Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Orang-orang di jalan islam

Profil dai bukan dari kalangan santri yaitu rendra, neno warisman, amir murtono, gbph haji joyokusumo, harry mukti, sitoresmi, nurul qomar dan kang ibing.

11 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Neno Warisman Jangan pangling jika bertemu Neno Warisman. Penyanyi solis bersuara lantang, bintang sinetron dan film, serta pembaca puisi itu kini berubah penampilan. Kendati tetap menjadi artis, ia selalu berbusana muslimah dalam keseharian. Lengkap dengan jilbabnya. Dan itu berarti, seperti katanya kepada TEMPO, "Kegiatan saya lebih terarah dan lebih kualitatif, bukan kuantitatif." Maka lewat lagu, puisi, dan sinetron yang bernapaskan Islam, Neno, kini 26 tahun, berdakwah. "Ada dorongan yang membuat saya ingin menyampaikan sesuatu yang bernapaskan Islam," kata artis yang suka menghadiri ceramah agama Emha Ainun Nadjib ini. Adalah pengalaman ketika ia menjalankan umrah, tahun 1988, yang membuatnya, "lebih waspada diri." Karena itu, tiga tahun kemudian ia naik haji. "Ketika itu saya makin sadar kalau saya ini kecil dan hina di depan Tuhan," katanya. Dari sini lantas Neno gemar menyebut asmaNya. Lamatlamat rasa takutnya pada Tuhan diakuinya kian mengental. "Ekspresi diri seperti bakat itu pun juga bukan punya saya, dan kelebihan ini harus digunakan untuk kepentingan yang memberi," tutur Neno, yang mengaku taat beragama sejak kanak-kanak. Praktis, kegiatan menyanyinya kini berkurang. Diganti dengan memberikan dakwah, antara lain di sejumlah taman kanak-kanak di Jakarta. Ini akibat keprihatinannya melihat permainan bocah-bocah itu yang jauh dari agama. Lalu ia pun mulai diundang bicara di depan remaja dan mahasiswa. Ceramahnya memang tidak khusus soal agama. "Untuk sementara saya pilih cara saya sendiri yang tidak khusus ceramah agama," tuturnya. Ia lebih suka bercrita tentang pengalaman batinnya. "Saya tampil sebagai kawan mereka. Kalau itu adalah tokoh yang mereka senangi, tentu ceramah saya lebih meyakinkan," kata Neno. Amir Murtono Jauh sebelum ia dikenal sebagai dai, Amir Murtono sudah dikenal "suka menjual ayat". Suatu kali ketua umum DPP Golkar yang membidani lahirnya Majelis Dakwah Islamiyah ini tersinggung terhadap lawan-lawan politiknya yang memain-mainkan ayat Quran. "Lawan politik saya memakai ayat: jangan kau dekati pohon ini," katanya. "Bisa jadi kafir." Tapi yang paling menyakitkannya adalah ketika dituduh oleh lawan politiknya sebagai orang kafir. Sejak itulah, tahun 1979, ia mengaku serius mempelajari Islam. Berangkat dari niat melawan lawan poltiknya, akhirnya Amir, kini 69 tahun, menemukan "rasa tenteram dan damai, sakinatul qolbi," katanya bersungguhsungguh. Dan itu didapatnya, selain membaca buku-buku sendiri, juga lewat pengajian-pengajian. Dan akhirnya, setelah tak punya jabatan di Golkar, sekitar 1981, ia lebih tertarik pada kegiatan agama daripada politik. Ia tak lagi nyambi berceramah agama tapi benar-benar waktunya untuk berdakwah. Sudah ada tiga stop map berisi ajaran Islam yang ditulis dengan tangannya sendiri. Tokoh yang biasa bersuara keras itu mengaku sering memfotokopi tulisan tangannya itu untuk dibagibagikan kepada jamaah pengajian Al-Hidayah yang berada di bawah Golkar. Tapi ia menolak bila disebut kegiatannya berkaitan dengan Golkar. GBPH Haji Joyokusumo Gusti Bandoro Pangeran Haryo Joyokusumo, adik Sultan HB X, menjadi dai setelah banyak diskusi dengan tokoh-tokoh Islam modernis, seperti H.A.R. Fachruddin, Koentowijoyo, dan K.H. Hamim Djazuli alias Gus Mik. Ditambah, setelah sering melakukan perjalanan spiritual ke pesantren-pesantren. Ini dilakukan pertama kali tahun 1989, ketika Gus Joyo, demikian panggilannya di pesantren, hendak melakukan ibadah haji. Hubungannya dengan pesantren makin erat setelah ia menemukan "enam makna hubungan keraton dengan Islam yang hampir hilang". Antara lain yang ia temukan itu kenapa atap masjid yang dibikin oleh keraton di Jawa ada tiga. Menurut Gus Joyo, atap paling bawah dan paling luas menggambarkan bahwa orang yang masuk masjid itu paling banyak orang Islam awam. Atap di atasnya yang lebih sempit menggambarkan jamaah masjid yang kedua yang jumlahnya sedikit adalah mereka yang sudah baik imannya. Nah, atap paling atas dan paling kecil melambangkan orang yang benar-benar takwa yang masuk masjid yang memang jumlahnya paling sedikit. "Tapi takwa itulah tujuan masuk ke masjid," katanya. Adapun dalam berdakwah dai Joyo mendasarkan semua ceramahnya pada prinsip ini: "Bila rukun agama dijalankan dengan lengkap, seseorang akan lebih intens lagi berbuat kebaikan atas dasar kesadarannya," katanya. Menurut Joyo, meningkatnya aktivitas keagamaan dengan tampilnya daidai baru dari berbagai profesi belum menyangkut permasalahan mendasar umat Islam. Yakni masalah kemiskinan dan kebodohan umat. Padahal sebenarnya mudah untuk memahami kemiskinan, katanya. "Cukup dengan beberapa kali datang dan menyatu dalam pengajian yang memang banyak dihadiri kaum dzuafa," kata dai berusia 36 tahun ini. Ia jadi terheran-heran melihat kesadaran beramal jamaah pengajian yang miskin lebih tinggi daripada umat papan tengah dan atas. Harry Mukti Suatu kali rocker Harry Mukti, 35 tahun, diminta berdialog dengan remaja Islam di AlAzhar, Jakarta Selatan, dengan tema Islam di jalur rock. Maksudnya? Ternyata di pengajian itu Harry seperti "diadili". Ia harus menjawab termasuk peminum atau tidak. Jawabnya tegas: "Mabuk itu haram." Sejak itu predikat penceramah agama menempel di namanya, terutama bagi kalangan muda. Dai rocker, kata jemaahnya yang juga gemar musik keras. "Ya, saya rocker Indonesia," jawabnya bersemangat. "Bukan rocker Barat. Makanya saya salat." Sejak itu Harry sering diminta tampil tanpa musik: memberikan ceramah agama di masjid, di radio, dan pada pertemuan mahasiswa. Harry Mukti mengaku mendalami masalah keagamaan sejak dua tahun berselang. Ini dilakukan sehubungan dengan adanya pertanyaan dalam berbagai pertemuan dengan kalangan pemuda muslim. "Saya jadi tersadar bahwa ternyata ajaran Islam itu luas," katanya. Maksudnya, untuk berdakwah, "ternyata seorang dai tak perlu belajar dulu di pesantren." Tapi, katanya buru-buru menambahkan, untuk menyampaikan isi kandungan Quran, "Rasanya saya belum siap," kata Harry. Makanya, bila berhadapan dengan penggemarnya, ia cenderung menanamkan motivasi beragama, bukan agamanya itu sendiri. Sebenarnya Harry sudah sekitar sepuluh tahun lalu tertarik Islam. Misalnya, ia pernah mengaji di Masjid Agung Cimahi, Jawa Barat, tempat kelompok Imran melakukan pengkaderan. Imran adalah otak pembajakan pesawat Garuda yang terkenal sebagai kasus Woyla di Don Muang, Muangthai, di awal 1980an. Tapi kemudian orangtuanya melarang Harry mengikuti kegiatan apa pun, "Karena khawatir kalau saya nanti jadi aktivis agama," katanya. Ia menurut, dan kini menyesal. Coba, bola ia melanjutkan pengajiannnya, tentu ia kini lebih mengenal Islam. Daripada mempelajari Islam, ternyata waktunya dihabiskannya di klub malam, menyanyi. Baru setelah didaulat di AlAzhar "panggilan" lamanya muncul kembali. "Tapi saya masih dalam proses mencari," katanya sungguhsungguh. Sitoresmi Dai yang berlatar belakang sebagai pemain drama ini tidak hanya berceramah di masjid atau tempat-tempat pengajian. Ia telah melangkah ke dunia seminar yang diadakan oleh mahasiswa, baik di Yogyakarta maupun di kota lain seperti Solo dan Surabaya. Seminar itu umumnya bertemakan kewanitaan, misalnya "Wanita Dalam Kehidupan Rumah Tangga" atau "Wanita Menghadapi Modernisasi." Boleh jadi, tema ini disodorkan kepada Sitoresmi karena kesan terhadap peran Sitoresmi sebagai Ibu Rachmat dalam film serial televisi Keluarga Rachmat yang ditayangkan beberapa lama lalu. Sebelum Sitoresmi menikah dengan Zukri Fadholi, guru bimbingan dan penyuluhan di SMA Muhammadiyah Yogyakarta, kehidupannya boleh dikatakan amburadul. Pada waktu itu, kata Sitoresmi, ia suka merokok, minum minuman keras, dan pergi ke pub. Ketika itu ia merasa sangat labil mengarungi kehidupan ini. "Rasa takut selalu ada dalam hati saya," tutur Sito pada Nanik Ismiani dari TEMPO. Pada saat seperti itulah ia merasa membutuhkan seorang pendamping yang punya nilai-nilai agama yang kuat. Itu ditemukannya pada diri Zukri Fadholi. Sejak menikah dengan Zukri, bekas istri senimandramawan Rendra ini secara bulat memilih jalan hidup agama. Bukan cuma itu, ia juga belajar agama, antara lain dari suaminya. Itulah bekalnya menjadi dai, setelah secara tak sengaja ia menerima tawaran berceramah agama, dan ternyata gaya dan isi ceramahnya disukai oleh ibuibu. Nurul Qomar Dunia lawak dan dakwah bersatu dalam diri H. Nurul Qomar pada tahun 1989, ketika ia menerima tawaran Radio Suara Kejayaan, Jakarta, untuk menciptakan sebuah acara ceramah radio yang menyampaikan ajaran Islam dalam kemasan lawakan. Tegasnya, "70% lawak dan 30% agama," kata Qomar. Mulamula Qomar, yang pernah mengaji agama di Pesantren Suryalaya, Jawa Barat ini, sempat ngeri. "Nanti dikira saya memainmainkan agama," kata pelawak yang dulu tergabung dalam Grup Tomtam ini. Lalu ia mengadakan observasi pendengar Suara Kejayaan, radio yang khusus menyiarkan humor dalam segala bentuk audionya. Akhirnya, ia memberanikan diri mendesain itu tadi, "70% lawak, 30% agama." Walhasil, lahirlah acara "Obrolan Pagi tentang Iman dan Islam", yang disingkat Optimis. Acara itu tidak hanya melulu bercerita tentang ajaran Islam, tapi juga diselingi humor dan kuiskuis tentang Islam. Ini mengundang perhatian pendengar. Dengan sendirinya ia lalu mendapat sebutan dai dari pendengar, dan lamalama sebutan ini pun memasyarakat. Tak semua menerima acara ini. "Ada juga yang protres, kok agama dibuat berkelakar," kata Qomar. Tapi, dalam pandangan Qomar, berdakwah itu caranya bisa bermacam-macam. "Yang penting kan niatnya," kata Qomar pada TEMPO. Dari siaran radio, Qomar melangkahkan kakinya ke podium. Mulanya di tingkat RT, belakangan, khusus pada bulan puasa ini, Qomar juga diminta ceramah di beberapa departemen. Diakui Qomar, selama bulan puasa, rezeki yang masuk ke kantongnya lebih dari Rp 1 juta dalam sehari, bila dalam satu hari itu ia mendapat tiga undangan. Sebab, tarifnya Rp 400 ribu sekali berdakwah dengan resep "70% lawak, 30% agama" itu. Kang Ibing Apa beda melawak dan berdakwah? "Dakwah itu seumurumur, tapi melawak itu terbatas," ujar Kang Ibing. Memang, kesibukan "Si Kabayan" yang resminya bernama Aang Kusmayatna, 45 tahun, sejak tiga tahun ini bertambah. Selain melawak, ia juga bertablig. Ratusan tempat telah dijelajahinya, dari Jawa Tengah sampai Aceh. Kang Ibing yang pernah kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Rusia Universitas Pajajaran, Bandung, ini tak habis-habisnya bersyukur. Karena, "Lawak tetap laku, dakwah juga jalan." Kisah awal dai Ibing menggelinding tanpa sengaja dari obrolan di warung sate dekat stasiun KA di Bandung, karena permintaan empunya warung. Tapi waktu itu ia bukan pembicara utama, melainkan dipakai untuk sekadar menarik jemaah. Tapi justru "pengajian" Ibing -- yang tentunya dihiasi lawakan -- yang jadi buah bibir. Akhirnya, jadilah dia dai, mau tak mau. Ia pun kerap tampil bertablig di acara kawinan, halal bi halal, sampai khitanan. Bukan lagi sebagai pembicara sampingan, tapi utama. "Akhirnya dakwah itu saya rasakan sebagai panggilan jiwa," katanya pada TEMPO. Mubaligh Ibing memperkaya diri dengan buku Nurcholish Majid, sampai buku Iqbal dan AlGhazali. Ratusan buku agama, dari fikih sampai tasawuf, koleksi perpustakaan pribadinya. Ia memilih tema ceramahnya tentang soal keseharian. Dan cara menyampaikannya, ya itu tadi, dengan bumbu lawakan. Banyak ketawa tak jadi soal, katanya. "Saya tak berharap dari awal sampai akhir dakwah saya kena pada sasaran. Dari ceramah satu jam tapi yang didengar orang hanya kena 5 menit, tidak apa. Yang penting ada kesannya," tambahnya. Honorarium dakwahnya digunakannya membangun madrasah dan masjid di kompleks tempat tingalnya di Pandanwangi, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus