Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tembok Baru, Sesudah Mereka...

Banyak pelamar kerja gagal tak memiliki keterampilan. lantas perusahaan bikin latihan kerja sendiri. belum jelas berapa tukang las dibutuhkan, berapa sekretaris diperlukan, berapa pula tukang bubut.

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAL jengkel. Masak, dengan bekal ilmu yang diperolehnya selama 3 tahun di STM Budi Darma di kotanya, Indrapura, ia gagal melamar kerja di PT Inalum Perusahaan peleburan aluminium terbesar di kawasan ASEAN di Asahan, Sumatera Utara. Ia malahan dianjurkan untuk masuk Vocational Training Centre (VTC), sejenis pusat latihan kerja yang dibuka perusahan tersebut. Ternyata kejengkelannya terhapus, malahan berganti rasa syukur. Di VTC ia baru tahu, keterampilan prakteknya, praktek bidang teknik sipil, ternyata amat kurang. Ia tak bisa membayangkan, andaikata lamarannya diterima, bagaimana ia bisa bekerja. Mungkin hal seperti itulah yang hendak digambarkan Menterl Tenaga Kerja Laksamana Sudomo baru-baru ini. Ialah, lowongan pekerjaan tak bisa terisi sepenuhnya karena kurangnya pelamar kerja yang berketerampilan. Sebenarnya, diam-diam, hal itulah yang dihadapi juga oleh berbagai perusahaan, ketika melakukan tes para pelamar kerja. Di PT Inalum itu, misalnya, menurut Zaini Bachrie, orang dari bagian humas perusahaan tersebut, beratus lulusan STM yang melamar kerja tiap tahunnya terpaksa tidak dapat diterima. Bukan karena para lulusan itu bodoh, tapi bekal mereka untuk bisa langsung bekerja diragukan. Maka itu 1977, beberapa tahun setelah perusahaan ini berdiri, dibuka VTC tersebut. Hal seperti itu dilakukan juga oleh PT Petrokimia dan PT Semen Gresik, Jawa Timur. Kedua perusahaan itu membuka Loka Latihan Keterampilan (LLK), demikian pendidikan di situ disebut, pada April 1981. Alasan dibukanya LLK ini pun persis sama dengan VTC. "Praktek di sekolah kejuruan kurang sekali, hingga lulusannya belum terampil benar," tutur Ir. Arliwiyoto, lulusan Jurusan Teknik Mesin ITS, salah seorang dari Seksi Pendidikan PT Semen Gresik. Berbeda dengan di VTC, siswa di LLK PT Semen Gresik tidak hanya dibebaskan dari uang sekolah, malahan mendapat uang saku Rp 25.000 per bulan. Padahal lama pendidikan di LLK ini setahun. Makanya anggaran PT Semen Gresik untuk LLK cukup besar: Rp 16,5 juta per tahun untuk 20 siswa. Pelajaran yang diberikan di LLK PT Semen Gresik meliputi bidang permesinan dan perlistrikan. Semua itu dijabarkan dalam 19 mata pelajaran teori, diberikan dalam 340 jam, atau rata-rata 5 jam per hari selama 3 bulan. Kemudian 9 bulan berikutnya melulu pelajaran praktek. Para pengajar berjumlah 10 orang, semuanya karyawan PT Semen Gresik. Selain itu, ada faktor lain yang mendorong perusahaan membuka pendidikan sendiri. PT Krakatau Steel (KS), misalnya. "Sebetulnya kami tak menganggap lulusan STM tidak siap pakai," kata Ir. Kadarisman, direktur personalia dan umum pabrik baja itu. "Tapi kami membuka latihan kerja ini karena bidang kerja di perusahaan ini sangat spesifik, sedang pelajaran di STM bersifat umum." Lebih dari LLK, di PT KS latihan kerja itu mirip sekolah formal. Dilaksanakan dalam 2 tahun, dan pakai sanksi. Misalnya, bila sebelum dua tahun berhenti, siswa tersebut harus mengembalikan semua ongkos yang telah dikeluarkan PT KS untuknya. Padahal para siswa mendapat uang saku Rp 32.500 per bulan pada tahun pertama, dan Rp 40.000 pada tahun kedua. Di sini pejaran diberikan dengan sistem modul. Tahap pertama modul program tentang kekaryawanan. Antara lain meliputi kedisiplinan kerja, dan keselamatan kerja. Disusul dengan modul kerja bangku Baru sesudah itu siswa dibagi menurut bidangnya: modul program mekanik dan elektronik. Semua modul disusun dan diberikan oleh karyawan KS. Tiap tahun latihan kerja KS, mulai pada 1977, menerima 80-100 siswa. Tapi akhir-akhir ini peminat naik lebih dari dua kali lipat. Kini di sini dididik dua angkatan siswa berjumlah sekitar 500 orang. Bagi PT National Gobel, latihan kerja yang diselenggarakannya tidak hanya untuk kepentingan perusahaan sendiri. Kata Drs. Fauzi, kepala Bagian Pendidikan, Pembinaan dan Latihan dari perusahaan elektronika itu, lebih untuk "membantu para remaja putus sekolah maupun lulusan sekolah dengan keterampilan di bidang industri, buat bekal mencari kerja." Kesungguhan perusahaan elektronika itu membuka latihan kerja dibuktikan bulan ini. Satu gedung untuk program latihan kerja diresmikan di kawasan Cibubur. Gedung berlantai dua itu dibangun dengan biaya sekitar Rp 600 juta. Ada ruang belajar, ada laboratorium bahasa, perpustakaan, aula. Ada pula ruang makan dan 10 kamar tidur -- semuanya berpesawat pendingin. "Kamar tidur disediakan bagi mereka yang datang dari daerah," kata Fauzi pula. Pendidikan keterampilan di PT National Gobel cuma dilangsungkan 3 bulan untuk tiap angkatan. Program ini mulai dibuka di awal 1970-an. "Mula-mula sangat sulit menyusun program pendidikan ini," tutur Fauzi Etek itu. "Sebab kami tak menentukan siswa harus berijazah apa. Yang kami didik datang dari latar belakang bermacam-macam." Di sini tidak ada uang saku, yang ada cuma uang transpor. Maka biaya yang harus dianggarkan PT National Gobel untuk program ini tidak begitu menyolok. "Hanya Rp 40.000 per orang," kata Fauzi pula. Adalah PT Nurtanio yang membuka Pusdiklat (pusat pendidikan dan latihan) khusus untuk calon karyawannya. Di sini suasana pendidikannya pun khas. Pusdiklat Nurtanio dibuka pada 1979 untuk memenuhi kebutuhan sekitar seribu tenaga terampil per tahunnya dari perusahaan pembuat pesawat terbang ini hingga tahun 1985 nanti. Target itu agak susah payah juga dicapai Pusdiklat, karena fasilitas yang dimiliki sebenarnya baru bisa mendidik sekitar 230 siswa per angkatan. Untunglah, karena disiplin yang semimiliter dengan jam belajar yang panjang -- dari pukul 07.30 sampai 16.15 dengan hanya istirahat makan siang sejam -- menurut J.B. Basuki dari humas PT Nurtanio, hasil pendidikan di sini tidak mengecewakan. Selain juga untuk pendidikan yang lamanya setahun ini seleksi penerimaan memang ketat: pengetahuan umum, tes psikologi, tes kesehatan, dan tes bisa tidaknya seseorang dipercaya (clearance test). Maka tingkat putus pendidikan di bawah 1%. Tiga bulan pertama diberikan pendidikan dasar. Baru kemudian siswa yang rata-rata tiap angkatan sekitar seribu orang, dibagi berdasar bidang masing-masing. Ada bidang administrasi perkantoran, draftsmen designer, sheet metal worker, dan banyak lagi. Tentu, biaya yang dikeluarkan Pusdiklat besar. "Untuk praktek siswa sheet metal worker saja, harus disediakan lembaran aluminium seharga Rp 300 ribu per siswa sekali praktek," tutur Basuki pula. Ditambah lagi, siswa yang tentu saja belur produktif itu, diberi uang saku sekitar Rp 45.000 per bulan. Tapi seberapa perlu PT Nurtanio membuka Pusdiklat sendiri? "Ini kan industri pesawat terbang satu-satunya di Indonesia, karena itu memerlukan tenaga dengan keterampilan khusus," tutur Abu Sudja, 45 tahun, kepala Pendidikan Teknik Dasar. Sebab, STM Penerbangan, misalnya, ternyata hanya menyiapkan anak didiknya untuk bidang pemeliharaan pesawat -- bukan pembuatan. Kesulitan pertama yang harus ditanggulangi Pusdiklat Nurtanio jelas: tenaga pengajarnya. Mula-mula tenaga pengajar di sini didatangkan dari TNI-AU yang mendapat latihan di luar negeri. Kini telah ada sekitar 40 instruktur. Tapi di samping itu semua sebenarnya pemerintah sudah lama memikirkan latihan keterampilan tenaga kerja kelas menengah. Ialah yang disebut Balai Latihan Kerja (BLK). Kini Depnaker telah memiliki 153 BLK, terdiri dari BLKI (BLK Industri), BLKP (BLK Pertanian) dan perpaduan keduanya disebut BLKIP. Bidang keterampilan dasar yani? diberikan di BLK-BLK yang tersebar di semua provinsi itu: dari pendidikan keterampilan di bidang otomotif, montir ratio tan televisi, pemasangan instalasi listrik perumahan, hingga pentldlkan pertanian, perikanan sampai pembukuan. Direncanakan 120 BLK akan dibangun lagi dalam Pelita IV. Di BLK para siswa tentu saja tak mendapat uang saku maupun uang makan, meski pendidikan di sini gratis. Lama pendidikan rata-rata hanya 3 bulan. Untuk beberapa BLK yang berkembang, pesat pendidikan keterampilannya memang cukup besar. BLKI Bandung, misalnya, untuk program 1983/1984 akan mengajarkan 7 bidang keterampilan bagi lebih lebih dari 3 ribu pemuda. BLKI ini memang yang pertama berdiri, pada 1952, dan kini telah memiliki kompleks sendiri dengan luas tanah 3 ha, tengan bangunan sekitar 10 ribu meter persegi. Di sini ada pendidikan kesekretarisan 6 bulan. "Di samping pendidikan las listrik, pendidikan sekretaris paling laris," tutur Bambang Supangkat, kepala BLKI ini. Mengapa? Rupanya, menurut pengamatan Bambang, siswa bidang tersebut cepat mendapatkan pekerjaan. Tak begitu jelas berapa pemegang sertifikat keterampilan BLKI Bandung yang telah bekerja. "Belum ada monitoring," kata Bambang. Padahal tiap tahun rata-rata 3 ribu orang mendapat sertifikat keterampilan dari sini. Satu pusat pendidikan oleh perusahaan yang konon dipuji keberhasilannya ialah Fluor Eastern yang lagi membangun perluasan kilang minyak Pertamina, di Cilacap. Perusahaan kontraktor multinasional yang berkantor pusat di California, AS, ini membuka pendidikan 60 hingga 648 jam. Jumlah jam pelajaran itu dibagi dua: 50% untuk teori, 50% untuk praktek. Pendidikan sifatnya intern ini, dan para siswa yang dikontrak untuk bekerja di Fluor, ternyata menghasilkan tenaga kerja yang berkapasitas tinggi. Di sini tentu saja siswa diberi uang saku, dari Rp 37.000 hingga Rp 62.000 per orang per bulan. Benar, karyawan itu sesudah kontrak habis, misalnya, sesudah proyek Cilacap selesai, pasti banyak karyawan Fluor yang diberhentikan. Tapi bekas karyawan Fluor rupanya mendapat penghargaan tinggi. Menurut Pitono, Pemimpin Unit Pengolahan IV Pertamina Cilacap, kini sudah ada pesanan dari ICCI untuk meminta sekitar 1.500 karyawan eks Flour Cilacap. Soalnya ialah menurut penelitian Fluor produktivitas karyawan Indonesia ternyata berada di atas rata-rata pekerja dari Jerman, dan hanya sedikit di bawah rata-rata pekerja Korea Selatan yang terkenal tinggi itu. Tapi ini memang khusus bagi tenaga didikan Fluor -- yang lagi bekerja untuk Fluor pula. Dari hasil penelitian Beri S.A., sebuah lembaga riset di Swiss, produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di urutan ke-25 dari 42 negara yang diteliti. Masalahnya memang jelas sudah: sekolah menengah kejuruan, apalagi sekolah menengah umum, memang belum menyiapkan tenaga kerja terampil siap bekerja. Ini diakui sendiri oleh Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan Dep. P&K, Hadiwiratama. Soalnya, belum adanya perencanaan kebutuhan tenaga kerja, atau "sulit membaca kebutuhan masa depan," kata Hadi, maka yang dipersiapkan sekolah kejuruan baru tenaga kerja yang potensial untuk dilatih bekerja. Maka sekilas, pendidikan keterampilan seperti segera memecahkan masalah pengangguran. Apalagi bila pendidikan itu intern sifatnya: yang langsung memberikan pekerjaan para siswa ditampung. Tapi yang tidak, yang hanya sekadar mendidik keterampilan sebenarnya belum jelas nasibnya. Dikhawtirkan munculnya "pengangguran tenaga terampil," kata Dr. Sudarsono, ahli ekonomi tenaga kerja UGM yang menjabat ketua TIM Penyusunan Rencana Ketenagakerjaan Dep. Perhubungan. "Soalnya kita kan belum tahu berapa tukang las dibutuhkan?" kata Sudarsono pula. Tiba-tiba pendidikan keterampilan yang semula diharapkan memecahkan masalah pengangguran, seperti membentur tembok baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus