu. Kesibukan serupa berlangsung di Jalan Wijaya, Medan Helvetia. Timbunan tanah juga menggunung di sisi jalan sehingga menyendat laju kendaraan yang melintas. Jarak antara Jalan Galang dan Wijaya sekitar 8 kilometer.
Tak ada plang pengumuman pelaksanaan proyek di sana. Mandor proyek di Jalan Wijaya, Syamsul, 40 tahun, mengatakan pembetonan drainase dimulai pada awal November. Ia tak mengetahui nama perusahaan yang merekrutnya. “Kami hanya melanjutkan pengerjaan proyek,” ujarnya, Kamis, 21 November lalu.
Binsar mengatakan panitia tender tak pernah mengabarkan pergantian pemenang tender. Ia mencari informasi soal perusahaan yang mengambil proyek itu kepada sejumlah orang. “Saya mendengar pelaksananya adalah bagian dari Grup Saka,” katanya.
Grup Saka merujuk pada Hotel Saka di Medan. Pemiliknya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara dari Partai Golkar, Akbar Himawan Buchari. Ia Bendahara Golkar Sumatera Utara dan Bendahara Tim Kampanye Daerah Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Sumatera Utara pada pemilihan presiden lalu. Pria 31 tahun ini juga memiliki perusahaan transportasi. Beberapa tahun terakhir, Akbar merambah sektor lain, seperti konstruksi dan pertambangan.
Nama Akbar mencuat dalam suap Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan Isa Ansyari kepada Wali Kota Tengku Dzulmi Eldin. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Isa dan Eldin dalam operasi tangkap tangan, Selasa, 15 Oktober lalu. Enam hari kemudian, KPK menggeledah rumah Akbar di Jalan D.I. Panjaitan, Medan. Petugas tak menemukan si pemilik rumah. “Saat tim mau menggeledah, rumah itu sudah kosong,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.
KPK mencegah Akbar bepergian ke luar negeri sejak 5 November lalu. Penyidik memanggil Akbar pada Kamis, 14 November lalu, untuk diperiksa sebagai saksi. Selain soal suap wali kota, KPK menduga sejumlah pengusaha terlibat jual-beli proyek di Dinas Pekerjaan Umum. “Kasus suap di Medan akan terus berkembang,” ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Jumat, 22 November lalu.
Akbar Himawan Buchari (bawah)./ facebook.com/ Akbar Himawan Buchari
WALI Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin tengah menjalani fisioterapi kaki di salah satu rumah sakit swasta di Medan saat KPK menangkapnya pada Selasa, 15 Oktober lalu. Malam itu, petugas KPK membawa Eldin dan ajudan bernama Aidiel Putra, yang menemaninya, ke Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan.
Sebelum membawa Eldin, KPK menangkap Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Medan Isa Ansyari di rumahnya. Penyidik mempertemukan keduanya di salah satu ruangan Polres-tabes Medan. Mereka tak membantah tuduhan penyidik. “Pak Wali Kota siap bertang-gung jawab,” ujar pengacara Dzulmi Eldin, Fadli Nasution, Selasa, 12 November lalu.
Eldin diduga meminta setoran dari berbagai instansi Pemerintah Kota Medan. Ia memerintahkan Kepala Subbagian Protokoler Syamsul Fitri Siregar menghubungi para kepala dinas karena membutuhkan uang untuk membayar utang perjalanan ke Ichikawa, Jepang, pada pertengahan Juli lalu. KPK menetapkan Eldin, Isa, dan Syamsul sebagai tersangka suap.
Kunjungan itu sebenarnya program resmi Pemerintah Kota Medan. Ichikawa dan Medan berstatus sister city sejak 30 tahun lalu. Dalam kunjungan dinas selama empat hari itu, Eldin memboyong istri dan kedua anaknya. Namun Eldin dan keluarganya memperpanjang kunjungan selama empat hari. “Mereka berwisata ke kebun lavender di kota lain di Jepang,” tutur Fadli.
Biaya perjalanan ke Jepang membengkak hingga Rp 1,4 miliar. Pemerintah Kota Medan hanya menganggarkan biaya perjalanan dinas Rp 500 juta.
Pengacara Isa Ansyari, Razman Nasution, mengatakan kliennya memberikan uang Rp 250 juta kepada Eldin. Isa, kata dia, berniat membantu Eldin. “Itu uang dari kantong pribadi,” ujar Razman.
Pengiriman uang berlangsung dua kali. Isa mentransfer Rp 200 juta ke rekening orang tua Aidiel Putra, ajudan Eldin, Senin, 14 Oktober lalu. Ia menyerahkan uang tunai Rp 50 juta lewat ajudan Eldin lain yang bernama Andika. Andika sempat berusaha kabur dengan menabrak personel KPK setelah menerima uang dari Isa.
Penyidik menduga pemberian Rp 250 juta itu bukan yang pertama. Eldin melantik Isa sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum pada Februari lalu. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebutkan Isa pernah menyetorkan Rp 80 juta kepada Eldin sepanjang Maret-September 2019. “Ia menyerahkan uang itu karena diangkat sebagai Kepala Dinas PU (Pekerjaan Umum),” ucap Saut.
Penyelidikan berkembang setelah KPK menemukan catatan berisi nama proyek dan pengusaha yang “bermitra” dengan Dinas Pekerjaan Umum. Penyidik menemukan catatan itu ketika menggeledah kantor Dinas Pekerjaan Umum pada Sabtu, 19 Oktober lalu. Menurut seorang penegak hukum, dalam catatan itu tertera nama Akbar Himawan, pengusaha yang disebut dekat dengan Eldin.
Dalam konferensi pers di Medan pada Oktober lalu, Akbar mengakui kedekatannya dengan Eldin. Akbar mengatakan ia menganggap Eldin sebagai orang tuanya. “Sama halnya dengan tokoh lain, kami sering diskusi bersama,” katanya seperti dikutip Gatra.com. “Tetapi saya harus katakan kedekatan saya tidak pernah untuk hal yang aneh-aneh.”
Seorang penegak hukum mengatakan Akbar beberapa kali memenangi tender proyek kakap di Dinas Pekerjaan Umum. Dia diduga memegang rekening penampung duit jual-beli proyek Dinas Pekerjaan Umum. Menurut seorang pengusaha dan seorang penegak hukum, untuk mendapatkan proyek di Dinas Pekerjaan Umum, calon penggarap proyek menyetor 5-15 persen dari nilai proyek ke rekening itu. Rekening yang sama pernah menerima transfer Rp 5,6 miliar dari Dinas Pekerjaan Umum.
Rumah Akbar Himawan Buchari di Jalan D.I. Panjaitan Nomor 142, Medan, 22 November 2019./ TEMPO/Riky Ferdianto
Melalui jawaban tertulis yang disampaikan lewat Razman Nasution, Isa Ansyari membantah bekerja sama dengan Akbar untuk “mengelola” proyek Dinas Pekerjaan Umum. “Saya hanya mengetahui dia ikut tender di Dinas PU menggunakan salah satu organisasi pengusaha,” tulis Isa. Tapi ia mengaku berteman dengan Akbar. Menurut Isa, keduanya berkenalan saat ia masih berstatus anggota staf Dinas Pekerjaan Umum pada 2017. Dalam jawaban tertulis tersebut juga Isa membantah menyuap Eldin.
Salah seorang pengusaha yang memenangi tender di Pemerintah Kota Medan adalah Yamitema Tirtajaya Laoly dengan bendera PT Kani Jaya Sentosa. Namanya tercantum dalam catatan milik Dinas Pekerjaan Umum. KPK memanggil Yamitema pada Senin, 18 November lalu. Yamitema mengaku mengenal Eldin, Isa, dan Akbar. Ia menolak menceritakan peran Akbar di Dinas Pekerjaan Umum.
Yamitema membantah jika disebut menyetorkan pelicin agar mendapatkan proyek. “Saya harus menjaga nama baik Bapak,” ujar putra Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly ini.
Itu sebabnya Yamitema mendukung Binsar Ricky Sanders Simarmata melaporkan kejanggalan proyek perbaikan drainase di Jalan Galang dan Wijaya ke penegak hukum. Ia mengaku kerap mendapat perlakuan yang sama ketika menggarap proyek pembangunan di Medan. “Saya sering melapor ke inspektorat,” katanya.
Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin setelah menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, 17 Oktober 2019./ ANTARA/M Risyal Hidayat
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Medan Arrahman Pane mengaku tak mengetahui persoalan dalam proyek di Jalan Galang dan Wijaya. Ia meminta waktu untuk mempelajari kasus tersebut. “Saya harus tanya dulu kepada dinas terkait,” ucapnya, Jumat, 22 November lalu.
Tempo mendatangi rumah Akbar di Jalan D.I. Panjaitan, Medan, pada Jumat, 22 November lalu, untuk meminta wawancara. Rumah itu kini kosong. Dua nomor telepon selulernya mati sejak KPK mengumumkan pencekalannya. Dalam konferensi pers di Medan pada Oktober lalu, Akbar mengaku tak mengetahui suap dari Isa kepada Eldin. Ia merasa prihatin terhadap kasus yang menjerat wali kota. “Saya berharap tidak ada lagi kasus serupa di masa mendatang,” ujarnya.
MUSTAFA SILALAHI, LINDA TRIANITA, RIKY FERDIANTO (MEDAN)
Setoran Dinas ke Pengusaha/ANTARA/M Risyal Hidayat, TEMPO/Imam Sukamto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo