Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di atas 'gunung berapi'

Langkah dan gagasan menteri tenaga kerja, sudomo, tentang masalah ketenagakerjaan. pendidikan ketrampilan tenaga kerja di berbagai perusahaan, dan masalah penampungan bagi tenaga ketrampilan.(nas)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ada pemilihan top newsmaker (pembuat berita) di antara para Menteri Kabinet Pembangunan IV, salah satu yang terpilih pastilah Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Sejak pelantikan kabinet pertengahan Maret lalu, hampir tidak ada hari berlalu tanpa ada berita mengenai berbagai langkah Sudomo. Begitu dilantik, ia mengumumkan dibukanya Kotak Pos 555 untuk menampung pengaduan dan keluhan para buruh. Lalu dibentuknya Pusat Pengelolaan Krisis Masalah Ketenagakerjaan. Kemudian ia menyarankan digantinya istilah buruh dengan karyawan atau pekerja yang sempat menimbulkan "heboh" kecil. Gebrakan Sudomo berikutnya: menghidupkan kembali Bursa Kesempatan Kerja. Berbagai suratkabar pun mulai memberitakan situasi lowongan kerja yang ada. Beruntun ia kemudian menemui Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam dan Menteri P & K Nugroho Notosusanto untuk mengkoordinasikan langkah dengan departemennya. Hasilnya antara lain: padat karya akan dilaksanakan juga di kota, dan para lulusan SLTP dan SLTA yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya akan dilatih secara gratis di Balai Latihan Kerja (BLK). Tak hanya itu. Pekan lalu, tatkala mengunjungi Sala, ia mengumumkan rencananya untuk membentuk semacam Brigade Pembangunan, terdiri dari lulusan SLTA yang telah dididik dalam suatu pemusatan latihan tenaga kerja. "Saya akan mulai di Jakarta dulu. Setelah pengorganisasiannya baik baru dikembangkan ke daerah lain," ujarnya. Para pekerja perusahaan dianjurkannya membentuk koperasi. Kesibukan berikutnya: pekan ini ia melantik Dewan Pengupahan Nasional serta Dewan Produktivitas Nasional, dua badan yang dihidupkan kembali. Berbagai tindakannya itu dlsambut gembira. "Ini angin baru bagi kami," kata Paiman, 50 tahun, ketua FBSI Sumatera Utara. "Dan memang perlu". Tapi yang lebih penting adalah, "tindak lanjutnya," ujar anggota F-KP DPRD Tingkat I Sum-Ut ini. Menurut Paiman, salah satu akibat langkah Sudomo adalah bakal banyaknya masalah perburuhan yang akan timbul. "Sebab selama ini banyak kasus perburuhan yang tak muncul karena buruh takut bersuara," katanya. Langkah Sudomo menghidupkan BLK secara fungsional juga dipuji. "Investasi di bidang keahlian dan keterampilan ini merupakan modal insani (human capital) yang memang masih kurang. Hingga tepat sekali kalau Pak Domo memulai dengan usaha meningkatkan produktivitas," kata Dr. Sudarsono, ahli ekonomi tenaga kerja dari Fakultas Ekonomi UGM. Di antara pekerja pun nama Sudomo segera populer. Ketika mengunjungi pabrik Jamu Air Mancur di Sala pekan lalu, para buruh wanita berebutan menyalami Sudomo. Gaya dialog Sudomo dengan para buruh tetap segar, memikat, seperti sewaktu menjabat Pangkopkamtib. Misalnya, ketika memberi pengarahan pada rapat kerja Pusat Koperasi Buruh Indonesia (Puskopbin) Jawa Tengah di Sala pekan lalu. Ia mendorong mereka agar berbicara blak-blakan. "Saya memerlukan masukan, untuk bagaimana nanti membuat kebijaksanaan tenaga kerja yang baik," katanya. "Tak usah ragu-ragu. Tak usah takut melihat menterinya berbintang delapan di kiri dan kanan, dan bekas Pangkopkamtib," ujar Sudomo setengah berkelakar. Yang menjadi pertanyaan: apakah "gaya" Sudomo ini akan berhasil memecahkan masalah ketenagakerjaan yang begitu kolosal? Dalam keterangannya pada TEMPO pekan lalu, Sudomo sendiri merasa optimistis. "Buat saya tidak ada masalah, wong cuma masalah koordinasi saja. Semua sudah ditetapkan dalam GBHN," katanya. Departemen Tenaga Kerja, kata Sudomo, terutama bertugas menyiapkan, melatih, menyalurkan, dan kemudian membina tenaga kerja. Sedang menciptakan lapangan kerja adalah tugas departemen lain dan pemerintah daerah (Lihat Wawancara). "Sebenarnya tugas Depnaker secara menyeluruh adalah untuk mewujudkan pasal 27 UUD 1945, yakni agar semua orang memperoleh lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak," kata Sudomo. Namun bagaimana ukuran "penghidupan yang layak" itu? Agaknya belum ada persesuaian pendapat mengenai ini. Bahkan mengenai suatu masalah yang pokok, misalnya, angka pengangguran pun belum ada kesepakatan. Buat Depnaker, pengangguran adalah para pencari kerja yang mencatatkan diri, jumlahnya sekitar 700 ribu. Menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS), pada 1980, dari 52 juta angkatan kerja Indonesia, yang mencari pekerjaan cuma sekitar 900 ribu (1,8%). Sedang Bank Dunia menaksir angka 4,1%. Mana angka yang tepat, walahuallam. Namun semua orang sepakat: angka pengangguran itu tidak mencerminkan realitas, karena hanya merupakan angka pengangguran terbuka. Menurut taksiran, misalnya dari Organisasi Buruh Sedunia (ILO), angka pengangguran tersembunyi di Indonesia berkisar antara sepertiga angkatan kerja. Salah satu dasar perhitungannya adalah menurut jumlah mereka yang jam kerjanya kurang dari 35 jam seminggu, atau dari pendapatan yang diperoleh. Sepertiga dari 52 juta adalah lebih dari 17 juta. Ini suatu jumlah yang dahsyat. Belum lagi ditambah dengan 2 juta angkatan kerja baru setiap tahun. Hingga memang benar ucapan Presiden Soeharto: dalam Pelita IV nanti masalah lapangan kerja dan transmigrasi akan merupakan masalah terbesar. Struktur umur penduduk Indonesia yang muda ikut mempengaruhi. Lebih dari 40% penduduk berumur kurang dari 15 tahun. "Dalam waktu 5 sampai 10 tahun pertumbuhan angkatan kerja akan jauh lebih maju dari pertambahan jumlah penduduk yang kini 2,3% setahun. Dugaan saya sekurang-kurangnya 5% setahun," ujar Wakil Kepala BPS Sutjipto Wirosardjono dalam suatu wawancaranya dengan TEMPO. Menurut Sutjipto, jumlah penduduk wanita dalam umur kerja yang benar-benar bekerja saat ini sekitar 30%. Dalam dekade yang akan datang pertumbuhannya akan sekitar 40-50%. "Ini sendiri sebetulnya sudah merupakan ledakan angkatan kerja," kata Sutjipto. Yang lebih memprihatinkan, intensitas penggunaan tanah pertanian, terutama di Jawa, sudah tinggi dan tidak bisa diperbanyak lagi. Ini berarti sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja tidak bisa terlalu diharapkan. Sedang 80% dari angkatan kerja Indonesia ada di pedesaan. Tak begitu salah kalau seorang ahli di Indonesia mengibaratkan masalah angkatan kerja di Indonesia bagaikan seorang yang "duduk di atas gunung berapi." Semakin banyak angkatan kerja muda yang tak punya kerja, memang bisa menimbulkan letupan ketidakpuasan. Langkah Sudomo, yang mendapat sambutan, baru merupakan langkah awal. Dan perlu ditopang dengan serentetan rencana yang lebih matang. Menurut perkiraan Sudomo, melalui investasi PMA dan PMDN pada 1983/1984 akan dapat diciptakan 155 ribu lapangan kerja baru. Sementara itu berbagai proyek padat karya dengan dana Rp 30 milyar akan bisa menyerap sekitar 250 ribu tenaga untuk masa kerja 140 hari. Pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah diharapkan akan juga bisa ditingkatkan dari 34 ribu menjadi 100 ribu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus