PERUSAHAAN industri otomotif dan elektronika pun kini ramai-ramai memesan lulusan Madrasah Aliah Negeri (MAN). Bahkan, tak sedikit lulusan siswi sekolah keagamaan tingkat SLTA itu yang menjadi pengusaha garmen. Aneh? Memang. Selama ini MAN lebih dikenal hanya mengajarkan ilmu keagamaan plus sedikit pengetahuan umum. Tapi, madrasah yang diincar pengusaha itu memang lain. Ketiganya mengajarkan keterampilan. Bahkan, menurut Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, Zamakhsyari Dhofier, madrasah plus keterampilan itu benar-benar menggembirakan. "Makanya, madrasah tak bisa dibiarkan hanya sebagai sekolah keagamaan," katanya. Kebetulan, katanya, dari 80 ribu lulusan madrasah aliah hanya 10 persen yang mau mempelajari bidang agama lebih lanjut. Lalu, ke mana sisa terbesar? Bertolak dari pertanyaan itu, muncullah ide membekali lulusan MAN dengan keterampilan. Dan, sejak 1988, madrasah aliah plus keterampilan benar-benar dicoba di tiga kota: Garut (Ja-Bar), Kendal (Ja-Teng), dan Jember (Ja-Tim). Rencana itu serta merta mendapat sambutan UNDP (Program Pembangunan PBB). Untuk proyek percobaan itu, Departemen Agama mendapat droping sumbangan US$ 450 ribu, di samping dana yang disediakan sendiri Rp 1,25 milyar untuk tiga tahun. Bidang keterampilan yang dipilih -- yang paling dibutuhkan masyarakat sekitarnya -- adalah otomotif, elektronika, dan tata busana alias menjahit. Masuknya program keterampilan, tentu saja, mengubah proporsi kurikulum pengajaran di madrasah yang biasanya hanya pengetahuan agama dan umum. Pelajaran keterampilan -- dengan komposisi 65 persen praktek dan 35 persen teori -- diberikan sore hari, seusai jam sekolah. Yang berhak ikut adalah siswa kelas dua dan tiga pada semester III, IV, dan V. Selama tiga semester itu, para siswa harus belajar keterampilan 936 jam atau 18 jam seminggu. Memang, tak mungkin semua siswa digiring ikut kegiatan keterampilan. Peserta tiap kelas bidang hanya 20 orang. "Kami ingin mencapai hasil yang maksimal sehingga perlu seleksi," kata Dhofier. Ia khawatir, kalau semua siswa wajib ikut, program itu justru akan gagal. Buktinya, setelah masuk tahun ketiga, sasaran untuk mencetak tenaga siap pakai tercapai. Contoh sukses lulusan program keterampilan madrasah itu dialami Nur Kholis, 19 tahun. Lulusan MAN Kendal (1988) yang ahli mesin sepeda motor itu kini telah punya sebuah bengkel dengan beberapa anak buah. "Hasilnya lumayan. Tiap hari rata-rata mereparasi sepuluh sepeda motor," katanya. Anehnya, kesulitan justru terjadi pada waktu di sekolah. Bukan setelah mereka lulus. Para instruktur, kata Dhofier, mengeluh karena sebagian siswanya kurang menguasai matematika dan IPA. "Makanya, perlu ada perhatian serius pada dua mata pelajaran tersebut, terutama di tingkat madrasah sanawiah (SMP)," katanya. Banyak orang berharap dari lulusan madrasah aliah yang paham soal agama dan terampil. Bukan hanya untuk pabrik. Para siswinya yang tangkas memotong kain dan menjahit pakaian bisa buka usaha garmen atau menjadi perancang busana. Yang laki-laki dibekali mampu membuka bengkel atau servis radio dan televisi. Minat siswa ikut pelajaran keterampilan cenderung naik. Di MAN Garut, dari rata-rata 200 siswa yang berminat tiap tahun, hanya 20 yang dibolehkan ikut keterampilan. Syaratnya, mereka harus lolos psikotes, tes kemampuan, serta nilai matematika dan IPA paling rendah tujuh. Di MAN Kendal, ada satu kriteria tambahan. "Diutamakan mereka yang berasal dari keluarga ekonomi lemah," kata kepala sekolahnya, Gafar Ismail, pada Heddy Lugito dari TEMPO. Bagaimanapun, keterampilan di madrasah itu sebaiknya tetap dipertahankan. Salah satu pertimbangan, kata Kepala Sekolah MAN Garut Tamdjid, masyarakat semakin menghargai madrasah. "Pendidikan keterampilan itu justru mendorong masyarakat semakin bernafsu menyekolahkan anaknya ke madrasah," katanya. Sebelumnya tiap tahun hanya ada sekitar 500 calon siswa yang mendaftar. Setelah ada keterampilan, angkanya melonjak menjadi 700 pendaftar. Berkat bantuan UNDP, tiga MAN proyek perintis itu dilengkapi berbagai peralatan dan sejumlah instruktur. MAN Kendal, misalnya, punya tiga unit bangunan megah. Di dalamnya ada sarana praktek elektronika, otomotif, bengkel, dan puluhan mesin jahit. Selain itu, UNDP tiap tahun juga menyediakan dana Rp 31 juta untuk biaya pendidikan sehari-hari. Sayang, bantuan UNDP bakal berakhir tahun ajaran ini. Selanjutnya, ketiga proyek perintis MAN terampil itu harus memutar otak mencari biaya. "Sekarang kami akan mencoba menjadi pengusaha," kata Kepala MAN I Jember, Akwan Ichsan, pada wartawan TEMPO Zed Abidien. Ia berniat memasarkan hasil buatan siswanya untuk biaya pendidikan keterampilan itu. Sementara itu, MAN Kendal, selain membuka bengkel mobil, elektronika, dan usaha konveksi, juga akan mengutip dana dari saku orangtua murid. Dengan pengalaman sukses mendanai tiga MAN itu, UNDP akan mengalihkan bantuannya ke luar Jawa. Disediakan dana US$ 659 ribu untuk lima MAN. Bedanya, tiap madrasah aliah hanya dibolehkan menyelenggarakan satu bidang keterampilan yang tentunya dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kecuali kesulitan biaya untuk mengembangkan pendidikan keterampilan, madrasah aliah itu juga tak gampang mendapatkan instruktur yang cakap. Gatot Triyanto, Sri Pudyastuti, Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini