Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pahlawan dari bukit mangadeg

Kgpaa mangkoenagoro i diangkat pemerintah menjadi pahlawan nasional, melalui keppres no 048/pk/1988. nama lainnya: raden mas said & mendapat julukan pangeran samber nyawa. pendiri dinasti mangkunegaran.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Raden Mas Said, tapi kemudian ia mendapat julukan Pangeran Samber Nyawa. "Julukan itu diberikan oleh Belanda karena ia cerdik, gesit, dan selalu melakukan serangan mendadak terhadap Belanda," kata Prof. Sartono Kartodirdjo, ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada. Pendiri dinasti Mangkunegaran ini kini diangkat pemerintah menjadi pahlawan nasional, melalui Keputusan Presiden Nomor 048/PK/1988, 17 Agustus yang lalu. Dengan demlkian, warga Mangkunegaran mendapatkan kehormatan dalam sejarah perjuangan nasional, sesuatu yang di wilayah Yogyakarta, tetangganya, berada di dalam nama Diponegoro. Menurut Menteri Sosial Haryati Soebadio, pengangkatan itu karena R.M. Said melawan Belanda pada tahun 1740-1757. Raden Mas Said adalah cucu Sunan Prabu Mangkurat IV, raja Mataram ketika itu. Ayahnya, Pangeran Aryo Mangkoenagoro, karena sengketa suksesi setelah sang kakek wafat, dibuang Belanda ke Sri Lanka, kemudian ke Tanjung Harapan, Afrika. Said merasa, kompeni terlalu turut campur pada urusan kerajaan, tapi ia masih bekerja pada kerajaan sebagai manteri gandek. Baru pada 1741, ketika berusia 16 tahun, ia beserta sejumlah pengikut mengangkat senjata melawan Belanda dan pamannya Paku Buwana II. Setelah 16 tahun baru perlawanan bersenjata ini berhenti, setelah Paku Buwana II berhasil membujuknya untuk menandatangani Perjanjian Salatiga pada 1757. Perjanjian ini memberikan Said wilayah kekuasaan di Surakarta. Ia berhak memiliki tentara yang kemudian dikenal sebagai legiun Mangkunegaran. Di situlah Said menobatkan dirinya sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkoenagoro I. Ia mencetuskan prasetya yang bernama Tridarma, dan kini dipopulerkan oleh Presiden Soeharto kembali: Rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki), wajib melu hanggondheli atau hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan), dan mulat sarira hangrasa ani (berani setelah mawas diri). R.M. Said wafat pada 1795 dan dimakamkan di Mangadeg. Pemakaman di lereng barat Gunung Lawu itu, 40-an km dari Solo dikenal sebagai Astana Mangadeg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus