LEMBAGA Australia-Indonesia menutup tahun 1989 dengan sebuah seminar penting: "Orde Baru, Dulu, Sekarang, dan Mendatang". Mereka yang hadir dan bicara adalah sejumlah cendekiawan kedua negara. Dari Indonesia, antara lain tercatat Mohammad Sadli, Alfian, Otto Soemarwoto, dan Jakob Oetama -- ekonom -- lalu ahli politik, ahli lingkungan hidup, dan tokoh pers nasional. Sementara itu, dari Australia tercatat pengamat ekonomi dan politik seperti Prof. H. Ardnt, Jamie Mackie, Herbert Feith, dan Harold Crouch. Tampak pula hadir sejumlah ahli asing tentang Indonesia. Beberapa staf USAID di Jakarta, misalnya, atau Prof. Bernard Dahm dari Jerman Barat. Juga beberapa ahli ekonomi dari Universitas Harvard, AS, serta beberapa pimpinan LSM Indonesia. Konvensi yang dibuka oleh Menlu Australia Gareth Evans di Universitas Nasional Australia (ANU) disponsori antara lain oleh Lembaga Australia-Indonesia, yang belum lama ini terbentuk, dan ANU. Evans menyebut konperensi ini, "sebuah pertemuan yang paling komprehensif tentang Indonesia di Australia dalam dasawarsa terakhir." Dia mengakui, di masa lampau, hubungan RI-Australia mengalami "panas-dingin", tapi kini hubungan dikelola kedua belah pihak dengan tekanan pada ketaktisan. "Kita berusaha saling membantu sebaik mungkin, seperti yang seharusnya dilakukan antara dua tetangga," katanya. Menurut Evans, memang antara kedua negara masih ada masalah-masalah seperti nelayan Indonesia yang masuk ke wilayah Australia, dan insiden Blekinsop (warga Australia David F. Blekinsop, 31 tahun, yang tertembak mati di perairan Serui, Irian Jaya), "tidak akan dikubur di bawah karpet dan tidak akan terjadi saling maki, tapi akan diatasi secara arif." Sadli mengakui pentingnya konperensi ini karena memberi kesempatan untuk melihat permasalahan dari sudut pandang yang tidak sempit (lihat Ekonomi dan Bisnis). Dikatakannya, bermacam hal, dari politik, ekonomi, sampai kebudayaan, dalam konperensi ini bisa membuat kita mengerti apa yang membuat Orde Baru "hidup". Masalah yang dibahas dalam konperensi hampir mencakup semua hal: ekonomni, kependudukan, lingkungan, tenaga kerja, sumber daya, politik, kekuasan, dan ideologi. Namun, terbatasnya waktu -- setiap pembicara hanya diberi waktu 15-20 menit -- menutup kemungkinan perdebatan dan pembahasan yang semarak yang sebetulnya bisa membuat konperensi ini lebih hidup dan menukik. Meski begitu, pembukaan konperensi ini tetap "hangat", beberapa menit setelah Menlu Evans menyinggung soal Timor Timur. Seorang aktivis wanita dari sebuah organisasi yang menamakan diri Coalition for East Timor, Trish Fuary, beberapa kali menginterupsi pidato Evans, sehingga terjadi debat kecil. Evans menegaskan, dalam menghadapi kasus seperti Tim-Tim, Pemerintah Australia punya dua pilihan. "Pertama, terus-menerus menolak menerima apa yang telah menjadi kenyataan, dan memprotes keabsahan apa yang sudah menjadi kenyataan tadi. Kedua, menerima kenyataan seperti apa adanya dan bekerja melalui dialog untuk memperbaiki nasib rakyat Timor Timur, seperti yang Anda prihatinkan itu," jawab Evans. Diselenggarakannya konperensi menunjukkan betapa besarnya perhatian tentang Indonesia di Australia. Sejumlah universitas bahkan mempunyai bagian khusus yang mempelajari studi tentang Indonesia. "Indonesia ketinggalan, kita belum punya kebijaksanaan yang konsepsional tentang Australia," ujar sebuah sumber TEMPO. Susanto Pudjomartono dan Bambang Harymurti (Canberra)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini