"Sampaikanlah walau cuma sepotong ayat," kata Nabi Muhammad saw. SUATU hari Hajah Sitoresmi Prabuningrat memberikan ceramah agama di kampus UNS Solo. Tapi dalam acara tanya jawab kemudian, tutur Emha Ainun Najib, "santri mbeling" yang hadir waktu itu, pertanyaan bukan tentang isi ceramah Sitoresmi. "Yang ditanyakan oleh hadirin, kenapa Mbak Sito memakai jilbab, main di sinetron, dan seterusnya," kata Emha. Bagi jemaah di kampus UNS itu, rupanya pengalaman pribadi Mbak Sito, demikian panggilan akrab Sitoresmi, pemain drama yang kemudian sering bermain dalam sinetron TVRI, lebih berharga ketimbang isi ceramahnya. Umpamanya mengapa artis kok lalu muncul sebagai dai. Masalah seperti itu juga terjadi di mesjid Sunda Kelapa, Jakarta, Ahad dua pekan lalu. Suatau hari massa berduyun-duyun ke masjid itu karena seorang "dai" dakan menceritakan perubahan dirinya dari jalan gelap ke jalan Islam. Tapi nampaknya yang menarik anak-anak muda itu bukan karena pengalaman sang "dai" melainkan tampang Tio Pakusadewo, peraih Piala Citra untuk peran utama dalam film Lagu untuk Seruni. "Kami datang memang ingin melihat Tio yang tampan itu," kata seorang gadis Menteng, salah satu kawasan elite di Jakarta, berterus terang. Tampaknya hal itu menjelaskan mengapa tampil sejumlah artis, sastrawan, budayawan, dan bahkan pelawak sebagai dai-dai beru belakangan ini. Ada iklim dalam masyarakat akhir-akhir ini yang memungkinkan muncul orang seperti Rendra, Tio, sampai pelawak Qomar didaulat sebagai dai, apa pun dakwah yang disampaikannya. Memang bukan hal baru seorang Sito atau Tio atau Qomar yang sebelumnya tak dikenal sebagai santri menjadi dai. Menurut Abdul Munir Mulkhan, dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, fenomena munculnya dai dari kalangan non-santri sebenarnya sudah terjadi pada dekade 1970-an. Cuma, waktu itu lebih banyak faktor politiknya. Ali Moertopo, misalnya, yang pada tahun-tahun itu dekenal sebagai tokoh penting di Golkar, getol menggunakan ayat dan kata-kata yang berbau Islam dalam kampanye politiknya. Dan sesungguhnya datangnya dai dari "dunia" lain itu sah saja. Dalam Islam, untuk menjadi pendakwah, seseorang tak perlu melalui munaqosyah (batu ujian). Predikat keulamaan juga datang dengan sendirinya dari publik. Hakikatnya, setiap orang adalah pendakwah. Justru bila dakwah disampaikan oleh mereka yang sebelumnya bukan santri, "makna agama jadi lebih hidup," kata Bambang Pranowo, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dan Kemasyarakatan Departemen Agama. Misalnya Tio Pakusadewo langsung berbicara bagaimana ia sampai di jalan Islam lewat masa lalunya yang gelap. Ia tak berbicara soal fikih, atau ilmu kalam, yang mestinya memang tak dikuasainya. Terbentuknya suasana yang membuka kesempatan munculnya dai baru tersebut bisa jadi dimulai dari perubahan sosial dan politik sebelumnya yang menguntungkan perkembangan Islam. Lihat saja, kini banyak orang memasang stiker We are the moslem atau Islam never die, tanpa jelas apakah mereka memang seorang muslim yang menjalankan syariat denga baik atau setengah-setengah, atau tidak sama sekali. Kemudian khotbah-khotbah Idulfitri belakangan ini kabarnya tak lagi disensor. Dengan kata lain, memang tak ada lagi yang perlu dirisaukan segala hal yang berkaitan dengan Islam. Antara lain, menurut Bambang Pranowo, kini Islam tak lagi identik denga partai Islam. Contohnya, sekarang orang salat tak lagi diidentifikasi sebagai warga Partai Bintang. Dulu semasa banyak partai, santri berkelompok di Masyumi atau NU, yang abangan memilih PNI atau PKI. Kini orang yang merasa muslim terengkuh kembali. Apalagi pada tahun 1991 Presiden Soeharto melakukan ibadah haji. Ini tentu juga mempengaruhi persepsi masyarakat Indonesia terhadap Islam. "Ada proses di mana Islam kembali menjadi milik semua umat yang merasa muslim," kata Bambang Prawono lagi. Orang tak lagi takut mengaku Islam. Langkah selanjutnya, orang orang kemudian tak takut dianggap sebagai penyebar Islam. Iklim inilah yang memungkinkan munculnya dai-dai baru tadi. Ada yang melihat munculnya dai baru dari sisi lain. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, masyarakat Indonesia makin majemuk, baik vertikal maupun horisontal. Secara vertikal kemajemukan itu tercermin dari terbentuknya kelas-kelas ekonomi. Secara horisontal, itu bisa dilihat dari adanya keragaman agama, etnik, kelompok, dan profesi. Dalam kemajemukan itulah, menurut Taufik, orang jadi mudah kehilangan udentitas pribadi. Disaat itu panggilan komunitas semakin keras. Antara lain, lalu yang merasa Islam merasa perlu berkumpul di antara sesama Islam. Dalam suasana seperti itu, "Masuk akal saja ada orang yang concern pada Islam, meski ilmu agamanya kurang, lalu memainkan peranannya, "kata Taufik. Maka, Rendra atau Tio pun berdakwah dengan caranya sendiri, misalnya dengan membaca puisi, dan sekali-sekali mengutip sepotong ayat. Maka, muncullah dai-dai baru. Ini semua dilakukan karena Islam amat bergantung pada komunitas sosial. "Islam itu dimulai dari kesadaran komunitas, bukan dimulai dari pengetahuan," kata Taufik. Sejarah juga membuktikan bahwa yang memperkenalkan sepotong ayat tidak selalu ulama. Banyak pedagang dan musafir yang menjadi perintis jalan. Baru kemudian ulama masuk, mengisi. Dilihat dari kacamata sejarah munculnya dai-dai baru sekarang sebenarnya ada miripnya dengan munculnya para pendakwah di masa lampau. Misalnya, banyak pedagang dan kaum musafir yang dalam waktu senggang mereka memberikan dakwah dilingkunganya. Lalu, ada orang-orang yang dulunya berlatar belakang menyimpang karena sesuatu hal menemukan jalan Islam. Orang ini, karena mungkin ingin berbagi pengalaman dengan orang lain, lalu menjadi dai. Contohnya, Sunan Kalijaga, salah seorang dari Wali Sanga penyebar Islam di Jawa. Ia konon dulunya dikenal sebagai penjahat dan kemudian ia disadarkan oleh salah seorang Wali Sanga lain, yakni Sunan Bonang (lihat Dari Gelap Terbitlah Dai). Yang lalu menjadikan orang bertanya-tanya, adakah para dai baru ini memang serius untuk terus berkecimpung dalam dunia dakwah? Ada yang menganggap para dai baru itu sebagai "dai kegetan", karena diragukan mereka apakah akan terus berdakwah. Jalaluddin Rakhmat, Ketua Yayasan Muthahhari di Bandung merisaukan munculnya dai-dai baru yang disebut sebagai "dai karbitan". Klasifikasi seorang dai atau ulama belakangan ini sudah merosot, kata Jalal. Untuk menjdi dai, seseorang cukup mengikuti pesantren kilat atau pelatihan dua mingguan. Maka, bayangkan saja, dai yang tak pernah ikut kursus. Hanya karena berada dalam lingkungan Islam, berbekal nama yang populer, kebetulan ad mentor, jadilah ia seorang dai. Makanya seorang Martin van Bruinnessen, tenaga pengajar di Fakultas Ushuluddin (ilmu pokok agama) IAIN Yogya, setuju-setuju saja bahwa gejala munculnya dai baru sebagai proses santrinisasi. Tapi bila memang benar begitu, "yang terjadi sekarang ini adalah santrinisasi hanya di permukaan saja". Martin melihat munculnya dai baru, dari segi yang lain lagi. Katanya, budaya di Indonesia adalah budaya mendengar, bukan membaca. Ini memudahkan munculnya seorang penceramah baru. di bidang apa saja, termasuk agama. Massa atau kelompok mudah menerima mereka, apalagi bila si penceramah sudah mempunyai nama di bidang lain. Memang, keakraban antara dai dan jamaahnya tampaknya menjadi faktor juga yang mendorong lahirnya dai baru. Ini bisa diliha yang hadir dalam ceramah Tio Pakusadewo, bintang film yang namanya kini menanjak itu. Jamaah Tio sebagian besar adalah remaja-remaja yang sudah nonton film Tio. Artinya, meski belum kenal secara pribadi denga sang bintang, remaja-remaja itu sudah mengenalnya lewat film. Dengan kata lain, bukan karena Tio berdakwah remaja hadir, tapi karena Tio telah menjadi idola remaja, remaja itu hadir dalam pengajian Tio. Itu klop dengan pendapat Emha Ainun Najib bahwa bermunculannya dai baru lebih karena jamaah membutuhkan seorang figur yang sudah populer. Jelasnya, yang dibutuhkan masyarakat bukan dai yang memiliki "kemampuan di bidang agama:, tapi sekadar figur yang sudah populer di biadang lain. Karena orang lebih mencari tokoh idola, lebih mencari simbol-simbol, lebih mencari teladan kongkret. Ia ambil contoh, seperti sudah disebutkan, bagaimana pendengar ceramah agama Sito tidak bertanya jawab isi ceramah, tapi mengapa Sito memakai jilbab, dan seterusnya. Maka, sedikit saja artinya bagi mereka yang mencari figur populer itu, seorang dai dengan ilmu yang tinggi, dengan kemampuan berceramah yang menarik. "Banyak dai yang lebih berkualitas daripada dai yang baru, tapi karena mereka tak seirama dengan keinginan masyarakat, kalah pamor dengan dai baru," kata Emha, yang pengajiannya hampir selalu dibanjiri jamaah dari kalangan muda. Inilah mengapa Emha menduga kaderisasi mubalig tak akan laku. Ia sebut, misalnya, kaderisasi di Mejelis Tabligh Muhammdiyah yang tugasnya antara lain menyiapkan dai-dai baru: Begitu juga di institut Dakwah Masjid Syuhada, Yogyakarta. Serta Bank Dai Tunas Melati, juga di Yogyakarta. Bukan karena lembaga-lembaga pencetak dai baru itu tidak mampu melahirkan dai berbobot. Tapi menurut Emha, ya, itu tadi: yang diinginkan masyarakat adalah dai dari jenis lain. Kritik terhadap dai baru juga tak kurang. Abdul Munir Mulkhan, dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, misalnya, menilai bermunculannya dai-dai baru dari kalangan nonsantri merupakan "fenomena yang tidak akan bertahan lama" . Ini sekedar hura-hura, katanya. Artinya, posisi dai-dai kagetan itu akan surut dengan sendirinya begitu masyarakat menjadi bosan. Ini seperti nasib musik pop, yang hidup ngetop untuk beberapa saat, lalu hilang tanpa kesan. Itu terutama bila ternyata para dai baru hanya tertarik menjadi dai karena beranggapan bahwa profesi dai adalah profesi yang juga bisa menjamin nafkahnya secara layak. Anggapan ini tentulah bertolak dari munculnya Kiai Haji Zainuddin M.Z. yang mulai ngetop sekitar dua tahun yang lalu. Dai ini merupakan dai terpopuler saat ini, yang jemaahnya bisa ribuan, dari Sabang sampai Merauke. Sejauh ini Zainuddin pun dianggap dai paling sukses dari segi materi. Namun, apa pun artinya dan maknanya munculnya dai-dai baru itu, bagi Taufik Abdullah, itu tetap membuka peluang yang bisa mempunyai arti dalam perkembangan Islam selanjutnya. Sejarawan ini mengambil contoh dari sejarah. Dulu, katanya, setelah para pedagang dan musafir "memperkenalkan sepotong ayat", baru kemudian kaum ulama mengisi jamaah yang sudah mengenal "sepotong ayat" itu. Baru ketika tahap pengisian oleh ulama inilah yang disebut sebagai santrinisasi yang sebenarnya. Dari sudut pandang ini, sebenarnya kaderisasi mubalig tetap sangat besar artinya. Dari merekalah diharapkan dakwah berbobot, guna mengisi batin para jemaah yang sudah dibukakan pintu hatinya terhadap Islam oleh para dai baru. Apalagi bila para mubalig yang profesional ini lalu punya kemampuan seprti para "dai idola", tentu proses santrinisasi akan berjalan lancar. Tentu, santrinisasi itu juga dapat dilakukan para dai baru yang kemudian berkembang menjadi ulama yang sebenarnya. Memang ini masih harus ditunggu. Tapi setidaknya, Sitoresmi kini sudah bertekad menjadi muballigah. Saya sudah menentukan pilihan hidup untuk dakwah," kata Sito, yang kini bersuamikan tokoh Partai Persatuan Pembangunan Yogyakarta, Syukri Fadholi, itu. Adapun kemungkinan para dai baru menjadi mubaligh yang sebenarnya, itu kata Ketua PBNU Abdurrahman Wahid, "Tergantung dari bagaimana kebutuhan jiwanya terpenuhi." Maksudnya, dengan terpenuhi jiwanya itu, semangat dan keyakinannya terhadap dirinya sendiri sebagai pendakwah akan terpelihara. Dengan pengisian itu ilmunya pun diasumsikan bertambah. Sependapat dengan Abdurrahman Wahid adalah Zakiyah Daradjat, guru besar psikologi agama IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Katanya, seorang dai yang datang dari bidang lain tentu akan mengalami masa yang disebutnya sebagai "masa guncangan jiwa". Yakni, saat ia menentukan berpindah bidang itu. Nah, masa selanjutnya akan ditentukan oleh sikapnya ketika jiwanya diguncang itu: apakah ia akan mantap sebagai dai atau akan kembali ke profesi lama. atau entah ke mana. Zakiah mengambil contoh seorang artis, yang biasanya bebas dan hidup dalam glamour. Ketika ia menentukan atau merasakan kekosongan kehidupan glamour itu, ia tengah mengalami kanoversi atau perubahan persepsi terhadap nilai-nilai hidup. "Saat konversi ini merupakan saat paling rawan yang akan menentukan kemana arah perubahan perilaku seseorang," kata dosen psikologi itu. Tahap selanjutnya, lanjut Zakiah, yang bersangkutan berupaya merealisasi nilai-nilai agama Islam ke dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, dengan menjadi dai. Bila ia sukses, ia akan memasuki tahap perubahan terakhir, yakni berjuang di dalam Islam. :Inilah yang dilakukan oleh Rhoma Irama dengan menjadi dai sebagai pilihan hidupnya," katanya. Walhasil bila munculnya dai-dai baru nonsantri dianggap merupakan hal yang positif bagi Islam. Itu baru akan terwujud, seperti dicontohkan oleh Taufik Abdullah, bila kemudian datang para ulama mengisi kekurangan yang tak dipenuhi oleh dai baru tadi. Sebelum itu terjadi, yang ada barulah sebuah harapan. Ada satu hal yang mungkin menarik disebutkan. Munculnya dai baru dengan beragam latar belakang, dari yang seniman sampai pelawak, dari dakwah berpuisi sampai dakwah yang penuh humor, menunjukkna luasnya daya tampung umat Islam terhadap berbagai gaya dakwah. Mungkinkah ini mencerminkan suatu sikap toleransi yang lebih besar dalam diri umat Islam yang juga beragam itu? Mudah-mudahan begitu, dan itu tak hanya terjadi dalam diri kalangan Islam, tapi lebih meluas dalam kehidupan antar agama. Insya Allah. Agus Basri, Wahyu Muryadi, Bina Bektiati (Jakarta), Moch. Faried Cahyono (Yogyakarta), dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini