Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cahaya di Ujung Lorong

Krisis multidimensi menyambut kegembiraan 55 tahun Indonesia merdeka. Sebuah kutukan, sekaligus jalan penyelamatan.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MILAN Kundera tak bisa lebih tepat lagi melukiskan sebuah situasi yang mungkin kita semua, bangsa Indonesia, alami hari-hari ini. Yakni, ketika kita merayakan 55 tahun usia Republik, tapi pada saat yang sama menderita salah satu krisis paling mendalam. Dalam kumpulan esainya yang terkenal, Testament Betrayed, sastrawan Ceko itu menggambarkan betapa sulit kita bersikap adil melihat sejarah, dan betapa sering kita terlalu yakin terhadap sebuah resep untuk menyelesaikan masalah.

Menengok ke belakang, kita benar-benar bisa melihat gamblang kini betapa keliru ketika pada 1959 orang memuja langkah Sukarno memberangus parlemen dan menggelar Demokrasi Terpimpin yang diktatorial itu. Kini juga sangat jelas, betapa keliru, setelah Sukarno jatuh, orang mengelu-elukan Soeharto sebagai pahlawan baru.

Begitu pendek ingatan: orang mengutuk Sukarno sebentar setelah kejatuhannya, lalu menempatkan Soeharto di telapak kaki segera setelah rezimnya rontok akibat krisis ekonomi.

Dan kini? Spanduk di beberapa sudut Kota Jakarta melukiskan berulangnya sejarah: "Gus Dur-Mega, selamatkan Indonesia dari kehancuran!" Gus Dur dan Mega mungkin bisa diganti menjadi Amien Rais, Akbar Tandjung, atau Budiman Sudjatmiko. Atau nama seorang jenderal yang kini belum terkenal, seperti Soeharto pada 1960-an. Intinya sama. Untuk kesekian kalinya, kita tengah berharap mesiah baru akan datang. Adakah jaminan kita tak kan mengutuk sang juru selamat di belakang hari?

Meminjam ungkapan Milan Kundera, kita menderita sindroma "manusia dalam kabut". Kundera menyebut kabut, bukan kegelapan. Dalam kegelapan, manusia tak bisa melihat, buta, tidak merdeka. Dalam kabut, manusia bebas, tapi kebebasannya adalah kebebasan manusia dalam kabut: penglihatannya terbatas. Berjalan di dalamnya, manusia terus maju. Namun ketika menengok ke belakang, mereka tak melihat kabut. Dalam kekinian, kita melihat jelas sosok Sukarno dan Soeharto melenggang; membuat kekeliruan-kekeliruan besar. Tidak ada kabut.

Lalu, manakah yang lebih buta? Sukarno dan Soeharto, yang tidak paham benar ke mana rezimnya akan bermuara? Atau kita, yang-sekarang di sini-tidak melihat kabut menyelimuti perjalanan mereka?

Kini kita menghadapi kabutnya sendiri. "Krisis" adalah kosakata yang kian akrab dengan keseharian kita dalam dua tahun terakhir. Dan kita mulai hilang kesabaran ketika ekonomi tak kunjung pulih, sementara krisis lain datang bertubi-tubi. Orang kian tak sabar dengan pertengkaran para politisi dan partai politik. Orang kian miris dengan ambruknya hukum dan tatanan: pencuri motor dibakar mati di depan mata polisi, konflik berdarah tak berkesudahan di Maluku-bahkan menular ke Poso belakangan. Dan orang menakuti "disintegrasi nasional" oleh gagasan federasi dan teriakan merdeka sejumlah daerah.

Dan tiba-tiba kita mulai merindukan kembali seorang Sukarno atau Soeharto lain. Di tengah rasa frustrasi yang kian besar dan harapan mendesak untuk segera keluar dari krisis, bangsa ini akan mudah tergelincir ke dalam kesalahan serupa seperti di masa silam.

Jika itu terjadi, kita sebenarnya hanya suka mengutuk kesalahan masa silam, tanpa pernah belajar bagaimana menghindarinya. Kita tidak secara saksama berusaha mengkaji kabut yang menyelimuti generasi Sukarno dan generasi Soeharto, serta menarik pelajaran darinya.

Inginkah ekonomi kita pulih kembali seperti di era Orde Baru-ekonomi yang keropos fundamentalnya? Inginkah integrasi nasional kita utuh seperti sebelum reformasi-kesatuan-persatuan yang artifisial dan rapuh? Inginkah kita melihat hukum segera tegak kembali seperti di masa lalu-hukum yang tidak berkeadilan karena disandarkan pada kekuasaan?

Krisis yang kita hadapi bersifat multidimensional. Kesulitan ekonomi dan konflik sosial cuma pucuk gunung es dari krisis besar, luas, dan mendalam: politik, budaya, hukum, sosial, dan bahkan agama. Dimensi-dimensi saling bersaing untuk cepat diselesaikan, tapi sering kali saling bertabrakan. Dibutuhkan waktu lebih lama dari yang mungkin kita bayangkan untuk mengurainya-itu pun jika arahnya benar. Jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 hanya langkah awal. Dan dua tahun terlalu ringkas untuk membenahi krisis generasional ini.

Namun, dalam dua tahun itu sebenarnya ada sejumlah hal mendasar telah kita capai-pada era B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Kita layak mensyukurinya.

Seperti ambruknya komunisme di Eropa Timur, jatuhnya Soeharto dan Golkar telah membuka peluang bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik. Pemilu multipartai setahun kemudian dianggap salah satu pemilu terbaik yang pernah ada. Pemilu itu membangkitkan optimisme besar karena telah berjasa mengembalikan demokrasi, yang hilang 40 tahun lalu. Empat dasawarsa tanpa demokrasi!

Benar bahwa sistem multipartai, kebebasan pers, dan kemerdekaan berorganisasi telah menimbulkan suasana ingar-bingar. Keterlibatan banyak partai dalam kabinet telah membuat pemerintahan tidak efektif. Pertengkaran presiden dan parlemen membuat kita lupa pada prioritas. Keinginan sejumlah organisasi Islam menerapkan asas agama, bahkan mengusulkan masuknya kembali Piagam Jakarta ke konstitusi, telah menimbulkan kekhawatiran terjadinya konflik antaragama. Dan benar pula bahwa aspirasi daerah untuk mengurus dirinya sendiri membuat suasana lebih gaduh.

Tapi, adakah demokrasi tanpa pluralitas, tanpa perbedaan pendapat?

Dalam waktu yang singkat, sebenarnya telah terjadi perubahan besar di masyarakat. Belum semuanya memuaskan, tapi arahnya telah benar. Perlahan tapi pasti, publik mulai terbiasa berpikir dalam dataran baru pascareformasi.

Perubahan itu pada dasarnya membawa kita hijrah dari watak militeristis pemerintahan ke watak madaniah (civil). Dalam pemerintahan militeristis, sistem komando berlaku: semua serba cepat, efisien, dan beroirentasi pada target. Dalam pemerintahan madaniah, semua terbuka diperdebatkan dan berorientasi pada proses. Tak mengherankan jika pemerintah madaniah yang demokratis tidak bisa cukup efisien dan efektif, misalnya dalam "pemulihan ekonomi" secara cepat. Namun, meski tidak efisien dalam jangka pendek, demokrasi adalah jalan penyelamatan secara jangka panjang.

Kita juga bisa melihat dari sudut pandang lain pergulatan kepentingan antarpartai, organisasi, dan pusat-pusat kekuasan; bukan sebagai konflik atau perpecahan melainkan sebagai dinamika yang wajar dalam masyarakat. Memang kadang merisaukan. Namun, empat puluh tahun dipaksakan bersatu dalam sistem monolitik, kita tidak pernah belajar dalam perbedaan. Perbedaan kepentingan-yang wajar senantiasa ada di masyarakat-ditindas atas nama "persatuan dan kesatuan". Dan wajarlah jika kita masih memerlukan waktu untuk menemukan cara melakukan tawar-menawar kepentingan kelompok secara beradab.

Kesabaran, barangkali, adalah salah satu senjata terpenting dalam menghadapi ingar-bingar ini. Kita tengah melihat pendulum sedang berayun. Situasi penyeragaman ekstrem seperti di masa Orde Baru secara alamiah menghasilkan ekstrem yang sebaliknya. Ini tidak sepenuhnya menguntungkan. Namun, kita percaya bakal menemukan keseimbangan baru.

Pada akhirnya, pemilu serta kebebasan berpendapat dan berorganisasi saja tidaklah cukup. Sebuah bangsa membutuhkan aturan bersama yang akan menjadi kerangka hubungan antarkelompok masyarakat. Membutuhkan hukum. Di tataran ini pun kita layak bersyukur, publik tak lagi terbelenggu oleh dogma bahwa konstitusi-sumber dari segala sumber hukum bernegara-adalah sesuatu yang sakral, tak bisa dikoreksi, betapapun ada banyak kelemahan di situ. Amendemen konstitusi yang akan segera diputuskan oleh MPR mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan, tapi satu langkah lagi telah membuat kita lebih maju.

Selalu ada dua pilihan sudut pandang ke arah gelas berisi air setengahnya. Tapi, optimisme, di samping kesabaran, barangkali adalah satu-satunya yang membuat kita layak merayakan 55 tahun kemerdekaan dengan lebih berpengharapan.

Tak ada sumur tanpa dasar kecuali dalam drama Arifin C. Noer. Dan berdiri di dasar keremangan krisis, dalam kabutnya Milan Kundera, kita justru selayaknya bersyukur. Kita tak dibingungkan oleh banyak pilihan kecuali mendaki ke atas. Dan setiap langkah, setiap bata yang dipijak, layak disyukuri pula.

Farid Gaban

PRAREFORMASIPASCAREFORMASI
Monolitik
  • Sistem kuasai-partai-tunggal (Golkar)
  • Organisasi (profesi) tunggal
  • Asas tunggal Pancasila.

    Depolitisasi

  • Bahkan Golkar tak mau disebut partai politik

    Sentralisme

  • Semua diurus pusat Etatisme
  • Semua diurus negara

    Otoritarianisme

  • Keputusan tunggal di tangan seseorang (atau satu pusat kekuasaan)
  • Tanpa kontrol.
  • Pluralistik
  • Multipartai
  • Multiorganisasi
  • Kebebasan memakai asas dan keinginan yang lebih besar untuk menegaskan identitas.

    Politisasi

  • Tumbuhanya kesadaran bahwa, meski bukan segalanya, politik adalah aspek penting dalam kehidupan bermasyarakat.

    Desentralisme

  • Tuntutan otonomi dan keinginan lebih besar untuk mengurus diri sendiri

    De-etatisme

  • Inisiatif masyarakat jauh lebih dihargai

    Demokrasi

  • Keputusan terbuka untuk diperdebatkan antarberbagai kelompok kepentingan dan pusat pusat-pusat kekuasaan
  • Terjadi "check and balances" antara pusat-pusat kekuasaan
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus