Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi menjadi sistem domisili pada tahun ajaran 2025/2026. Menanggapi hal tersebut, Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru atau P2G Satriawan Salim mengatakan pemerintah perlu terlebih dulu melihat akar permasalahan PPDB selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena persoalan pokok dari PPDB zonasi selama tujuh tahun ini adalah tidak meratanya keberadaan sekolah negeri di berbagai wilayah,” kata dia melalui pesan tertulis pada Senin, 27 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menilai perubahan skema seleksi penerimaan siswa dari zonasi menjadi domisili tidak akan mengubah persoalan-persoalan yang biasa terjadi pada PPDB dari tahun ke tahun selama persoalan pokok tersebut belum dituntaskan.
“Sepanjang pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak menyelesaikan persoalan pokok dari sistem PPDB, zonasi khususnya atau domisili, ya itu tidak meratanya jumlah, tidak meratanya sekolah negeri dari daerah-daerah, ya persoalan PPDB akan selalu terjadi,” katanya.
Adapun wacana penggantian tersebut disampaikan oleh Staf Ahli Bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kemendikdasmen Biyanto beberapa waktu sebelumnya. Biyanto menjelaskan, sebelumnya, dalam proses pendaftaran pada PPDB zonasi, area tempat tinggal yang tertera di dokumen kependudukan seperti KK menjadi tolok ukur utama sekolah. Namun, dengan sistem yang baru, seleksi siswa akan dilakukan sekolah dengan melihat jarak antara sekolah dan rumah, bukan lagi berdasarkan dokumen kependudukan.
P2G menilai wacana pemberlakuan PPDB dengan sistem domisili dapat memperluas kesempatan bagi calon peserta didik untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Namun, dengan persoalan pokok PPDB yang ia sebutkan, kuantitas calon peserta didik tidak berbanding lurus dengan ketersediaan sarana prasarana pendidikan.
“Ini kan persoalan klasiknya adalah jumlah sekolah negerinya itu tidak merata sebarannya dan tidak sebanding dengan tingginya atau besarnya jumlah calon peserta didik ketimbang ketersediaan kelas atau sekolah negeri. Ini persoalan pokoknya,” ujar Salim.
Secara garis besar, dia menjelaskan, terdapat dua permasalahan yang timbul dari persebaran sekolah negeri yang belum merata. Dia menyebut daerah-daerah seperti di pedalaman Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Yogyakarta seringkali kekurangan murid, bahkan tidak memiliki murid pendaftar.
“Karena jarak antara rumah dengan sekolahnya itu justru sangat jauh, aksesnya susah, transportasinya sulit, jalannya pun tidak memadai. Sehingga orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta,” kata dia.
Sementara, hal sebaliknya terjadi di beberapa kota besar. Ia menyebut persoalan di kota-kota seperti Surabaya, Sidoarjo, Bandung, Jakarta, dan Bogor berupa keterbatasan jumlah sekolah negeri yang tersedia untuk jumlah pendaftar yang membeludak.
“Daerah-daerah ini justru tidak bisa menampung calon siswa baru, karena keterbatasan jumlah sekolah negerinya,” ujarnya.
P2G menyarankan langkah yang bisa dilakukan pemerintah sebagai solusi permasalahan tersebut. Salah satunya, berupa pembangunan sekolah-sekolah negeri untuk mengimbangi jumlah pendaftar yang tinggi.
"Pemerintah hendaknya mulai membangun sekolah-sekolah negeri di wilayah dengan persentase anak yang masuk sekolah negeri besar, sedangkan daya tampung terbatas," kata Salim.
Pilihan Editor: Cek 3 Perbedaan PPDB Domisili dan Zonasi