PEKERJAAN rumah itu tiba-tiba saja datang menumpuk. Tidak cuma di kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid, tapi juga di kantor-kantor pemerintah daerah di setiap provinsi.
Januari tahun depan—sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah—2,6 juta pegawai negeri yang sebelumnya menjadi karyawan pusat harus sudah dialihkan menjadi karyawan daerah. Kantor wilayah (di tingkat provinsi) dan kantor departemen (di tingkat kabupaten), yang merupakan lembaga milik pusat, akan dihapus. Rombongan aparat berbaju Korpri yang selama ini jadi karyawan pusat itu akan menjadi bagian dari birokrasi daerah.
Meski terkesan hanya memindahkan status kepegawaian, pekerjaan ini punya konsekuensi serius. Menghapus kantor pemerintah pusat dan melebur dengan kantor milik daerah berarti memindahkan sumber daya manusia dan juga aset. Dan yang paling penting, sebagian pejabat eselon akan kehilangan jabatan karena terbatasnya posisi. Ini bisa memicu kecemburuan. Sekadar perbandingan: ketika Departemen Sosial dan Departemen Penerangan dulu dilikuidasi dan karyawannya dimasukkan ke badan lembaga pemerintah lainnya, sekitar 20 persen dari 300 ribu karyawan kehilangan jabatan. ’’Persaingan antarpejabat itu juga akan diwarnai dengan isu putra daerah,” kata Staf Ahli Menteri Otonomi Daerah, Andi Mallarangeng. Karyawan lokal akan menganggap jabatan di daerahnya hanya layak diisi oleh anak asli daerah.
Kerepotan itu hanya sebagian dari konsekuensi diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Jika dapat diterapkan secara utuh, kedua undang-undang itu akan menjadikan daerah sebagai kawasan yang otonom. Daerah diizinkan mengatur semua hajat hidupnya, kecuali dalam urusan hubungan luar negeri, keuangan, pertahanan, peradilan, dan agama.
Banyak orang optimistis terhadap undang-undang ini. Dengan otonomi luas, diperkirakan pemberdayaan politik dan keadilan ekonomi, seperti yang selama ini selalu diteriakkan daerah, bisa terpenuhi. Entitas budaya lokal akan diakui. Struktur pemerintahan daerah, termasuk penentuan batas-batas wilayah di tingkat desa, bisa dirombak jika dikehendaki. Sistem pemerintahan adat seperti nagari di Sumatra Barat atau kepemimpinan keuchik di Aceh bisa dihidupkan kembali. Pokoknya, daerah berkuasa mengatur semua urusannya sendiri.
Itu jika kedua undang-undang itu bisa sepenuhnya terlaksana. Tapi, sejak pertama kali disetujui, Mei tahun lalu, kedua undang-undang ini belum sepenuhnya efektif. Persoalannya, belum tersedia perangkat peraturan pelaksanaan yang mengatur di tingkat teknis. Beberapa rancangan peraturan pemerintah—misalnya tentang tata cara pertanggungjawaban dan pemberhentian kepala daerah—memang sudah dirampungkan. Tapi sebagian besar aturan lainnya masih kosong melompong. Akibatnya, UU Otonomi Daerah jadi lunglai di tingkat implementasi.
Selain itu, daerah sering tidak siap menerapkan otonomi. Contohnya adalah Pemerintah DKI Jakarta, yang beberapa waktu lalu menemukan enam sumur minyak di kawasan Kepulauan Seribu. Ternyata, aparat Pemerintah Daerah DKI kurang memahami masalah minyak karena mereka selama ini hanya mengurusi bahan tambang dan pasir. Gejala serupa dialami Kabupaten Jayawijaya, Papua, yang kini dilibatkan dalam pengurusan tambang emas dan tembaga.
Kekikukan daerah dalam menghadapi otonomi ini juga tampak dalam cara daerah menghitung asetnya. Menurut Andi Mallarangeng, yang kini sibuk diperdebatkan malah mana saja aset pusat—misalnya perusahaan—yang ada di daerah yang nanti bisa ’’didaerahkan”. Padahal, pengalihan aset bukan cuma berarti pengalihan barang, tapi juga pengalihan tanggung jawab dan pengelolaan. Yang mestinya diprioritaskan daerah adalah merestrukturisasi peraturan pajak daerah sehingga menguntungkan daerah tersebut. Dengan cara ini, daerah tidak perlu buru-buru direpotkan dengan pengelolaan aset, tapi bisa mendapat kucuran uang dari pajak berbagai perusahaan tersebut.
Persoalan lainnya adalah kesenjangan. Menurut pengamat ekonomi M. Sadli, daerah yang sumber alamnya melimpah akan cepat sekali menggenjot pembangunannya. Sedangkan provinsi atau kabupaten yang miskin sumber daya alam akan ketinggalan. Ironisnya, si kaya dan miskin itu secara geografis bertetangga. Misalnya Provinsi Riau dan Jambi atau Kabupaten Bengkalis dan Siwak di Riau yang kaya minyak dengan Pelalawan di provinsi yang sama.
Jawa, yang selama bertahun-tahun menikmati privilese sebagai ’’pusat”, pun akan kerepotan jika mengikuti rumusan pembagian hasil daerah seperti yang diatur dua undang-undang itu. Kekayaan sebagian provinsi di Pulau Jawa adalah pada sumber daya manusia, bukan sumber daya alam, maka potensi Jawa ’’kehilangan” pemasukan juga harus dipikirkan.
Persoalannya, dengan semua problema itu, adakah otonomi merepotkan? Atau apakah ia merupakan jalan keluar bagi pelbagai persoalan daerah yang kini terus menghadang: kekerasan di Aceh, tuntutan kemerdekaan di Papua, konflik sosial di Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan?
Melihat latar belakang hubungan pusat-daerah di Indonesia yang memburuk dari waktu ke waktu, otonomi rasanya memang pilihan yang tidak bisa ditolak. Selama lebih dari 30 tahun era Soeharto dan enam tahun masa ’’Demokrasi Terpimpin” Sukarno, otonomi adalah sebuah kata yang hilang dalam kamus politik Indonesia.
Pemusatan kekuasaan mulanya didasari gagasan sederhana para pemimpin bangsa. Artinya, keragaman yang mengakibatkan instabilitas politik hanya bisa diselesaikan dengan mengendalikan birokrasi dan kekuasaan di dalam satu tangan. Implikasinya luar biasa. Selama puluhan tahun kekuasaan dipegang oleh Jakarta. Penempatan pejabat daerah tidak bisa tidak tanpa restu pusat. Jabatan gubernur, bupati, wali kota, tidak saja telah dipakai sebagai tanda tertancapnya kuku Jakarta, tapi juga belakangan diselewengkan dengan menjadikannya sebagai posisi yang dikapling untuk menampung pejabat tertentu seperti jenderal TNI yang memasuki masa pensiun. Dan penyelewengan hanya bisa dilakukan oleh kekuasaan yang tanpa kontrol.
Penyeragaman masyarakat adalah konsekuensi berikutnya. Partai politik dibatasi, hak politik warga negara dibelenggu dengan konsep massa mengambang, program pemerintah mulai dari keluarga berencana, proyek inpres, hingga transmigrasi dilakukan dengan semangat menyatukan dan menyeragamkan. Dengan sistem komando militer, penyeragaman itu dikukuhkan, dari pusat hingga ke desa-desa, terutama dengan menggunakan represi sebagai alat bantu.
Akibatnya, budaya lokal mati. Sistem kekerabatan lokal dan pengaturan wilayah yang telah bertahun-tahun diterapkan—seperti nagari di Sumatra Barat tadi—diganti dengan struktur pusat yang rapi dan baku. Konsep jagabaya (penjaga keamanan), jagatirta (penjaga air irigasi sawah), yang telah lama dikenal masyarakat Jawa, diganti dengan jabatan kepala urusan (kaur), yang merupakan bagian dari stuktur yang ditetapkan pusat.
Secara ekonomi, daerah pun kemudian menjadi sapi perahan bagi kepentingan pusat. Hasil bumi dan kekayaan alam diisap oleh Jakarta. Dalam sebuah kesempatan, bekas Gubernur Irianjaya Barnabas Suebu pernah mengeluh, ’’Irianjaya hanya menghasilkan pendapatan, tapi tidak berhak menikmatinya. Semua masuk ke kas pemerintah pusat.” Pendapatan daerah Banten—untuk menyebut salah satu daerah yang menuntut memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat—yang Rp 1,8 triliun per tahun, hanya kembali ke kas pemerintah daerah sepersepuluhnya. Dalam variasi yang ekstrem, aktivis Gerakan Aceh Merdeka menyebut perilaku pusat terhadap daerah itu sebagai aksi penjajahan bangsa Jawa terhadap Aceh.
Karena pusat pertumbuhan terjadi di Jakarta dan kota-kota besar di Jawa, sumber daya manusia yang andal pun terpusat di Jawa. Urbanisasi jadi tak terhindarikan dan daerah kehilangan kekuatan. Lalu, dengan posisi tawar daerah untuk bernegosiasi dengan pusat yang terus berkurang, pilihan ekstrem jadi tak terhindarkan: proklamasi kemerdekaan daerah dari pusat. Di Aceh hal ini terjadi pada tahun 1976 dan usaha memisahkan diri terus berkumandang hingga kini, juga Irian pada akhir 1960-an dan diperbarui pada tahun 2000 ini, lalu Riau, juga Kalimantan.
Dengan fakta-fakta itu, sulit untuk menolak otonomi sebagai alternatif penyelesaian. Untuk sementara, perjalanan menuju otonomi menyeluruh mungkin akan terseok-seok. Merepotkan. Tapi jalan itu, bagaimanapun, harus ditempuh, jika hubungan pusat daerah tak ingin seburuk era Orde Baru atau Indonesia tak ingin tercabik-cabik nantinya.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini