Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Partai di Aksara Pertama

Tak dengan sendirinya runtuhnya pemerintahan otoriter melahirkan demokratisasi. Diperlukan kesabaran.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI memang sebuah ironi. Masuknya partai-partai ke gedung parlemen adalah atas nama rakyat. Tapi, kemudian, partai menutup kuping dari suara rakyat. Partai sibuk sendiri berebut kursi.

Mungkin itu suara mereka yang sakit hati. Bila demikian, sakit hati itu telah meluas: dari mereka di warung-warung kopi sampai para pakar di mimbar seminar.

Dan itu berbahaya. Partai politik adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah sistem demokratis. Dan demokrasi hampir mustahil tanpa kehadiran partai politik. Belajar dari zaman Orde Baru, misalnya, tak berfungsinya partai sebagaimana mestinya ternyata hanya membuka peluang lahirnya penguasa otoriter. Kebijakan massa mengambang hanyalah cara menumpulkan partai menjadi sekadar pemain sandiwara di panggung kampanye.

Syahdan, arus reformasi pun mengempaskan sang penguasa otoriter, setelah 30 tahun—waktu yang cukup lama untuk membuat orang lupa bagaimana sistem perpolitikan yang demokratis. Maka, meski musim semi partai dimulai, dan dari 48 partai peserta Pemilu 1999 di antaranya 21 partai berhasil meraih kursi di parlemen, belum satu pun partai mencerminkan sebuah partai yang siap mendukung demokratisasi dengan baik.

Akibatnya, rakyat yang membayangkan bahwa demokrasi sudah di depan mata kecewa. Mereka melihat partai yang mengobral janji di masa pemilu ternyata masuk ke gedung parlemen sibuk mengurusi diri sendiri. Tak disadari, jatuhnya pemerintahan otoriter tak dengan sendirinya mendatangkan demokrasi. Dibutuhkan waktu dan usaha untuk membangun politik yang sehat lewat terbentuknya partai-partai yang punya visi demokrasi.

Faksionalisme dan Primordialisme

Dengan kata lain, demokrasi tak lalu terwujud dalam sehari. Diperlukan kesabaran. Dan itulah yang terasa sekarang: kita tak cukup punya kesabaran menumbuhkan demokrasi setapak demi setapak. Kita harus menyadari bahwa kita mulai lagi dari awal. Tanpa kesadaran ini, bisa-bisa pendulum langsung balik ke sisi semula tanpa kita bisa menahannya.

Atau, meminjam kata-kata James Cotton, Kepala Departemen Ilmu Politik Universitas Tasmania Australia (Aksara TEMPO Edisi 31 Juli-6 Agustus 2000), kita baru sampai pada fase terbentuknya format awal demokrasi. Tapi sebuah proses demokratisasi yang berkesinambungan masih menjadi tantangan. Penyebabnya, karena sejarah, partai-partai yang terbentuk masih diwarnai faksionalisme dan pendukungnya masih berada dalam lingkup primordialisme (etnis, agama, dan lain-lain).

Akibatnya, partai boleh dikata selalu gagal memobilisasi dukungan di luar basis komunalnya. Hasilnya, tak satu pun partai berhasil meraih bahkan hanya seperempat suara sekalipun. Akibatnya, pemerintahan selalu bersandar pada sebuah koalisi yang rapuh yang tak memungkinkan memerintah secara efektif.

Lihat saja, pada pemilu lalu, PDI Perjuangan di urutan pertama hanya mampu menggaet 34 persen suara pemilih dan 27 persen kursi di MPR. Golkar, sang runner-up, cuma meraih 22 persen suara pemilih dan 26 persen di MPR. Adapun PKB--partai yang dibidani Gus Dur—lebih kecil lagi: 11 persen suara pemilih dan delapan persen kursi MPR. Akibatnya, presiden terpilih terpaksa membentuk kabinet ”balas jasa”. Kabinet seperti ini gampang terisi oleh mereka yang tidak profesional, dan mereka sulit melakukan kerja sama. Bila tuntutan reshuffle kabinet terdengar keras dalam Sidang Tahunan MPR yang pertama, Agustus 2000, itu sangat mudah dipahami.

Terbentuknya kabinet yang kurang profesional mencerminkan partai yang belum modern. Seperti sudah disinggung, partai masih terbentuk karena semangat primordialisme. Muktamar PKB di Surabaya yang baru lalu adalah contoh terbaik yang menggambarkan betapa upaya membentuk sebuah partai modern masih saja terbetot format partai tradisional.

Ketika itu, sebuah gagasan besar dilontarkan: partai kaum nahdliyin ini akan diarahkan menjadi partai terbuka--sebuah ciri partai modern. Pada saat yang bersamaan, sebuah paradoks terjadi. Meski mendapat perlawanan dari sejumlah pengurus wilayah, muktamar menyepakati bahwa figur ketua umum dan pengurus pusat PKB diangkat oleh Dewan Syuro, tempat Gus Dur menjadi ketuanya. Tak berlebihan jika banyak orang menganalogikan Dewan Syuro menjadi semacam Dewan Pembina Golkar yang ketika itu diketuai Soeharto. Sementara Soeharto mengharap dengan demikian Golkar bakal didukung lapisan birokrasi beserta kaitannya, PKB tetap memasang Gus Dur tentulah karena takut kehilangan dukungan kaum nahdliyin.

Jadinya, iklim perpolitikan belum beranjak jauh dari masa 1950-an. Model konflik ideologis laten antara kaum nasionalis dan politisi Islam masih terjadi. Kampanye penolakan Megawati Sukarnoputri—atas nama kaidah agama--di Sidang Umum MPR lalu memperlihatkan fenomena ini secara amat terang-benderang. Di sisi lain, fobia yang berlebihan dari kalangan nonmuslim terhadap politik Islam menunjukkan kecenderungan yang sama.

Di Ujung Terowongan

Tapi, bila dikatakan demokrasi sudah di depan mata, itu bukan sekadar kata-kata penghibur diri. Lihat, parlemen kini jauh dari kesan tukang stempel pemerintah. Di luar segala sinisme dan segala kekurangannya, hak meminta keterangan (interpelasi) dan penyelidikan (angket) yang telah digunakan anggota dewan dalam kasus pembubaran Departemen Sosial, pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, serta skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei adalah realisasi yang jadi tuntutan banyak orang di era Soeharto dulu.

Politisi muda juga mulai bermunculan. Meski belum cukup banyak, figur muda semacam Laksamana Sukardi, Meilono Suwondo (PDI-P), Faisal Basri, Hatta Radjasa (PAN), Ade Komaruddin, Ferry Mursyidan Baldan (Golkar), dan Hamdan Zoelva (PBB) menjanjikan masa depan politik yang lebih baik.

Dan untuk segera menuju titik terang di ujung terowongan itu, ”gerak cepat empat jurus” yang disarankan Nono Anwar Makarim (TEMPO Edisi 31 Juli-6 Agustus 2000) sungguh layak disimak. Pertama, Nono menyarankan agar partai yang berminat merenovasi diri bekerja sama dengan kalangan LSM, yang pengaruh politiknya kian membesar dan jaringannya di dunia internasional nian menggurita. Lepasnya Timor Timur dan desakan negara Barat untuk mengirimkan pasukan perdamaian PBB ke Maluku adalah dua dari banyak contoh yang menggambarkan betapa dahsyatnya peran LSM di percaturan global.

Jurus kedua, partai yang mau tumbuh signifikan mesti melibatkan diri pada gerakan kaum buruh--sebuah kelompok konstituen yang selalu jadi rebutan di belahan dunia lain tapi kurang mendapat perhatian kalangan partai di negeri ini. Yang ketiga, partai mendekatkan diri dan menjalin dialog dengan kalangan kampus. Langkah ini bisa memperbesar masuknya sumber daya manusia berkualitas--tak sekadar punya massa--di lingkungan partai, sekaligus mempertajam visi dan platform partai-partai yang kini masih tak jelas. Dan terakhir, partai mesti ”lebih pandai” menggunakan jasa media dalam menyebarkan berbagai pandangannya.

Saat ini, mengutip Arief Budiman, kita tengah belajar berdemokrasi lagi dari aksara yang paling pertama. Adapun maknanya, diperlukan kesabaran sebelum sistem kepartaian dan politik kita benar-benar mantap berjalan di rel demokrasi. Ingin segera melihat segalanya ”beres” hanya membuat kembali jalan ke masa Orde Baru. Omongan di warung kopi itu perlu, asalkan selalu disadari bahwa pilihan terbaik dalam sistem politik memang hanya demokrasi—sistem yang selalu bisa memperbaiki diri sendiri terus-menerus.

Karaniya Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus