KALAU ada pemilihan top newsmaker (pembuat berita) di antara
para Menteri Kabinet Pembangunan IV, salah satu yang terpilih
pastilah Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Sejak pelantikan kabinet
pertengahan Maret lalu, hampir tidak ada hari berlalu tanpa ada
berita mengenai berbagai langkah Sudomo.
Begitu dilantik, ia mengumumkan dibukanya Kotak Pos 555 untuk
menampung pengaduan dan keluhan para buruh. Lalu dibentuknya
Pusat Pengelolaan Krisis Masalah Ketenagakerjaan. Kemudian ia
menyarankan digantinya istilah buruh dengan karyawan atau
pekerja yang sempat menimbulkan "heboh" kecil.
Gebrakan Sudomo berikutnya: menghidupkan kembali Bursa
Kesempatan Kerja. Berbagai suratkabar pun mulai memberitakan
situasi lowongan kerja yang ada. Beruntun ia kemudian menemui
Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam dan Menteri P & K Nugroho
Notosusanto untuk mengkoordinasikan langkah dengan
departemennya. Hasilnya antara lain: padat karya akan
dilaksanakan juga di kota, dan para lulusan SLTP dan SLTA yang
tidak dapat melanjutkan pendidikannya akan dilatih secara gratis
di Balai Latihan Kerja (BLK).
Tak hanya itu. Pekan lalu, tatkala mengunjungi Sala, ia
mengumumkan rencananya untuk membentuk semacam Brigade
Pembangunan, terdiri dari lulusan SLTA yang telah dididik dalam
suatu pemusatan latihan tenaga kerja. "Saya akan mulai di
Jakarta dulu. Setelah pengorganisasiannya baik baru dikembangkan
ke daerah lain," ujarnya. Para pekerja perusahaan dianjurkannya
membentuk koperasi. Kesibukan berikutnya: pekan ini ia melantik
Dewan Pengupahan Nasional serta Dewan Produktivitas Nasional,
dua badan yang dihidupkan kembali.
Berbagai tindakannya itu dlsambut gembira. "Ini angin baru bagi
kami," kata Paiman, 50 tahun, ketua FBSI Sumatera Utara. "Dan
memang perlu". Tapi yang lebih penting adalah, "tindak
lanjutnya," ujar anggota F-KP DPRD Tingkat I Sum-Ut ini. Menurut
Paiman, salah satu akibat langkah Sudomo adalah bakal banyaknya
masalah perburuhan yang akan timbul. "Sebab selama ini banyak
kasus perburuhan yang tak muncul karena buruh takut bersuara,"
katanya.
Langkah Sudomo menghidupkan BLK secara fungsional juga dipuji.
"Investasi di bidang keahlian dan keterampilan ini merupakan
modal insani (human capital) yang memang masih kurang. Hingga
tepat sekali kalau Pak Domo memulai dengan usaha meningkatkan
produktivitas," kata Dr. Sudarsono, ahli ekonomi tenaga kerja
dari Fakultas Ekonomi UGM.
Di antara pekerja pun nama Sudomo segera populer. Ketika
mengunjungi pabrik Jamu Air Mancur di Sala pekan lalu, para
buruh wanita berebutan menyalami Sudomo.
Gaya dialog Sudomo dengan para buruh tetap segar, memikat,
seperti sewaktu menjabat Pangkopkamtib. Misalnya, ketika memberi
pengarahan pada rapat kerja Pusat Koperasi Buruh Indonesia
(Puskopbin) Jawa Tengah di Sala pekan lalu. Ia mendorong mereka
agar berbicara blak-blakan. "Saya memerlukan masukan, untuk
bagaimana nanti membuat kebijaksanaan tenaga kerja yang baik,"
katanya. "Tak usah ragu-ragu. Tak usah takut melihat menterinya
berbintang delapan di kiri dan kanan, dan bekas Pangkopkamtib,"
ujar Sudomo setengah berkelakar.
Yang menjadi pertanyaan: apakah "gaya" Sudomo ini akan berhasil
memecahkan masalah ketenagakerjaan yang begitu kolosal? Dalam
keterangannya pada TEMPO pekan lalu, Sudomo sendiri merasa
optimistis. "Buat saya tidak ada masalah, wong cuma masalah
koordinasi saja. Semua sudah ditetapkan dalam GBHN," katanya.
Departemen Tenaga Kerja, kata Sudomo, terutama bertugas
menyiapkan, melatih, menyalurkan, dan kemudian membina tenaga
kerja. Sedang menciptakan lapangan kerja adalah tugas
departemen lain dan pemerintah daerah (Lihat Wawancara).
"Sebenarnya tugas Depnaker secara menyeluruh adalah untuk
mewujudkan pasal 27 UUD 1945, yakni agar semua orang memperoleh
lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak," kata Sudomo.
Namun bagaimana ukuran "penghidupan yang layak" itu? Agaknya
belum ada persesuaian pendapat mengenai ini. Bahkan mengenai
suatu masalah yang pokok, misalnya, angka pengangguran pun belum
ada kesepakatan.
Buat Depnaker, pengangguran adalah para pencari kerja yang
mencatatkan diri, jumlahnya sekitar 700 ribu. Menurut catatan
Biro Pusat Statistik (BPS), pada 1980, dari 52 juta angkatan
kerja Indonesia, yang mencari pekerjaan cuma sekitar 900 ribu
(1,8%). Sedang Bank Dunia menaksir angka 4,1%.
Mana angka yang tepat, walahuallam. Namun semua orang sepakat:
angka pengangguran itu tidak mencerminkan realitas, karena hanya
merupakan angka pengangguran terbuka. Menurut taksiran, misalnya
dari Organisasi Buruh Sedunia (ILO), angka pengangguran
tersembunyi di Indonesia berkisar antara sepertiga angkatan
kerja. Salah satu dasar perhitungannya adalah menurut jumlah
mereka yang jam kerjanya kurang dari 35 jam seminggu, atau dari
pendapatan yang diperoleh.
Sepertiga dari 52 juta adalah lebih dari 17 juta. Ini suatu
jumlah yang dahsyat. Belum lagi ditambah dengan 2 juta angkatan
kerja baru setiap tahun. Hingga memang benar ucapan Presiden
Soeharto: dalam Pelita IV nanti masalah lapangan kerja dan
transmigrasi akan merupakan masalah terbesar.
Struktur umur penduduk Indonesia yang muda ikut mempengaruhi.
Lebih dari 40% penduduk berumur kurang dari 15 tahun. "Dalam
waktu 5 sampai 10 tahun pertumbuhan angkatan kerja akan jauh
lebih maju dari pertambahan jumlah penduduk yang kini 2,3%
setahun. Dugaan saya sekurang-kurangnya 5% setahun," ujar Wakil
Kepala BPS Sutjipto Wirosardjono dalam suatu wawancaranya dengan
TEMPO.
Menurut Sutjipto, jumlah penduduk wanita dalam umur kerja yang
benar-benar bekerja saat ini sekitar 30%. Dalam dekade yang akan
datang pertumbuhannya akan sekitar 40-50%. "Ini sendiri
sebetulnya sudah merupakan ledakan angkatan kerja," kata
Sutjipto. Yang lebih memprihatinkan, intensitas penggunaan tanah
pertanian, terutama di Jawa, sudah tinggi dan tidak bisa
diperbanyak lagi. Ini berarti sektor pertanian yang selama ini
menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja tidak bisa terlalu
diharapkan. Sedang 80% dari angkatan kerja Indonesia ada di
pedesaan.
Tak begitu salah kalau seorang ahli di Indonesia mengibaratkan
masalah angkatan kerja di Indonesia bagaikan seorang yang "duduk
di atas gunung berapi." Semakin banyak angkatan kerja muda yang
tak punya kerja, memang bisa menimbulkan letupan ketidakpuasan.
Langkah Sudomo, yang mendapat sambutan, baru merupakan langkah
awal. Dan perlu ditopang dengan serentetan rencana yang lebih
matang.
Menurut perkiraan Sudomo, melalui investasi PMA dan PMDN pada
1983/1984 akan dapat diciptakan 155 ribu lapangan kerja baru.
Sementara itu berbagai proyek padat karya dengan dana Rp 30
milyar akan bisa menyerap sekitar 250 ribu tenaga untuk masa
kerja 140 hari. Pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah
diharapkan akan juga bisa ditingkatkan dari 34 ribu menjadi 100
ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini