JALAL jengkel. Masak, dengan bekal ilmu yang diperolehnya selama
3 tahun di STM Budi Darma di kotanya, Indrapura, ia gagal
melamar kerja di PT Inalum Perusahaan peleburan aluminium
terbesar di kawasan ASEAN di Asahan, Sumatera Utara. Ia malahan
dianjurkan untuk masuk Vocational Training Centre (VTC), sejenis
pusat latihan kerja yang dibuka perusahan tersebut.
Ternyata kejengkelannya terhapus, malahan berganti rasa syukur.
Di VTC ia baru tahu, keterampilan prakteknya, praktek bidang
teknik sipil, ternyata amat kurang. Ia tak bisa membayangkan,
andaikata lamarannya diterima, bagaimana ia bisa bekerja.
Mungkin hal seperti itulah yang hendak digambarkan Menterl
Tenaga Kerja Laksamana Sudomo baru-baru ini. Ialah, lowongan
pekerjaan tak bisa terisi sepenuhnya karena kurangnya pelamar
kerja yang berketerampilan.
Sebenarnya, diam-diam, hal itulah yang dihadapi juga oleh
berbagai perusahaan, ketika melakukan tes para pelamar kerja. Di
PT Inalum itu, misalnya, menurut Zaini Bachrie, orang dari
bagian humas perusahaan tersebut, beratus lulusan STM yang
melamar kerja tiap tahunnya terpaksa tidak dapat diterima. Bukan
karena para lulusan itu bodoh, tapi bekal mereka untuk bisa
langsung bekerja diragukan. Maka itu 1977, beberapa tahun
setelah perusahaan ini berdiri, dibuka VTC tersebut.
Hal seperti itu dilakukan juga oleh PT Petrokimia dan PT Semen
Gresik, Jawa Timur. Kedua perusahaan itu membuka Loka Latihan
Keterampilan (LLK), demikian pendidikan di situ disebut, pada
April 1981. Alasan dibukanya LLK ini pun persis sama dengan VTC.
"Praktek di sekolah kejuruan kurang sekali, hingga lulusannya
belum terampil benar," tutur Ir. Arliwiyoto, lulusan Jurusan
Teknik Mesin ITS, salah seorang dari Seksi Pendidikan PT Semen
Gresik.
Berbeda dengan di VTC, siswa di LLK PT Semen Gresik tidak hanya
dibebaskan dari uang sekolah, malahan mendapat uang saku Rp
25.000 per bulan. Padahal lama pendidikan di LLK ini setahun.
Makanya anggaran PT Semen Gresik untuk LLK cukup besar: Rp 16,5
juta per tahun untuk 20 siswa.
Pelajaran yang diberikan di LLK PT Semen Gresik meliputi bidang
permesinan dan perlistrikan. Semua itu dijabarkan dalam 19 mata
pelajaran teori, diberikan dalam 340 jam, atau rata-rata 5 jam
per hari selama 3 bulan. Kemudian 9 bulan berikutnya melulu
pelajaran praktek. Para pengajar berjumlah 10 orang, semuanya
karyawan PT Semen Gresik.
Selain itu, ada faktor lain yang mendorong perusahaan membuka
pendidikan sendiri. PT Krakatau Steel (KS), misalnya.
"Sebetulnya kami tak menganggap lulusan STM tidak siap pakai,"
kata Ir. Kadarisman, direktur personalia dan umum pabrik baja
itu. "Tapi kami membuka latihan kerja ini karena bidang kerja di
perusahaan ini sangat spesifik, sedang pelajaran di STM bersifat
umum."
Lebih dari LLK, di PT KS latihan kerja itu mirip sekolah formal.
Dilaksanakan dalam 2 tahun, dan pakai sanksi. Misalnya, bila
sebelum dua tahun berhenti, siswa tersebut harus mengembalikan
semua ongkos yang telah dikeluarkan PT KS untuknya. Padahal para
siswa mendapat uang saku Rp 32.500 per bulan pada tahun pertama,
dan Rp 40.000 pada tahun kedua.
Di sini pejaran diberikan dengan sistem modul. Tahap pertama
modul program tentang kekaryawanan. Antara lain meliputi
kedisiplinan kerja, dan keselamatan kerja. Disusul dengan modul
kerja bangku Baru sesudah itu siswa dibagi menurut bidangnya:
modul program mekanik dan elektronik. Semua modul disusun dan
diberikan oleh karyawan KS.
Tiap tahun latihan kerja KS, mulai pada 1977, menerima 80-100
siswa. Tapi akhir-akhir ini peminat naik lebih dari dua kali
lipat. Kini di sini dididik dua angkatan siswa berjumlah sekitar
500 orang.
Bagi PT National Gobel, latihan kerja yang diselenggarakannya
tidak hanya untuk kepentingan perusahaan sendiri. Kata Drs.
Fauzi, kepala Bagian Pendidikan, Pembinaan dan Latihan dari
perusahaan elektronika itu, lebih untuk "membantu para remaja
putus sekolah maupun lulusan sekolah dengan keterampilan di
bidang industri, buat bekal mencari kerja."
Kesungguhan perusahaan elektronika itu membuka latihan kerja
dibuktikan bulan ini. Satu gedung untuk program latihan kerja
diresmikan di kawasan Cibubur. Gedung berlantai dua itu dibangun
dengan biaya sekitar Rp 600 juta. Ada ruang belajar, ada
laboratorium bahasa, perpustakaan, aula. Ada pula ruang makan
dan 10 kamar tidur -- semuanya berpesawat pendingin. "Kamar
tidur disediakan bagi mereka yang datang dari daerah," kata
Fauzi pula.
Pendidikan keterampilan di PT National Gobel cuma dilangsungkan
3 bulan untuk tiap angkatan. Program ini mulai dibuka di awal
1970-an. "Mula-mula sangat sulit menyusun program pendidikan
ini," tutur Fauzi Etek itu. "Sebab kami tak menentukan siswa
harus berijazah apa. Yang kami didik datang dari latar belakang
bermacam-macam." Di sini tidak ada uang saku, yang ada cuma uang
transpor. Maka biaya yang harus dianggarkan PT National Gobel
untuk program ini tidak begitu menyolok. "Hanya Rp 40.000 per
orang," kata Fauzi pula.
Adalah PT Nurtanio yang membuka Pusdiklat (pusat pendidikan dan
latihan) khusus untuk calon karyawannya. Di sini suasana
pendidikannya pun khas. Pusdiklat Nurtanio dibuka pada 1979
untuk memenuhi kebutuhan sekitar seribu tenaga terampil per
tahunnya dari perusahaan pembuat pesawat terbang ini hingga
tahun 1985 nanti. Target itu agak susah payah juga dicapai
Pusdiklat, karena fasilitas yang dimiliki sebenarnya baru bisa
mendidik sekitar 230 siswa per angkatan.
Untunglah, karena disiplin yang semimiliter dengan jam belajar
yang panjang -- dari pukul 07.30 sampai 16.15 dengan hanya
istirahat makan siang sejam -- menurut J.B. Basuki dari humas PT
Nurtanio, hasil pendidikan di sini tidak mengecewakan. Selain
juga untuk pendidikan yang lamanya setahun ini seleksi
penerimaan memang ketat: pengetahuan umum, tes psikologi, tes
kesehatan, dan tes bisa tidaknya seseorang dipercaya (clearance
test). Maka tingkat putus pendidikan di bawah 1%.
Tiga bulan pertama diberikan pendidikan dasar. Baru kemudian
siswa yang rata-rata tiap angkatan sekitar seribu orang, dibagi
berdasar bidang masing-masing. Ada bidang administrasi
perkantoran, draftsmen designer, sheet metal worker, dan banyak
lagi. Tentu, biaya yang dikeluarkan Pusdiklat besar. "Untuk
praktek siswa sheet metal worker saja, harus disediakan
lembaran aluminium seharga Rp 300 ribu per siswa sekali
praktek," tutur Basuki pula. Ditambah lagi, siswa yang tentu
saja belur produktif itu, diberi uang saku sekitar Rp 45.000 per
bulan.
Tapi seberapa perlu PT Nurtanio membuka Pusdiklat sendiri? "Ini
kan industri pesawat terbang satu-satunya di Indonesia, karena
itu memerlukan tenaga dengan keterampilan khusus," tutur Abu
Sudja, 45 tahun, kepala Pendidikan Teknik Dasar. Sebab, STM
Penerbangan, misalnya, ternyata hanya menyiapkan anak didiknya
untuk bidang pemeliharaan pesawat -- bukan pembuatan. Kesulitan
pertama yang harus ditanggulangi Pusdiklat Nurtanio jelas:
tenaga pengajarnya. Mula-mula tenaga pengajar di sini
didatangkan dari TNI-AU yang mendapat latihan di luar negeri.
Kini telah ada sekitar 40 instruktur.
Tapi di samping itu semua sebenarnya pemerintah sudah lama
memikirkan latihan keterampilan tenaga kerja kelas menengah.
Ialah yang disebut Balai Latihan Kerja (BLK). Kini Depnaker
telah memiliki 153 BLK, terdiri dari BLKI (BLK Industri), BLKP
(BLK Pertanian) dan perpaduan keduanya disebut BLKIP.
Bidang keterampilan dasar yani? diberikan di BLK-BLK yang
tersebar di semua provinsi itu: dari pendidikan keterampilan di
bidang otomotif, montir ratio tan televisi, pemasangan instalasi
listrik perumahan, hingga pentldlkan pertanian, perikanan sampai
pembukuan. Direncanakan 120 BLK akan dibangun lagi dalam Pelita
IV.
Di BLK para siswa tentu saja tak mendapat uang saku maupun uang
makan, meski pendidikan di sini gratis. Lama pendidikan
rata-rata hanya 3 bulan. Untuk beberapa BLK yang berkembang,
pesat pendidikan keterampilannya memang cukup besar.
BLKI Bandung, misalnya, untuk program 1983/1984 akan mengajarkan
7 bidang keterampilan bagi lebih lebih dari 3 ribu pemuda. BLKI
ini memang yang pertama berdiri, pada 1952, dan kini telah
memiliki kompleks sendiri dengan luas tanah 3 ha, tengan
bangunan sekitar 10 ribu meter persegi. Di sini ada pendidikan
kesekretarisan 6 bulan. "Di samping pendidikan las listrik,
pendidikan sekretaris paling laris," tutur Bambang Supangkat,
kepala BLKI ini. Mengapa? Rupanya, menurut pengamatan Bambang,
siswa bidang tersebut cepat mendapatkan pekerjaan.
Tak begitu jelas berapa pemegang sertifikat keterampilan BLKI
Bandung yang telah bekerja. "Belum ada monitoring," kata
Bambang. Padahal tiap tahun rata-rata 3 ribu orang mendapat
sertifikat keterampilan dari sini.
Satu pusat pendidikan oleh perusahaan yang konon dipuji
keberhasilannya ialah Fluor Eastern yang lagi membangun
perluasan kilang minyak Pertamina, di Cilacap. Perusahaan
kontraktor multinasional yang berkantor pusat di California, AS,
ini membuka pendidikan 60 hingga 648 jam. Jumlah jam pelajaran
itu dibagi dua: 50% untuk teori, 50% untuk praktek. Pendidikan
sifatnya intern ini, dan para siswa yang dikontrak untuk bekerja
di Fluor, ternyata menghasilkan tenaga kerja yang berkapasitas
tinggi. Di sini tentu saja siswa diberi uang saku, dari Rp
37.000 hingga Rp 62.000 per orang per bulan.
Benar, karyawan itu sesudah kontrak habis, misalnya, sesudah
proyek Cilacap selesai, pasti banyak karyawan Fluor yang
diberhentikan. Tapi bekas karyawan Fluor rupanya mendapat
penghargaan tinggi. Menurut Pitono, Pemimpin Unit Pengolahan IV
Pertamina Cilacap, kini sudah ada pesanan dari ICCI untuk
meminta sekitar 1.500 karyawan eks Flour Cilacap.
Soalnya ialah menurut penelitian Fluor produktivitas karyawan
Indonesia ternyata berada di atas rata-rata pekerja dari Jerman,
dan hanya sedikit di bawah rata-rata pekerja Korea Selatan yang
terkenal tinggi itu. Tapi ini memang khusus bagi tenaga didikan
Fluor -- yang lagi bekerja untuk Fluor pula. Dari hasil
penelitian Beri S.A., sebuah lembaga riset di Swiss,
produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di urutan ke-25 dari
42 negara yang diteliti.
Masalahnya memang jelas sudah: sekolah menengah kejuruan,
apalagi sekolah menengah umum, memang belum menyiapkan tenaga
kerja terampil siap bekerja. Ini diakui sendiri oleh Direktur
Pendidikan Menengah Kejuruan Dep. P&K, Hadiwiratama. Soalnya,
belum adanya perencanaan kebutuhan tenaga kerja, atau "sulit
membaca kebutuhan masa depan," kata Hadi, maka yang dipersiapkan
sekolah kejuruan baru tenaga kerja yang potensial untuk dilatih
bekerja.
Maka sekilas, pendidikan keterampilan seperti segera memecahkan
masalah pengangguran. Apalagi bila pendidikan itu intern
sifatnya: yang langsung memberikan pekerjaan para siswa
ditampung. Tapi yang tidak, yang hanya sekadar mendidik
keterampilan sebenarnya belum jelas nasibnya. Dikhawtirkan
munculnya "pengangguran tenaga terampil," kata Dr. Sudarsono,
ahli ekonomi tenaga kerja UGM yang menjabat ketua TIM Penyusunan
Rencana Ketenagakerjaan Dep. Perhubungan. "Soalnya kita kan
belum tahu berapa tukang las dibutuhkan?" kata Sudarsono pula.
Tiba-tiba pendidikan keterampilan yang semula diharapkan
memecahkan masalah pengangguran, seperti membentur tembok baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini